[Pacarpeluk, Pak Guru NINE]
Saat beliau masih hidup, saya
biasa memanggilnya Pakde Bu. Beliau adalah kakak kandung ibu saya. Namanya
adalah Abuchin. Setelah melaksanakan ibadah haji, namanya disempurnakan menjadi
Masbuchin. Penyempurnaan nama ini tidak mengubah pengucapan panggilan “Bu”.
Saya tetap memanggilnya Pakde Bu. Ibu saya juga tetap memanggilnya Cak Bu.
Orang-orang juga tetap biasa memangilnya Aba Abu.
Pakde Bu dikenal sebagai seorang
ayah yang sangat fanatik terhadap pendidikan keislaman putra-putrinya. Perhatiannya
terhadap pendidikan kesantrian untuk putra-putrinya amat besar. Semua putra-putrinya
mendapatkan pendidikan di Madrasah. Kedua putranya juga dimasukkan dalam pondok
pesantren. Putra pertamanya sempat mondok beberapa waktu, namun akhirnya boyong
karena alasan tidak kerasan. Putra keduanya sangat kerasan mondok dalam asuhan
KH. Muhammad Djamaluddin Ahmad di Tambakberas untuk memdalami ilmu-ilmu
kepesantrenan dan dalam asuhan KH. Masduqi Abdurrohman Perak untuk mendalami
tahfidh al-Quran.
Beliau bercita-cita
mendirikan Pondok Pesantren yang diasuh oleh putranya yang mumpuni dalam ilmu
kepesantrenan dan tahfidh al-Quran ini. Alhamdulillah cita-cita beliau telah
menjadi nyata. Di belakang rumahnya, kini telah berdiri Pondok Pesantren
Hidayatul Quran Sentul Tembelang Jombang dengan jumlah santri yang terus
bertambah.
Pakde Bu juga seorang
pendekar kanuragan yang spiritualis. Banyak orang yang mengakui kelebihan
beliau. Hampir tiap hari, ada saja orang yang bertamu kepadanya untuk meminta
bantuannya. Khidmat ini dijalaninya
hingga menjelang wafat. Kelebihan inilah yang kini menurun kepada salah satu
putranya yang tinggal di Kediri.
Didorong keinginan kuat untuk
menyambungkan sanad keilmuan pesantren, saya dan istri berkomitmen memondokkan
Caraka Shankara di Pondok Pesantren Hidayatul Quran itu. Dulu selama mondok di
Tambakberas, saya juga mendapat bimbingan intensif ilmu-ilmu kepesantrenan dari
beliau pengasuh pondok pesantren ini. Oleh karena itu wajar jika saya menyambungkan
sanad keilmuan kepesantrenan kepada anak pertama saya itu dari guru saya itu.
Sayangnya, baru dua setengah
tahun mondok, Caraka Shankara minta boyong karena lebih tertarik menekuni
Pencak Silat Nahdlatul Ulama (PSNU) Pagar Nusa. Sebagai orang tuanya, terus
terang kami kecewa. Namun, kami harus tetap mengapresiasi keputusannya itu.
Dalam kekecewaan itu, kami tetap berhusnudhan, “jangan-jangan pilihan anak kami
ini menurun dari pilihan anak pertama Pakde Bu yang boyong dari pondok karena
tidak kerasan dan lebih menyukai beladiri dan kanuragan.”
Saya sering berpesan kepada
anak pertama saya ini bahwa PSNU Pagar Nusa adalah warisan para kyai Nahdlatul
Ulama. Ini bukan Pencak Silat biasa. Selain sebagai badan otonom NU, pencak
silat ini adalah bagian khazanah budaya santri. “Oleh karena itu, jangan
melepas diri dari sanad para kyai itu. Berakhlaklah dengan akhlak santri. Berziarahlah
ke makam-makam beliau untuk mendoakan dan menyambungkan sanad keilmuanmu.”
Selain menyambungkan sanad
kepada para kyai Nahdlatul Ulama, saya juga berpesan kepada Caraka Shankara
untuk menyambungkan sanad kependekaran kepada Pakde Bu. “Ayah bukan seorang
pendekar. Ayah juga tidak pernah punya angan-angan sampean menjadi pendekar.
Tapi nyatanya, sampean menguasai kependekaran dan kanuragan. Oleh karena
itulah, Ayah berhusnudhan bahwa bisa jadi sampean mewarisi nasab kependekaran
dan kanuragan dari Mbah Abu.”, jelas saya kepada anak pertama saya itu.
Atas dasar itulah, saya memintanya
menyambungkan sanad kependekaran dan kanuragannya dengan berziarah ke makam
Pakde Bu. Dia pun memahami penjelasannya saya, sehingga tanpa sepengatahuan
saya ia pun beberapa kali berziarah ke makam Pakde Bu.
Beberapa hari menjelang
berangkat ke Kediri untuk mengikuti seleksi sebagai calon murid di salah satu
SMAN yang diinginkannya, saya pun mengajaknya untuk berziarah lagi. Saya,
isteri saya, Caraka Shankara dan Wacana Bawana berkunjung ke Sentul untuk mohon
doa restu kepada keluarga Pakde Bu dan berziarah dan berdoa di makamnya. Inilah
yang saya maksud dengan menyambungkan sanad kependekaran itu.
Jika akhirnya dia lolos seleksi dan menjadi murid di sekolah tersebut, maka rekam jejaknya memang tidak bisa dilepaskan dari sanad kependekaran yang telah dipilihnya. Semoga Allah SWT senantiasa menempatkannya dalam tempat yang paling diridhaiNya. Aamiin. [pgn]
0 Komentar