Sekolah Rakyat, Jalan Harapan

 

Sebuah catatan reflektif Pak Guru NINE tentang Sekolah Rakyat.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Dulu, saya adalah seorang guru di sebuah sekolah swasta muda namun penuh semangat—SD Islam Roushon Fikr Jombang. Saat saya bergabung, sekolah itu baru menginjak usia tiga tahun. Meski muda, atmosfer di dalamnya begitu hidup. Para pendiri dan guru-gurunya adalah orang-orang yang tak pernah berhenti belajar. Di sana, saya mengenal pendidikan sebagai proses yang lentur, kreatif, dan selalu berpihak pada kebutuhan murid. Kami tidak takut mencoba hal-hal baru. Bahkan, menjadi “berbeda” justru menjadi semangat utama. Empat tahun saya berada dalam lingkungan itu. Saya tumbuh, belajar, dan menemukan jati diri sebagai pendidik.

Hingga akhirnya, saya diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). Perjalanan saya pun berpindah ke sekolah negeri—pertama di SMA Negeri Ploso, dan sekarang di SMA Negeri 2 Jombang. Peralihan ini tentu membawa konsekuensi. Saya tak lagi sepenuhnya bebas seperti saat di sekolah swasta. Saya kini berada dalam sistem, menjadi bagian dari roda kebijakan negara. Tapi, satu hal tak berubah: saya tetap kritis.

Beberapa teman atau kolega mungkin bertanya-tanya, bagaimana mungkin saya yang dikenal kritis, kini tampak "setuju" pada semua kebijakan pemerintah? Apakah saya berubah? Tidak. Kritis bukan berarti menolak. Justru sebaliknya, sikap kritis saya sekarang punya ruang baru: untuk memperkuat dari dalam, bukan menghakimi dari luar. Dalam posisi saya saat ini, kritik bukan untuk melawan, tapi untuk memastikan bahwa arah yang dituju pemerintah benar-benar berpihak kepada rakyat.

Itulah sebabnya saya mendukung penuh kebijakan pembangunan Sekolah Rakyat—meski beberapa orang bersikap skeptis terhadapnya. Saya memahami keraguan itu. Kebijakan ini memang muncul di tengah banyak keterbatasan. Namun saya memilih untuk melihat niat baik dan kebutuhan mendesak yang melatari lahirnya program ini. Anak-anak dari keluarga miskin ekstrem tak bisa menunggu segala sesuatu sempurna. Mereka perlu jalan hari ini, bukan nanti.

Konstitusi kita dengan sangat jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran (Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945), dan bahwa negara harus memelihara fakir miskin serta anak-anak terlantar (Pasal 34 UUD 1945). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin bahkan secara tegas menyebutkan bahwa pelayanan pendidikan adalah bagian dari penanganan yang harus diberikan negara. Maka, ketika pemerintah meluncurkan Sekolah Rakyat, saya melihatnya sebagai perwujudan dari tanggung jawab konstitusional itu.

Sekolah Rakyat bukan sekolah biasa. Ia bukan dibangun untuk bersaing dengan lembaga formal yang sudah mapan. Ia hadir sebagai jembatan bagi mereka yang selama ini tersisih. Anak-anak dari keluarga Desil 1 dan Desil 2—mereka yang hidup di garis kemiskinan ekstrem—adalah wajah dari kebutuhan mendesak itu. Selama ini, sistem pendidikan kita yang serba administratif dan teknokratik kadang tak mampu menjangkau realitas sosial yang sangat beragam. Maka, Sekolah Rakyat datang sebagai bentuk keberpihakan.

Saya percaya bahwa membantu anak-anak ini untuk tetap belajar, meski dalam kondisi sangat terbatas, adalah langkah awal yang mulia. Mungkin gedungnya sederhana, mungkin sarana prasarana masih minim, mungkin tenaga pengajarnya belum sepenuhnya ideal. Tapi jauh lebih mulia memulai dari kekurangan daripada terus menunggu kesempurnaan yang tak kunjung tiba. Apalagi dengan hadirnya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang Datatunggal Sosial Ekonomi dan Inpres Nomor 8 Tahun 2025 tentang Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, maka kehadiran Sekolah Rakyat bukan hanya kebijakan, melainkan amanah nasional yang harus diwujudkan bersama.

Sebagai seorang guru dan aparatur sipil negara, saya tidak ingin menjadi penonton yang hanya mengomentari dari jauh. Saya ingin menjadi bagian dari solusi. Kritis, dalam makna yang lebih matang, adalah ketika kita mampu mendampingi kebijakan dengan saran-saran yang membangun, bukan sekadar menggugat. Justru di sinilah integritas seorang guru diuji—mampukah kita tetap menyuarakan nurani sambil membantu menjalankan program pemerintah agar lebih tepat sasaran?

Saya membayangkan suatu hari nanti, anak-anak yang kini menimba ilmu di Sekolah Rakyat bisa bercerita bahwa mereka tidak dibiarkan tenggelam oleh keadaan. Bahwa negara hadir, meski dengan segala keterbatasan. Bahwa ada guru-guru yang memilih untuk percaya dan bekerja, alih-alih mencemooh dan menjauh. Bukankah tugas kita sebagai pendidik adalah menjadi jembatan harapan?

Menjadi bagian dari birokrasi bukan berarti kehilangan daya kritis. Justru karena kita berada dalam sistem, kita punya ruang dan kesempatan lebih besar untuk memperbaiki dari dalam. Sekolah Rakyat bukan akhir dari perjuangan pendidikan yang adil, tapi ia adalah awal yang penting. Saya tetap kritis. Tapi kali ini, saya berdiri di barisan yang ingin menjadikan harapan itu nyata. Bukan dengan teriak dari luar pagar, tetapi dengan ikut serta menyusun batunya, satu per satu.

Dan di situlah saya berdiri sekarang—di tengah pusaran tantangan, di antara gelombang pro dan kontra, saya memilih untuk tetap berpihak. Pada mereka yang lemah. Pada anak-anak yang nyaris kehilangan masa depan. Pada semangat pendidikan yang tak membedakan siapa dan dari mana. Karena saya percaya, keberpihakan adalah bentuk tertinggi dari sikap kritis yang bertanggung jawab.[pgn]

Nine Adien Maulana, Guru SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

 

Baca juga!

Menuju Indonesia Kuat melalui Sekolah Rakyat

Ikhtiar Keadilan Sosial melalui Sekolah Rakyat

 

 

 


Posting Komentar

0 Komentar