[Jombang, Pak Guru NINE]
Saya sebenarnya kurang suka
menulis dengan tema seperti ini, namun karena untuk kepentingan pengembangan
diri secara profesional, maka saya memaksa diri menulisnya dengan dalam beberapa judul
menurut perspektif subyektifnya. Jika ternyata perspektif saya mengandung obyektifitas,
maka semoga pemikiran ini menjadi semangat untuk semakin mencintai bangsa dan
negara Indonesia menuju negeri yang gemah ripah loh jinawai dalam naungan
ampunan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur).
Indonesia bukan negara agama, namun tidak bisa dipisahkan
dengan keberadaan agama yang dianut penduduknya. Meskipun demikian, bentuk
negara Indonesia tidak dibangun berdasar agama tertentu. Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Memang secara teoritik
negara agama dioposisikan dengan negara sekuler. Meskipun demikian, tidak bisa
serta merta disebut bahwa Indonesia adalah negara sekuler, yaitu negara yang memisahkan
urusan agama dengan urusab publik kenegaraan. Apalagi istilah negara
sekuler tidak dijumpai dalam konstitusi baik pada Pancasila maupun
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dengan mengacu pada konstitusi itu, tidak berlebihan jika
disebut bahwa Indonesia adalah Negara Berketuhanan Yang Maha Esa. Negara
Kesatuan Rupublik Indonesia ini dibangun berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar tersebut.
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara juga menegaskan bahwa dalam sila
pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, Ketuhanan Yang Maha
Esa merupakan bagian ideologi negera ini. Tata kelola negara Indonesia dengan
demikian tetap mengacu dan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila itu.
Ideologi Ketuhanan Yang Maha Esa bukan menjadi monopoli
agama tertentu, namun bisa digali dari semua agama yang ada di indonesia,
khususnya yang telah disebut secara resmi berdasarkan undang undang.
Masing-masing agama bisa berpartisipasi mewarnainya dengan menawarkan
perspektifnya dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Meskipun
mungkin tidak semua masalah kehidupan berbangsa dan bernegara dijelaskan
panduannya dan solusinya secara terperinci, namun ajaran agama pasti memiliki
pedoman umum atau nilai universal yang bisa digunakan oleh umatnya sebagai
landasan pengelolaannya.
Menafikan keberadaan dan keterlibatan Tuhan Yang Maha Esa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sesuatu yang ahistoris. Para
pendiri bangsa dan negera ini secara jujur telah mengakui keberadaan Tuhan Yang
Maha Esa sebagai salah satu faktor utama diperolehnya kemerdekaan Indonesia
dari penjajahan. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam alenia ketiga pembukaan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Andai bangsa Indonesia
bukanlah bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, mustahil pernyataan ini muncul
dalam konstitusi negara.
Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam konstitusi ini
juga merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan. Secara konstitusional agama
diposisikan sebagai entitas yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sedemikian pentingnya, hingga kata agama disebut tiga belas kali
dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Agama tidak
bisa dipisahkan dalam urusan berbangsa dan bernegara. Pemerintah tidak boleh
cuek dengan keberadaan agama yang dipeluk oleh warga negara Indonesia.
Tidak hanya itu negara juga harus akomodatif terhadap
semua agama untuk berpartisi aktif dalam pembangunan. Agama yang berasal dari
Tuhan Yang Maha Esa pasti memiliki prinsip, petunjuk dan ajaran dalam mengatur
kehidupan manusia dalam segala aspeknya untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Aturan-aturan yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa itu diyakini sebagai aturan
terbaik, karena dibuat oleh Tuhan Yang Menciptakan manusia. PengetahuanNya
pasti melampaui pengetahuan dan kecerdasan manusia. Dengan dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka sudah seharusnya negara mengadopsinya sebagai salah satu sumber
hukum dalam perumusan hukum positif yang menjadi dalam acuan pengelolahan
pemerintahan. Negera tidak boleh phobi atau alergi menjadikan ajaran agama
sebagai salah satu sumber hukum. Hal ini adalah konstitusional.
Jika di Indonesia ada enam agama yang secara resmi
disebutkan dalam undang undang, maka semuanya memiliki hak yang sama dalam
berkontribusi bagi pembangunan. Anggota legislatif yang berasal beragam agama,
silakan saja mengajukan ajaran agamanya sebagai inspirasi dan referensi
substantif dalam penyusunan produk hukum positif. Sikap semacam ini bukanlah
rasis atau primordial, tapi merupakan ekspresi keyakinan kebenaran ajaran agama
yang dianut oleh setiap pemeluknya. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti
secara mutlak menjadikan ajaran agama itu sebagai hukum positif. Aturan-aturan
yang bersumber dari ajaran agama itu didudukan sejajar dengan sumber hukum
lainnya dalam penyusunan hukum positif. Dalam konteks penyusunan hukum positif,
ia tidaklah lebih tinggi daripada sumber hukum lainnya, baik yang berasal dari
teori ilmiah, pendapat pakar maupun budaya dan hukum adat. Ia tetap melalui
proses legislasi resmi yang pasti ada dialog, debat dan lobby, hingga kompromi
sebagaimana penyusunan produk hukum lainnya.[pgn]
0 Komentar