Pelajaran di Hari Pertama

 

Canda, tawa dan marah serta nasihat bijaksana kepada murid-murid adalah bagian dari seni yang harus dimainkan oleh guru saat menjalankan profesinya.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Rabu, 9 April 2025, langit Jombang begitu cerah. Sinar matahari menyelinap di antara dedaunan rindang yang mengelilingi lapangan belakang SMA Angan-angan. Suara peluit tanda barisan apel pagi dimulai menggema, memanggil seluruh siswa untuk segera merapat ke posisi barisan masing-masing. Pagi itu terasa istimewa: hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang Ramadan dan Idul Fitri. Wajah-wajah cerah menghiasi lapangan, bercampur aroma keringat pagi dan parfum remaja yang berlebihan.

Di tengah lapangan berdiri seorang guru muda, Pak Ardi, yang hari itu mendapat amanah tak biasa: menggantikan pembina apel pagi yang mendadak berhalangan. Sebagai wali kelas XI-11, Pak Ardi dikenal cerdas, kreatif, suka humor, dan kadang-kadang jahil kepada siswa, namun bisa tegas seperti komandan jika diperlukan. Ia menyukai ice breaking seperti bernyanyi atau bermain game ringan saat mengajar, membuat suasana kelasnya selalu dinantikan.

Dengan mic di tangan, ia membuka amanat pagi dengan senyum hangat. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi anak-anak sekalian. Taqabbalallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir dan batin..."

Sapaan itu disambut riuh rendah balasan siswa. Pak Ardi pun melanjutkan, mengaitkan semangat Idul Fitri dengan pentingnya membersihkan hati, menjaga lingkungan, dan membangun kebersamaan.

"Hari ini, selain halal bihalal bersama guru-guru setelah apel, kita juga akan bersama-sama membersihkan kelas dan lingkungan sekolah. Kelas yang bersih mencerminkan jiwa yang bersih. Jadi ayo kita mulai hari pertama ini dengan energi positif dan tanggung jawab."

Apel ditutup dengan doa, lalu halal bihalal berlangsung di tengah gelak tawa dan jabatan tangan yang hangat. Namun suasana ceria itu tak sepenuhnya menjalar ke salah satu kelas di ujung koridor lantai dua: XI-11.

.....

Murid-murid XI-11, terutama para siswi yang jumlahnya lebih banyak, asyik duduk-duduk sambil berbincang. Ada yang tertawa keras, ada yang bergosip ringan, dan ada pula yang mengeluh tentang tugas yang belum sempat diselesaikan selama libur. Murid laki-lakinya, yang lebih sedikit dan pendiam, sebagian hanya melamun sambil memainkan HP, sebagian lagi menumpuk buku di pojokan.

"Wes, ngapain sih bersih-bersih. Kan masih hari pertama," celetuk Rika, siswi aktif yang sering jadi juru bicara kelas.

"Iya, mending duduk dulu, nunggu Pak Ardi datang, baru gerak," sahut Andra, salah satu murid laki-laki yang terkenal paling cuek. Nilai-nilainya pas-pasan, sering terlambat, dan kerap bikin guru geleng-geleng.

Pak Ardi datang beberapa menit kemudian dengan wajah tenang. Tapi saat matanya menyapu isi kelas yang masih berantakan dan murid-murid yang santai seperti di warung kopi, raut wajahnya langsung berubah.

"Kalian pikir ini tempat piknik?!" suaranya meninggi, menggelegar hingga membuat para murid kaget dan spontan berdiri.

"Kelas lain sudah mulai bersih-bersih, kalian masih santai kayak nggak ada apa-apa. Apa gunanya kalian ikut apel tadi kalau hanya dengar tanpa makna? Ayo ambil sapu, pel, lap, ember! Sekarang!"

Siswa-siswi pun semburat, seperti anak ayam dikejar induk ayam marah. Rika dan beberapa teman perempuannya buru-buru ke gudang alat kebersihan. Beberapa murid laki-laki bergegas membuka jendela, menyapu pojokan, atau mengambil kain pel.

Namun, satu suara nyeleneh kembali terdengar, kali ini dari Andra yang berseru sambil memegang sapu dengan satu tangan dan bahu terangkat.

