Belajar dari Tradisi: Refleksi Pembelajaran P5 di Kampung Adat Segunung

 

Projek ini diakhiri dengan Gelar Karya P5 yang menampilkan video film dokumenter dari presentasi materi tiap kelompok.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Dalam kerangka besar pendidikan karakter yang digagas melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), para murid diajak untuk tidak sekadar belajar di dalam kelas, tapi juga menapaki realitas kehidupan masyarakat. Salah satu implementasi riilnya adalah kunjungan observatif ke Kampung Adat Segunung—sebuah destinasi wisata budaya berbasis masyarakat yang terletak di Dusun Segunung, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang.

Destinasi ini bukan sekadar tempat rekreasi, tetapi merupakan ruang hidup yang dibangun dengan kesadaran kolektif warga dalam melestarikan budaya dan kearifan lokal. Kampung Adat Segunung adalah brand yang mewakili semangat pelestarian, gotong royong, dan pemberdayaan warga berbasis budaya. Di tempat inilah, murid-murid SMAN 2 Jombang mendapatkan pengalaman belajar yang tak bisa mereka temukan dalam buku pelajaran.

Sebagai fasilitator pembelajaran P5, saya mengajukan satu pertanyaan reflektif setelah kegiatan observasi: “Apa hal baru yang kamu pelajari tentang tradisi budaya di Dusun Segunung yang belum kamu ketahui sebelumnya?” Jawaban mereka membentuk mosaik pemahaman yang menggembirakan, yaitu: murid-murid tidak hanya menyaksikan kebudayaan, mereka menyerap maknanya.

Mayoritas di antara mereka menyebutkan bahwa tradisi Wiwit Kopi adalah hal baru yang mereka pelajari. Tradisi ini merupakan bentuk syukuran menjelang panen kopi. Dalam pelaksanaannya, warga membawa “ambeng”—nasi dengan aneka lauk-pauk di sekelilingnya—dan menggelar doa bersama di kebun kopi. Uniknya, mereka mengenakan pakaian serba hitam, khas petani Segunung, yang menjadi simbol kesederhanaan dan kedekatan dengan alam.

Tak sedikit murid yang mengira bahwa memetik kopi hanyalah aktivitas pertanian biasa. Namun, setelah kunjungan ke Kampung Adat Segunung, mereka menyadari bahwa ada lapisan spiritual dan kultural yang menyertai setiap proses bertani di sana. Ada tiga tahap dalam tradisi Wiwit Kopi: persiapan, pelaksanaan, dan doa inti. Semua dijalankan dengan khidmat, menunjukkan bahwa masyarakat Segunung menghargai proses dan hasil, serta menjaga relasi harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Selain Wiwit Kopi, murid-murid juga mengenal tradisi PERMATA—singkatan dari Perlindungan Mata Air. Ini bukan sekadar kegiatan konservasi, tetapi sebuah gerakan sosial dan spiritual yang mengajak masyarakat menjaga sumber mata air sebagai bentuk rasa syukur dan tanggung jawab terhadap alam. Dalam era krisis lingkungan seperti sekarang, tradisi PERMATA memberikan teladan bagaimana masyarakat adat mampu menjadi garda depan pelestarian ekologi dengan pendekatan budaya.

Tradisi lain yang juga menjadi sorotan murid-murid adalah Grebeg Suro—ritual tahunan yang digelar setiap bulan Suro (penanggalan Jawa), sebagai bentuk syukur atas berkah dan keselamatan. Di dalamnya terkandung nilai gotong royong, solidaritas sosial, dan penghormatan kepada leluhur.

Tidak hanya itu, murid-murid juga mencatat keberadaan kesenian tradisional seperti karawitan, kuda lumping, dan permainan anak-anak tradisional yang masih hidup di tengah modernisasi. Hal ini menunjukkan bahwa Kampung Adat Segunung bukanlah museum yang statis, melainkan ekosistem budaya yang dinamis dan terus berkembang.

Sebagian murid mengaku sama sekali belum pernah mendengar tradisi-tradisi ini sebelumnya. Mereka terkejut sekaligus kagum karena ternyata, di kabupaten yang sama dengan tempat tinggal mereka, ada komunitas yang masih menjaga budaya leluhur dengan penuh kesadaran dan semangat kebersamaan. Bagi mereka, ini adalah pelajaran baru—bahwa menjaga budaya tidak selalu berarti menolak kemajuan, melainkan menemukan keseimbangan antara masa lalu dan masa kini.

Pengakuan murid seperti, “Saya kira memetik kopi ya hanya memetik, ternyata ada tasyakurannya,” atau “Saya baru tahu bahwa di Jombang ada tradisi PERMATA yang tujuannya menjaga kelestarian mata air,” adalah indikasi bahwa proses pembelajaran melalui observasi ini efektif. Mereka tidak hanya mengetahui, tetapi juga memahami dan menghargai.

Dari perspektif pendidikan karakter, kunjungan ini membuktikan bahwa pembelajaran berbasis projek, terlebih yang menyentuh realitas budaya lokal, mampu menumbuhkan sikap inklusif, rasa ingin tahu, dan kesadaran ekologis siswa. Mereka belajar bahwa menjadi pelajar Pancasila bukan hanya tentang menghafal lima sila, tetapi menghayatinya dalam kehidupan nyata—dalam gotong royong, cinta tanah air, keberagaman budaya, dan pelestarian lingkungan.

Maka, refleksi ini bukan hanya menjadi catatan pengalaman, tetapi juga ajakan. Ajakan kepada para pendidik agar lebih banyak membawa murid-murid keluar dari tembok kelas, ke ruang-ruang kehidupan yang nyata. Ajakan kepada pemerintah dan masyarakat agar memberi ruang lebih luas bagi budaya lokal untuk hidup dan menjadi sumber belajar. Dan ajakan kepada murid sendiri untuk menjadi agen perubahan—dengan menghargai akar, mereka akan tumbuh kuat dan berbuah kebaikan di masa depan.

Kampung Adat Segunung telah membuka jendela kesadaran bagi generasi muda. Ia adalah contoh konkret bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan bekal untuk masa depan. Dan melalui P5, kita telah membuktikan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang membumi, menyentuh hati, dan menumbuhkan nurani.[pgn]

Nine Adien Maulana, Guru Fasilitator P5 SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

 

Baca juga!
Suara Generasi Muda tentang Kearifan Lokal
Bincang Kearifan Lokal
Jejak Kearifan Lokal Kampung Adat Segunung


Posting Komentar

0 Komentar