![]() |
Sebuah ungkapan belasungkawa untuk keluarga besar Gus Awis. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Langit
mendung dan gerimis lembut menyelimuti Pondok Pesantren Darul Ulum (PPDU)
Rejoso Peterongan, Jombang, pagi itu. Seolah alam turut berduka, mencurahkan
kesedihan atas kehilangan sosok yang begitu berarti. Hari itu, Rabu Legi, 29
Januari 2025, bertepatan dengan 29 Rajab 1446 H, Ibu Nyai Hj. Muflichah Marzuqi
Dimyathi dipanggil ke haribaan-Nya pada pukul 02.20 WIB. Kepergian beliau
meninggalkan jejak duka yang mendalam, bukan hanya bagi keluarga besar, tetapi
juga ribuan santri dan masyarakat yang mengenalnya.
Beliau adalah ibunda Dr. KH. Muhammad
Afifudin Dimyathi, Lc. MA., atau yang akrab kami panggil Gus Awis, sosok ulama
yang dihormati sekaligus penulis kitab Tafsir Hidayatul Quran. Dalam
kebersahajaan beliau sebagai pemimpin, Gus Awis tidak hanya menjadi seorang
guru, tetapi juga inspirasi bagi saya dan banyak orang lainnya. Beliau adalah
kakak kelas saya di MAPK-MAKN Jember, dan kini, anak kedua saya adalah salah
satu santri di asrama Hidayatul Quran yang diasuhnya.
Pukul 08.15, saya tiba di rumah duka,
asrama Al-Husna, yang pagi itu penuh dengan para petakziyah. Jenazah almarhumah
disemayamkan di musholla kecil di samping rumah duka. Shalat jenazah dilakukan
bergelombang, dipimpin oleh para imam yang bergantian. Ketika giliran saya
tiba, imamnya adalah Gus Ufik, Dr. dr. H. M. Zulfikar As’ad, M.MR., Rektor
UNIPDU Jombang. Saya tidak tahu gelombang ke berapa saat itu, tapi yang pasti,
shalat jenazah menjadi momen syahdu, saat doa-doa dipanjatkan dengan penuh
khusyuk untuk almarhumah yang begitu dicintai.
Selesai menunaikan shalat jenazah, saya
menuju beranda rumah duka. Di sana, saya menyampaikan belasungkawa kepada Gus
Awis dan saudara-saudaranya. Saya melihat keteguhan di wajah mereka, meski
kesedihan tak mungkin disembunyikan sepenuhnya. Duduk di beranda bersama para
petakziyah lainnya, kami berbincang ringan dan pelan, berbagi kenangan tentang
almarhumah. Gelombang demi gelombang rombongan shalat jenazah terus
berlangsung, memperlihatkan betapa besar cinta dan penghormatan masyarakat
kepada beliau.
Sekitar pukul 09.00, jenazah dibawa ke
masjid induk PPDU untuk dishalati oleh ratusan atau ribuan jamaah. Saya tidak
ikut ke masjid, karena telah menunaikan shalat sebelumnya. Sebagai gantinya,
saya langsung menuju lokasi pemakaman di lingkungan asrama Hidayatul Quran. Di
sana, suasana sudah ramai dengan petakziyah, santri, dan masyarakat yang
menanti kedatangan jenazah. Wajah-wajah mereka menggambarkan rasa kehilangan
yang sama.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan jenazah
tiba. Ratusan, bahkan ribuan orang, mengikuti prosesi pemakaman dengan tertib.
Di tengah kerumunan, saya berdiri, menyaksikan dari kejauhan. Dalam hening itu,
hati saya bergemuruh. Sebuah pertanyaan menyeruak dari kedalaman jiwa: “Apakah
kelak, ketika ajal menjemputku, aku akan diiringi oleh ribuan petakziyah
seperti ini? Akankah ada yang menyalati dan mendoakanku dengan tulus, seperti
yang dilakukan untuk beliau hari ini?”
Pertanyaan itu menggetarkan hati.
Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa kedudukan saya tidak sebanding
dengan para kyai dan bu nyai yang hidupnya dihabiskan untuk mendidik, mengajar,
dan menginspirasi banyak orang. Saya hanyalah seorang ayah yang berharap bisa
menunaikan tugas kehidupan ini dengan baik. Namun, harapan itu tetap ada:
semoga ketika saat itu tiba, anak-anak saya—yang saya doakan menjadi shalih dan
shalihah—dapat menalqinkan kalimat tauhid di telinga saya, dan mengumandangkan
adzan ketika jasad saya diturunkan ke liang lahat.
Kepergian Ibu Nyai Hj. Muflichah Marzuqi
Dimyathi menjadi pengingat mendalam akan kehidupan yang sementara.
Dalam prosesi pemakaman itu, saya tidak hanya menyaksikan penghormatan terakhir
bagi beliau, tetapi juga merenungi hakikat hidup. Apa yang kita tinggalkan
ketika waktu kita habis? Apa yang akan dikenang oleh orang-orang setelah kita
tiada?
Saya termenung. Kehidupan ini adalah
perjalanan menuju Allah SWT. Segala yang kita lakukan, pada akhirnya akan
diuji: apakah amal kita layak menjadi bekal di akhirat? Kehidupan para ulama
seperti almarhumah Ibu Nyai Muflichah mengajarkan bahwa hidup bukanlah tentang
berapa lama kita berada di dunia, melainkan tentang seberapa besar manfaat yang
kita tinggalkan untuk orang lain. Ketulusan, dedikasi, dan cinta yang beliau
curahkan kepada keluarga dan santri adalah bukti nyata bahwa hidup penuh berkah
akan dikenang selamanya.
Saat jenazah dimakamkan, langit masih
memayungi dengan mendung dan gerimis. Seolah semesta ikut mendoakan beliau.
Saya menyaksikan prosesi itu dengan hati yang berat, tetapi juga penuh harap.
Semoga beliau diberi tempat terbaik di sisi-Nya, dilapangkan kuburnya, dan
diterangi dengan cahaya keimanan.
Ketika prosesi selesai, saya melangkah
pergi dari lokasi pemakaman dengan hati yang dipenuhi campuran emosi. Kesedihan
karena kehilangan, harapan untuk masa depan, dan inspirasi untuk menjalani
hidup dengan lebih baik. Hari itu, kepergian beliau menjadi pelajaran berharga
bagi saya. Bahwa hidup yang bermakna bukanlah tentang apa yang kita miliki,
tetapi tentang apa yang kita beri.
Langit masih mendung ketika saya
meninggalkan wilayah PPDU. Gerimis kecil tetap turun, membasahi bumi seolah
mengantarkan doa-doa kepada almarhumah. Di dalam hati, saya terus berdoa:
semoga Allah SWT memberikan saya dan keluarga kekuatan untuk meneladani
kebaikan beliau. Semoga anak-anak saya menjadi generasi yang bisa mengantarkan
saya kepada husnul khatimah ketika saat itu tiba. Aamiin. [pgn]
0 Komentar