"Yah, bersih-bersih sih bersih-bersih, tapi kan bisa santai juga, Pak. Nggak usah kayak tentara gitu lah."

Pak Ardi menghentak kakinya. "Andra! Kalau kamu belum bisa belajar tanggung jawab, jangan harap kamu bisa jadi orang yang berguna. Hidup bukan soal santai-santai, tapi soal kerja sama dan empati!"

Kelas mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara. Bahkan Rika yang biasanya cerewet, hanya bisa menatap lantai sambil terus menyapu.

.....

Waktu berlalu. Perlahan-lahan, kelas XI-11 mulai terlihat bersih. Debu-debu di bawah meja disapu, kaca jendela dilap hingga bening, tanaman di depan kelas disiram. Pak Ardi tak hanya berdiri mengawasi, ia ikut turun tangan: mengangkat meja, mengepel lantai, bahkan memunguti sampah kecil yang terselip di balik lemari.

Tak terasa satu jam berlalu. Kelas XI-11 pun berubah wujud: dari sarang santai menjadi ruang belajar yang bersih, rapi, dan harum. Murid-murid, meski lelah dan keringatan, mulai menunjukkan senyum puas. Andra pun, meski malas-malasan, akhirnya menyapu halaman depan.

Pak Ardi memanggil mereka masuk kembali. Semua duduk dengan tenang. Kali ini tak ada suara gaduh, tak ada gumaman. Yang ada hanya diam dan wajah-wajah tertunduk.

Pak Ardi membuka pembicaraan dengan suara pelan, berbeda dengan nada marah sebelumnya.

"Anak-anak, kita mulai pagi ini dengan maaf. Saya minta maaf kalau tadi marah. Tapi saya ingin kalian belajar sesuatu hari ini."

Ia berhenti sejenak, menatap wajah-wajah lelah yang masih memikirkan amarah barusan.

"Kalian sudah besar. Sudah kelas XI. Kedewasaan itu bukan hanya diukur dari umur. Tapi dari bagaimana kita bersikap. Mulailah belajar berpikir sebelum bertindak. Jangan cuma nanya 'boleh atau tidak', tapi naiklah ke level berikutnya: 'ini benar atau salah?', 'ini baik atau buruk?', dan yang lebih tinggi lagi, 'ini pantas atau tidak pantas saya lakukan?'."

Suasana menjadi hening. Bahkan kipas angin yang berputar di atas kepala terdengar lebih nyaring daripada detik jam dinding.

"Kelas ini adalah tanggung jawab kita bersama. Kalau bukan kalian yang jaga, siapa lagi? Saya bukan pesuruh kalian. Saya pembimbing kalian. Tapi pembimbing tak berarti bisa bekerja sendiri. Kita ini tim. Kerja sama itu kunci keberhasilan. Empati itu kunci keutuhan. Kebersihan itu cermin jiwa kita. Dan tanggung jawab adalah tanda kedewasaan."

Tak satu pun murid yang berbicara. Tapi mata mereka berbicara banyak. Rika menunduk, menatap jemarinya yang masih menggenggam kain lap. Andra, untuk pertama kalinya dalam semester ini, terlihat serius.

Pak Ardi tersenyum kecil. "Saya percaya, kalian bisa jadi lebih baik. Hari ini hanyalah latihan kecil, dari pelajaran hidup yang lebih besar."

Bel tanda pergantian jam pelajaran berbunyi. Namun tak seorang pun langsung keluar kelas. Semua masih duduk, merenungi pagi yang telah mereka lalui bersama.

Pagi itu, kelas XI-11 bukan hanya belajar tentang kebersihan ruang, tapi juga kebersihan hati. Bukan hanya kerja bakti, tapi juga latihan tanggung jawab, empati, dan kedewasaan. Sebuah pagi yang mungkin tak akan mereka lupakan.[pgn]

 

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024

Kisah fiksi ini diangkat dari pengalaman penulis selama berinteraksi dengan murid-muridnya dengan tambahan serba-serbi pemanis alur cerita. 

Posting Komentar

0 Komentar