![]() |
Sebagai guru, saya percaya bahwa bangsa ini akan benar-benar bangkit bila kita mulai dari pendidikan. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Saya adalah Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di SMA Negeri
2 Jombang—sebuah sekolah negeri yang oleh masyarakat Jombang kerap dianggap
sebagai sekolah terfavorit. Bagi
saya, mengajar di sini bukan sekadar profesi, tapi sebuah panggilan untuk ikut
membentuk generasi penerus bangsa yang cerdas, tangguh, dan berkarakter. Maka
setiap kali bangsa ini memperingati Hari Kebangkitan Nasional, seperti 20 Mei
2025 ini, saya merasa ada ruang untuk merenung lebih dalam tentang makna
“kebangkitan” yang sejati.
Tahun ini adalah peringatan ke-117
sejak kelahiran Boedi Utomo pada 1908, yang selama ini dianggap sebagai
tonggak awal gerakan nasional Indonesia. Tapi sebagai pendidik, saya merasa
perlu membuka lembar sejarah lebih awal. Lima tahun sebelum Boedi Utomo
berdiri, sudah ada Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dirintis Haji
Samanhudi di Surakarta. SDI bukan organisasi sembarangan. Ia lahir dari
keresahan terhadap ketimpangan ekonomi, lalu menyalurkannya melalui gerakan
ekonomi rakyat berbasis Islam.
SDI mempersatukan pedagang pribumi,
terutama para pengusaha batik muslim, untuk bisa bersaing dengan pengusaha
besar dari etnis lain. Semangatnya bukan sekadar tentang perdagangan, tapi
tentang kedaulatan ekonomi rakyat. Maka menurut saya, sangat wajar jika SDI
sebenarnya lebih pantas dijadikan titik awal Hari Kebangkitan Nasional—karena
ia membawa agenda pemberdayaan rakyat kecil, bukan hanya kalangan elite
terpelajar.
Namun di balik perdebatan historis itu,
semangat yang lahir dari masa-masa awal kebangkitan nasional tetap relevan
hingga hari ini: Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat. Di tengah
tantangan zaman, termasuk kemiskinan ekstrem yang masih menjadi masalah serius
di berbagai penjuru negeri, kita butuh kebangkitan yang nyata—kebangkitan
sosial yang menyentuh akar persoalan bangsa.
Kemiskinan ekstrem adalah musuh
bersama. Bukan sekadar statistik, tapi kondisi riil yang merampas masa depan
jutaan anak bangsa. Dan di sinilah peran pendidikan menjadi sangat krusial.
Tidak ada jalan lain untuk keluar dari lingkaran kemiskinan kecuali dengan
memberikan akses pendidikan yang layak bagi semua, terutama mereka yang selama
ini tercecer dari sistem.
Dalam konteks ini, saya sangat
mengapresiasi program Sekolah Rakyat yang diluncurkan pemerintah. Program ini
bukan basa-basi. Ia dirancang untuk menjangkau anak-anak dari keluarga miskin
dan miskin ekstrem dengan menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas,
berkonsep asrama, dari jenjang SD hingga SMA. Ini bukan sekadar bangun sekolah,
tapi membangun harapan.
Sekolah Rakyat adalah jawaban terhadap
tantangan konkret. Ketika banyak keluarga miskin tidak sanggup membiayai
pendidikan anak-anaknya, negara hadir melalui inisiatif ini. Pendidikan
berkualitas bukan hanya hak mereka yang mampu, tapi harus menjadi milik semua
anak Indonesia. Di sinilah Sekolah Rakyat menjadi strategi penting untuk
memutus mata rantai kemiskinan yang sudah turun-temurun.
Namun pemerintah tidak bisa bekerja
sendiri. Semangat "Bangkit Bersama" harus diterjemahkan sebagai
ajakan kolaborasi. Dunia pendidikan tak akan bergerak maju tanpa sinergi antara
pemerintah, komunitas lokal, tokoh agama, dunia usaha, dan masyarakat sipil.
Semua harus terlibat. Karena membangun Indonesia kuat tidak cukup dengan
gedung-gedung megah, tapi dengan solidaritas yang mengakar.
Sebagai guru, saya melihat Sekolah
Rakyat bukan hanya sebagai sarana belajar-mengajar. Ia adalah ruang untuk
menanamkan nilai-nilai kebangsaan, karakter Pancasila, kerja keras, dan
semangat gotong royong kepada generasi muda. Bahkan di tengah keterbatasan
fasilitas sekalipun, nilai-nilai itu bisa tumbuh subur jika ditanam dengan
cinta dan keikhlasan. Dan dari sanalah lahir generasi yang bukan hanya cerdas
otaknya, tapi juga mulia hatinya.
Sekolah Rakyat juga merupakan bentuk
inovasi sosial yang patut diapresiasi. Dalam dunia pendidikan yang kerap kali
terjebak pada formalitas dan birokrasi, Sekolah Rakyat menawarkan pendekatan
baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Ia menunjukkan bahwa solusi atas
persoalan global seperti kemiskinan dan ketimpangan bisa datang dari gerakan
lokal yang didukung penuh oleh negara.
Karena itu, pemerintah seharusnya tidak
hanya menjadikan Sekolah Rakyat sebagai proyek sesaat, tetapi sebagai bagian
dari kebijakan pendidikan nasional berbasis komunitas. Kita butuh sistem
pendidikan yang adaptif, kontekstual, dan berpihak pada rakyat kecil. Jangan
sampai anak-anak kita tumbuh besar dalam kemiskinan hanya karena mereka lahir
di keluarga yang salah. Setiap anak punya hak yang sama untuk bermimpi besar.
Akhirnya, membangun Sekolah Rakyat
sejatinya adalah investasi jangka panjang. Kita sedang menanam benih untuk masa
depan bangsa. Anak-anak yang nanti
dibina di Sekolah Rakyat bisa jadi kelak akan menjadi pemimpin, inovator, dan
penggerak perubahan. Mereka adalah wajah masa depan Indonesia yang
kuat—Indonesia yang tidak lagi terbelenggu oleh kemiskinan struktural.
Sebagai guru, saya percaya bahwa bangsa
ini akan benar-benar bangkit bila kita mulai dari pendidikan. Dari ruang-ruang
kelas yang sederhana, dari wajah-wajah lugu yang tak menyerah pada keadaan.
Mari kita bersama-sama menyalakan kembali semangat kebangkitan nasional, bukan
hanya dengan upacara dan seremonial, tetapi dengan kerja nyata, solidaritas,
dan keberpihakan pada mereka yang selama ini tertinggal.
Karena Indonesia yang kuat, hanya akan
lahir dari Indonesia yang peduli. Dan Sekolah Rakyat adalah bukti bahwa kita
sedang melangkah ke arah itu. Bersama, kita bisa bangkit. Bersama, kita
wujudkan Indonesia kuat.[pgn]
Nine Adien
Maulana, Guru SMAN 2 Jombang – Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
Baca juga!
0 Komentar