![]() |
Pak Guru NINE mencermati presentasi kelompok kecil yang membahas satu tema tertentu. |
[Pacarpeluk,
Pak Guru NINE]
Salah
satu ciri khas Kurikulum 2013 adalah penekanan yang kuat pada penerapan
pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran semua mata
pelajaran, termasuk Pendidikan Agama Islam (PAI). Langkah-langkah metode ilmiah
yang selama ini lebih dikembangkan dalam studi Sains diadopsi dalam kegiatan
pembelajaran. Dengan adopsi ini, pembelajaran diupayakan mengikuti lima langkah
pokok yaitu: 1. mengamati (observing), 2. menanya (questioning),
3. mengekprolasi (exploring), 4. mengasosiasi (associating), dan
5. mengomunikasikan (communicating). Langkah-langkah ini diyakini oleh
para konseptor Kurikulum 2013 sebagai media untuk mengembangkan sikap,
pengetahuan dan keterampilan peserta didik secara terpadu sehingga hasil
belajar menjadi lebih produktif, inovatif, kreatif dan afektif.
Pembelajaran
seperti ini merangsang dan melatih peserta didik mengembangkan pola pikir
induktif. Mereka dibiasakan untuk mengonstruksi suatu pengetahuan berdasar pada
cerapan panca indera mereka. Dengan pola pikir seperti itu, mereka diharapkan
mampu menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah.
Penerapan
pendekatan ilmiah dalam pembelajaran adalah sesuatu yang sangat wajar, karena
pembelajaran sebenarnya adalah salah satu proses ilmiah. Meskipun demikian,
penerapannya dalam matapelajaran PAI tentu berbeda dengan matapelajaran yang
lain.Umumnya, langkah-langkah pendekatan ilmiah dalam setiap pembelajaran
langsung mengarah kepada obyek kajiannya, hal ini sangat wajar karena obyek
kajiannya bersifat kasat mata. Beda dengan matapelajaran PAI, tidak semua objek
kajiannya kasat mata. Ada objek kajian yang bersifat tidak kasat mata atau
ghaib, khususnya dalam aspek aqidah atau keimananan.
Jika
objek kajian yang tidak kasat mata itu didekati dengan langkah-langkah
pendekatan ilmiah sebagaimana diterapkan pada obyek yang kasat mata, tentu hal
ini menjadi bermasalah. Alih-alih mengokohkan keimanan peserta didik,
pembelajaran ini menjadi salah sasaran; obyek gaib yang seharusnya diterima
sebagai doktrin yang mengacu kepada berita wahyu, namun dipahami sebagaimana
obyek yang kasat mata.
Guru
PAI harus sadar bahwa mengajarkan aspek aqidah memiliki karakteristik yang
berbeda dengan aspek yang lain, misal aspek al-Quran, Akhlak, Fiqh/Syariah dan
Tarikh/Sejarah. Pembelajaran dalam empat aspek tersebut dapat langsung mengarah
kepada obyek kajiannya masing-masing, sehingga langkah-langkah pendekatan
ilmiah dapat diterapkan secara langsung. Hal ini berbeda dengan aspek aqidah
yang berisi enam rukun iman itu tidak bisa diajarkan dengan langkah-langkah
pendekatan ilmiah yang secara langsung mengarah kepada enam rukun iman, karena
tidak semuanya kasat mata.
Mengajarkan
enam rukun iman sebenarnya mengajarkan berita tentang obyek keimanan yang
disampaikan oleh Allah SWT dan RasulNya. Berita-berita wahyu (sam’iyyat)
itulah yang menjadi dasar utama dalam mengimani. Sebaliknya, apa yang tidak
diberitakan oleh wahyu tidak dapat dijadikan pijakan iman.
Pendekatan
deduktif dalam pembelajaran ini menjadi hal yang mutlak diperlukan. Dengan
demikian obyek kajian utamanya adalah ayat-ayat al-Quran dan teks-teks
al-Hadits yang memberitakan tentang Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir
dan Takdir. Di sinilah pendekatan ilmiah bisa diterapkan secara tepat. Teks
wahyu itulah yang diamati, ditanya, diekprolasi diasosiasi dan dikomunikasikan.
Hasil kajiannya berupa doktrin yang harus diterima sebagai bagian dari
keimanan. Jika hal ini diperkaya dengan kajian empiris, maka hal itu bisa saja,
namun semata-mata untuk mengokohkan berita wahyu, bukan untuk membangun dasar
awal iman.
Para
ulama ushuluddin terdahulu sebenarnya telah memberikan
rambu-rambudalam mempelajari aspek keimanan dalam Islam. Penerapan dalil naqly
dan dalil aqly secara tepat sasaran adalah rambu-rambunya. Dalil naqly adalah
dalil yang semata-mata berdasar berita dari al-Quran dan al-Hadits, sedangkan
dalil aqly adalah dalil yang dibangun atas dasar kebenaran logika dan akal
sehat manusia. Obyek keimanan diantara enam rukun iman itu yang bersifat ghaib
harus dipahami semata-mata berdasar dalil naqly, sedangkan yang bersifat kasat
mata dapat dipahami dengan menggunakan dalil naqly dan dalil aqly sekaligus.
Seringkali
orang-orang merujuk pada pengalaman nabi Ibrahim as dalam proses menemukan
Tuhannya dengan pengamatan terhadapat fenomena yang terjadi di alam semesta
(ayat kauniyah). Sayangnya mereka melupakan bahwa akal nabi Ibrahim as hanya
mengantarakan kepada suatu kesadaran bahwa semua fenomena tersebut pasti ada
yang menciptakannya, yaitu Tuhan. Namun, akal beliau tidak bisa mengantarkan
kepada eksistensi Tuhan Allah dengan sifat dan perbuataNya, jika tanpa petunjuk
wahyu yang disampaikan Allah secara langsung kepada beliau. Hal ini menegaskan
bahwa akal dan wahyu saling melengkapi dalam masalah keimanan selama
tepat dalam penggunaannya.
Guru
Pendidikan Agama Islam tidak boleh terjebak pada alur berfikir materialis
empiris dalam mengajarkan materi keimananan, sebagaimana yang dikembangkan
dalam kurikulum 2013 melalui pendekatan ilmiah dalam pembelajaran, sehingga
salah penerapan pada obyek apa pendekatan ilmiah digunakan. Oleh karena itulah
mereka harus benar-benar memahami penggunaan dalil naqly dan aqly dalam masalah
keimanan. Bacalah referensi primer ilmu kalam, agar pemahaman yang disampaikan
kepada peserta didik tidak parsial. Jangan hanya membaca buku paket, karena
hanya berisi ringkasan yang seringkali tidak bisa menghadirkan pemahaman yang
lengkap.
Mengajarkan
sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah SWT, jika hanya bersumber dari
buku-buku paket, maka guru tidak akan mendapatkan pemahaman utuh. Jika
pemahaman guru tidak utuh maka dapat dipastikan peserta didik akan semakin
sulit memahami. Dengan kondisi seperti itu, kemudian guru serta merta menerima
pendekatan ilmiah dalam pembelajarannya, namun tidak pas dalam penerapan, maka
hal itu akan menjadi kotraproduktif. Belajar iman tapi hasilnya semakin tidak
mantap iman. Belajar tauhid, tapi hasilnya malah memposisikan Allah SWT
sebagaimana makhluk. Tentu ini adalah ironi.
Semoga guru-guru Pendidikan Agama Islam kita tidak seperti yang penulis khawatirkan. Amiin. [png]
0 Komentar