![]() |
Murid-murid kelas XI-6 SMAN 2 Jombang sangat kompak dan antusias dalam melaksanakan tugas pembelajaran projek Majelis Khitbah & Akad Nikah. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - “Pak, ternyata akad
nikah itu deg-degan banget ya, meskipun cuma simulasi!” Begitu komentar spontan
dari salah satu siswa usai mengikuti Projek Majelis Khitbah dan Akad Nikah
yang kami gelar di kelas XI-6 SMAN 2 Jombang. Dari situ saya sadar: ternyata
pembelajaran Pendidikan Agama Islam bisa sedekat itu dengan realitas, dan
sedalam itu menyentuh hati.
Sebagai guru PAI, saya tak ingin
anak-anak hanya menghafal rukun nikah atau membaca teks fikih tentang khitbah
tanpa rasa. Maka, bersama mereka, kami menggelar sebuah projek pembelajaran
berbasis praktik langsung. Bukan untuk drama biasa, tapi untuk memahami betapa
sakral, syar’i, dan sarat makna proses pernikahan dalam Islam.
Dan hasilnya? Di luar dugaan. Projek
ini menjelma jadi momen istimewa yang bukan hanya mendidik siswa muslim, tapi
juga merangkul teman-teman non-muslim. Di sinilah PAI menemukan napasnya:
menjadi ilmu yang hidup, membentuk akhlak, serta menumbuhkan toleransi.
Belajar Jadi “Pengantin” yang
Bertanggung Jawab
Setiap siswa mendapatkan peran sesuai
kesanggupan: ada yang jadi pengantin, wali nikah, pembaca doa, penghias
ruangan, pembawa seserahan, hingga dokumentator. Yang menarik, bahkan siswa
non-muslim pun ikut terlibat sebagai anggota keluarga, tamu undangan, atau tim
kreatif. Semua merasa punya tempat, semua merasa punya peran.
Beberapa siswa mengaku awalnya
malu-malu, bahkan canggung saat memainkan peran. Namun perlahan mereka larut
dalam keseriusan dan semangat teman-temannya. “Awalnya bingung, tapi setelah
menyusun seserahan bareng teman, rasanya menyenangkan dan jadi tahu seperti apa
pernikahan secara Islami,” tulis seorang siswi.
Rasa bangga dan keterlibatan emosional
itu menjadi indikator penting: bahwa pembelajaran telah menyentuh ranah
afektif, bukan hanya kognitif.
Dari Teori ke Aksi
Sebagian besar siswa mengaku bahwa
projek ini membuka mata mereka. Banyak yang baru tahu kalau mahar tidak harus
seperangkat alat salat, atau bahwa prosesi menyematkan cincin seharusnya
dilakukan oleh orang tua, bukan pasangan langsung. Beberapa bahkan baru
menyadari bahwa sebelum akad, ada pengecekan berkas dan kesaksian yang harus
sah menurut syariat.
Apa artinya? Artinya, selama ini
mungkin teori-teori di buku ajar belum sepenuhnya membekas. Tapi dengan praktik
nyata, pengetahuan itu menjadi hidup. Mereka tak hanya tahu, tapi paham.
Mereka tak hanya hafal, tapi merasakan.
“Melalui praktik langsung, saya jadi
mengerti bahwa akad nikah itu bukan formalitas. Tapi janji suci yang harus
dijalani dengan serius,” tulis seorang siswa laki-laki yang berperan sebagai
wali perempuan.
Menjahit Toleransi, Menyulam
Kebersamaan
Yang paling membanggakan dari projek
ini adalah bagaimana siswa lintas iman saling bekerja sama. Tidak ada yang
merasa terpinggirkan. Sebaliknya, teman-teman non-muslim menunjukkan antusiasme
yang tinggi: ikut menghias ruangan, membantu logistik, bahkan datang di hari
Minggu sebelum ibadah untuk menyumbang tenaga.
Mereka tidak belajar tentang Islam dari
ceramah, tapi dari interaksi. Mereka melihat betapa Islam menempatkan etika dan
penghormatan dalam setiap prosesnya, termasuk dalam pernikahan. Seorang siswi
non-muslim menulis, “Saya jadi tahu bahwa Islam sangat menghormati perempuan
dalam proses khitbah. Semua dilakukan secara sopan dan penuh adab.”
Inilah nilai toleransi yang tidak
diajarkan secara verbal, tetapi ditanamkan lewat aksi nyata. Di sinilah
pembelajaran agama benar-benar menjadi inklusif dan mendalam.
Tantangan Ada, Tapi Tak Memadamkan
Semangat
Tentu saja tak semua berjalan mulus.
Banyak siswa mengeluhkan waktu persiapan yang sempit, kesulitan membagi peran,
hingga dekorasi yang terkesan mendadak. Beberapa kelompok bahkan harus lembur
hingga malam demi menata seserahan dan merapikan ruangan kelas.
Namun dari situ mereka belajar tentang
tanggung jawab, kerja tim, dan pentingnya komunikasi. “Kita memang bukan
wedding organizer, tapi kita berhasil menyatukan niat. Itu yang membuat acara
ini terasa berkesan,” tulis seorang siswi sambil mengusulkan agar pelaksanaan
proyek ini diumumkan sejak awal semester agar persiapan bisa lebih optimal.
Saat PAI Menyentuh Masa Depan
Yang mengejutkan, hampir semua siswa
mengaku bahwa projek ini mengubah cara pandang mereka tentang pernikahan. Dari
yang tadinya menganggap nikah itu sekadar resepsi, kini memahami bahwa ada syariat,
adab, dan tanggung jawab besar yang menyertainya.
“Saya jadi sadar, bahwa menikah itu
bukan hanya tentang cinta, tapi juga kesiapan mental dan spiritual,” tulis
salah satu pemeran pengantin pria. Bahkan mereka yang mengaku belum siap
menikah pun merasa lebih sadar akan pentingnya mempersiapkan diri sejak
sekarang—bukan hanya dalam hal cinta, tapi juga ilmu dan iman.
PAI Tak Lagi Membosankan
Jika ada satu kesimpulan yang bisa saya
tarik dari semua refleksi siswa, maka itu adalah: PAI tak lagi membosankan.
Projek ini membuktikan bahwa pelajaran agama bisa dikemas dengan cara yang
menarik, menyentuh, dan menyenangkan.
Siswa belajar tentang fikih pernikahan
sambil menyusun seserahan. Mereka menghafal doa sambil membaca langsung dalam
prosesi. Mereka memahami nilai-nilai Islam sambil berinteraksi dengan
teman-teman non-muslim. Inilah pembelajaran yang menyentuh tiga ranah
sekaligus: kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Kami tidak hanya belajar menjadi
“pengantin” dalam simulasi. Tapi juga belajar menjadi manusia yang siap
menjalani kehidupan dengan nilai-nilai agama, kebudayaan, dan kemanusiaan yang
utuh.
Dan satu hal yang pasti: mereka ingin
mengulang pengalaman ini—bukan hanya untuk nikah-nikahan, tapi juga untuk
materi lain yang bisa dihidupkan dalam panggung pembelajaran yang nyata.[pgn]
Baca juga!
0 Komentar