Jatuh Cinta Memang Sakit

 

Pagelaran Batik on the Month SMAN 2 Jombang sebagai bentuk apresiasi terhadap batik sebagai khazanah budaya Nusantara.


[Jombang, Pak Guru NINE]

Materi al-Quran yang dipelajari di kelas X semester genap ini adalah ayat-ayat tentang larangan mendekati zina. Saat diskusi pendalaman kandungan materi salah satu murid saya bertanya, “Pak bagaimanakah sikap kita yang paling selamat jika kita jatuh cinta?” Saya tidak serta merta menjawabnya, namun melemparkan kesempatan menanggapi pertanyaan itu kepada murid-murid yang lain. Mayoritas murid-murid sangat antusias menanggapinya. Maklum, hal ini sangat erat dengan pengalaman mereka sehari-hari yang sedang berada dalam masa remaja awal. Setelah mereka puas memberikan tanggapan, maka tinggallah saya yang memberikan penegasan, koreksi dan simpulan.  

Simpulan itu kemudian saya tuliskan dalam artikel ini. Ketertarikan hati seseorang kepada lawan jenisnya adalah fitrah setiap manusia. Laki-laki mencintai perempuan dan sebaliknya adalah sesuatu yang normal dan wajar. Kedua makhluk ini memang diciptakan sebagai pasangan (azwāj) dengan adanya perasaan suka atau cinta satu sama lain. Yang tidak normal adalah jika laki-laki tertarik kepada sesama laki-laki dan perempuan tertarik kepada sesama perempuan. Hal ini tidak sekadar tidak normal, tapi merupakan suatu penyimpangan fitrah manusia.

Ketertarikan hati satu sama lain kepada lawan jenis itulah yang kemudian dikenal dengan istilah jatuh cinta. Jatuh cinta kepada lawan jenis bukan sesuatu yang terlarang. Perasaan dan keadaan ini adalah anugerah Allah SWT yang harus disyukuri sesuai dengan aturan-aturan yang Allah SWT tetapkan atas umat manusia. Anugerah ini sekaligus menjadi sarana ujian bagi manusia yang menerimanya agar menjadi pribadi yang lebih mendekatkan diri kepadaNya melalui perasaan cinta yang melanda hatinya.

Salah satu cara menyukuri anugerah ini adalah dengan mengungkapkan atau menyatakan perasaan itu kepada orang yang disukai dan dicintainya. Selama dilakukan dengan cara-cara yang etis secara budaya dan tidak menetis secara budaya dan tidak menabrak ketentuan syariat, maka hal ini adalah halal. Ia tidak terlarang. Ia adalah hak setiap umat manusia. Ia adalah perhiasan yang menjadikan kehidupan dunia tampak indah. Allah SWT telah memberitakan dalam QS. Ali Imran [3]:14 bahwa perasaan cinta laki-laki kepada wanita adalah salah satu di antara hiasan kesenangan dunia.

Permasalahan baru muncul ketika perasaan cinta itu kemudian diekspresikan dengan interaksi fisik. Konon katanya, orang dikatakan berpacaran jika ada perasaan saling menyintai dan kemudian diekspresikan secara fisik, bahkan didemontrasikan, sehingga banyak orang yang mengetahuinya. Interaksi fisik itu bisa berupa berdua-duaan baik di tempat sepi atau ramai, berpegangan tangan, berboncengan, berpelukan, berciuman, saling meraba-raba anggota tubuh, oral seks, dan akhirnya persenggamaan atau perzinaan. Jika semacam ini, maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut adalah sangat terlarang atau haram bagi siapa saja yang belum terikat pernikahan yang sah.

Mungkin ada yang bertanya, “Lalu buat apa jatuh cinta, jika diungkapkan tanpa adanya interaksi fisik itu?” Memang itulah konsekwensi yang harus diterima oleh siapa saja yang jatuh cinta, namun belum siap menuju jenjang pernikahan karena berbagai hal, sedangkan ia tetap taat kepada aturan-aturan syariat. Jika keadaannya seperti ini, maka kita bisa simpulkan bahwa jatuh cinta semacam ini memang membuat kita ‘sakit’, namun selamat jika perasaan itu dijadikan sarana semakin intensif dalam mengadu kepada Tuhan Sang Pemberi anugerah cinta.

Mengapa jatuh cinta kok sakit? Mari kita renungkan. Ketika tiba-tiba perasaan itu datang, maka kita sangat ingin mengungkapkannya. Jika kita belum bisa mengungkapkaanya, maka kita pun menjadi ‘sakit’. Hati menjadi gelisah gunda gulana. Fikiran pun tidak bisa fokus dalam hal lain, karena terforsir untuk menyusun strategi bagaimana agar perasaan yang melandanya itu bisa sampai diketahui oleh orang yang disukai dan dicintainya itu.

Ketika kita kemudian berani mengungkapkan perasaan itu, maka kita pun dilanda ‘sakit’ lagi. Kita takut, khawatir dan amat malu jika ternyata setelah mengungkapkannya, gayung tidak bersambut. Orang yang dicintainya itu ternyata menolaknya atau tidak memiliki perasaan yang sama kepadanya. Hal ini pasti sangat mengecewakan dan menyakitkan.

Jika perasaan kedua belah pihak itu laksana gayung bersambut, memang kita akan merasakan kepuasan dan kebahagiaan. Akan tetapi kepuasan dan kebahagiaan ternyata hanya sekejab. Setelah kita kita akan didera perasan sakit. Mengapa sakit? Karena kita harus mengendalikan nafsu kita, khususnya yang mengarah kepada dorongan seksual, tunduk di bawah naungan ketentuan syariat.

Tiap hari kita akan merasakan rindu ingin bertemu. Karena tidak bisa bertemu, maka kita merasakan ‘sakit’. Jika kita bisa bertemu, ternyata nafsu kita mendorong untuk melakukan aktifitas berdua-duaan (khalwat), akhirnya kita pun merasa ‘sakit’ karena kita tidak berani melanggar syariat yang mengharamkan aktifitas itu.

Meskipun jatuh cinta memang sakit, namun sakitnya bisa menjadi sarana semakin dekat kepada Allah SWT. Jika setiap ‘sakit’ yang dialami oleh orang yang jatuh cinta itu diadukan kepadaNya, maka inilah jalan kemuliaan baginya. Jika perasaan ‘sakit’ yang dirasakannya itu kemudian disalurkan dengan curhat kepadaNya, maka inilah tangga menuju cinta hakiki. Jika tiap perasaan ‘sakit’ itu melandanya, lalu dialihkan dengan melakukan hal-hal produktif, misal menulis karya sastra atau membuat karya seni, maka perasaan itu akan berubah menjadi energy positif yang luar biasa.

Jika siapa saja jatuh cinta, tapi tidak mengalami ‘sakit’ maka kita patut mewaspadainya bahwa ia benar-benar telah sakit hati, sehingga tidak bisa menangkap petunjuk ilahi. Sayangnya ia tidak sadar bahwa ia sebenarnya benar-benar sakit. Inilah jalan menuju perzinaan yang tidak disadarinya, karena ia tidak mau memilih ‘sakit’ dalam jatuh cinta, namun secara hakikat adalah sehat dan selamat.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita baik sebelum atau ketika menerima anugerah cinta, sehingga kita kuat merasakan ‘sakit’, tapi sebenarnya menyehatkan dan menyelamatkan. Tanpa bimbinganNya, mustahil kita mampu kuat mengalami betapa ‘sakitnya’ jatuh cinta. Amiin. Waallaahu ‘alamu bis shawaab.[pgn]  


Posting Komentar

0 Komentar