![]() |
Dalam bayangan saya, hadir tiga wajah: Caraka Shankara, Taliya Kayana, dan Wacana Bawana—tiga anak saya yang menjadi cermin perjalanan spiritual dan emosional saya sebagai orang tua. |
[Jombang Pak Guru NINE] - Selasa pagi,
17 Juni 2025. Sekitar pukul 10.00 WIB udara di Sumberagung, Megaluh,
Jombang, terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena
sebuah pertemuan yang menyatukan harapan, cinta, dan semangat tumbuh bersama.
Saya memenuhi undangan Bu Sri Lestari, Kepala SDN Sumberagung, untuk mengisi
materi parenting bagi wali murid kelas VI dan anak-anak mereka yang sebentar
lagi akan meninggalkan bangku sekolah dasar.
Sebenarnya saya tidak nyaman serta-merta menerima
undangan itu, karena saya merasa masih belum ideal menjadi orang tua. Apalagi
dinamika kepengasuhan kami kepada anak-anak kami masih penuh dengan lika-liku
doa, mujahadah dan air mata. “Saya merasa kurang ideal untuk bicara parenting,
Bu.” Namun dengan bijak, Ibu Sri Lestari menanggapi, “Mboten nopo-nopo, Pak.
Sama-sama belajar.”
Kalimat
sederhana itu justru membuat saya tersentak. Ya, parenting memang bukan soal
siapa yang paling ideal, tapi siapa yang terus belajar. Akhirnya
saya pun menerima undangan itu, bukan karena saya merasa paling tahu, tapi
karena saya ingin berbagi proses belajar menjadi orang tua.
Awalnya, saya membayangkan suasana diskusi ringan di dalam
kelas, tempat saya bisa berinteraksi langsung, berdialog, dan mendengar suara
para orang tua. Ternyata, realita berkata lain. Acara berlangsung di atas
panggung, dalam rangkaian pelepasan siswa kelas VI. Dengan posisi audiens duduk
di bawah dan saya berdiri cukup tinggi di atas panggung, atmosfernya pun lebih
mirip pengajian daripada diskusi. Namun, bukankah hidup memang tentang
penyesuaian?
Saya
kemudian meminta beberapa anak—yang baru saja disebut
bercita-cita menjadi atlet—untuk membantu membawa kursi sofa ke atas panggung
agar saya bisa duduk saat menyampaikan materi. Dengan wajah sumringah, mereka
mengangkat kursi itu, seperti mengangkat semangat yang menyala dalam hati.
“Seorang atlet harus kuat. Tolong bantu saya, ya!” pinta saya dengan senyum
yang tak bisa disembunyikan. Mereka membalas
dengan tawa ringan penuh semangat dan bergembira.
Ketika
saya mulai berbicara, saya tidak sedang memberi ceramah. Saya sedang mengajak
semua yang hadir untuk masuk dalam cerita-cerita menjadi
orang tua, menjadi manusia yang bertumbuh, dan menjadi pribadi yang tak
berhenti belajar. Dalam bayangan saya, hadir tiga wajah: Caraka Shankara,
Taliya Kayana, dan Wacana Bawana—tiga anak saya yang menjadi cermin perjalanan
spiritual dan emosional saya sebagai orang tua. Cerita saya, nasihat saya,
adalah pengakuan jujur bahwa saya pun belum selesai belajar menjadi orang tua.
Saya
memulai dengan gagasan paling mendasar: menjadi
orang tua bukan berarti harus sempurna. Dalam Islam, kita
diajarkan untuk menjaga keluarga, bukan menyelamatkan mereka dengan tangan
kita. Bahkan Nabi Nuh pun memiliki anak yang ingkar. Ini menunjukkan bahwa
hidayah adalah urusan Allah, sedangkan tugas kita adalah berusaha dan berdoa.
Kerendahan
hati menjadi fondasi pendidikan. Saya kutip Carl Rogers, tokoh psikologi
humanistik, yang menyebut bahwa manusia tumbuh dalam suasana penuh empati,
penerimaan tanpa syarat, dan keaslian. Anak tidak butuh orang tua yang ideal.
Mereka butuh orang tua yang jujur, yang mengakui, “Saya juga sedang belajar.”
Selanjutnya,
saya mengajak hadirin merenungkan bahwa anak
bukan proyek ambisi. Mereka adalah amanah dengan fitrah unik
yang perlu kita temukan, bukan kita bentuk sesuka hati. Dalam perspektif Jean
Piaget, anak berkembang melalui tahapan kognitif tertentu, dan tidak adil
menuntut mereka berpikir layaknya orang dewasa. Tugas kita adalah menemani
mereka, bukan mengatur jalan hidup mereka secara sepihak.
Saya
juga menyampaikan bahwa pendidikan
adalah kerja jangka panjang, bukan sprint pendek. Butuh kesabaran,
bahkan ketika hasil belum tampak. Seperti konsep "zone of proximal
development" dari Lev Vygotsky, anak akan berkembang jika dibimbing dalam
zona yang belum bisa mereka capai sendiri—tetapi bisa mereka jangkau dengan
bantuan.
Dalam
menghadapi segala dinamika, penting bagi kita untuk fokus pada kebaikan anak.
Psikologi positif menekankan bahwa ketika kita menyorot sisi baik, meski kecil,
maka kita sedang menyiram bibit potensi itu. Anak yang diam bukan berarti
pasif—mungkin ia seorang pengamat ulung. Anak yang lambat merespons mungkin
sedang belajar dengan ritmenya sendiri.
Ketika
semua upaya telah dikerahkan, maka tawakkal
adalah kunci terakhir. Kita bukan pengendali akhir nasib anak. Allah-lah yang
menggenggam hatinya. Tawakkal bukan berarti menyerah, tapi percaya bahwa setiap
doa, setiap pelukan, setiap air mata yang jatuh di sajadah, punya tempat
tersendiri dalam perhitungan Allah.
Di
akhir sesi, saya tekankan satu hal yang tak kalah penting: keteladanan.
Teori Bandura tentang pembelajaran sosial menjelaskan bahwa anak lebih banyak
meniru daripada mendengarkan. Jika ingin anak rajin sholat, kita yang harus
lebih dulu bersemangat ke masjid. Jika ingin anak tidak mudah menyerah, maka
kita harus menunjukkan semangat bangkit setelah jatuh.
Acara
pagi itu bukan sekadar pertemuan formal. Itu adalah refleksi bersama. Bukan
hanya mereka yang belajar dari saya—saya pun belajar dari kejujuran wajah para
orang tua, dari harapan yang bersinar di mata anak-anak, dan dari senyuman yang
menyimpan doa.
Saya
menutup sesi dengan kutipan yang lahir dari hati saya sendiri:
“Anak-anak
tidak sedang menunggu kita menjadi sempurna. Mereka hanya butuh kita yang terus
hadir, mencintai, dan tidak berhenti berharap.”
Begitulah,
dari atas panggung sederhana di SDN Sumberagung, saya belajar lagi tentang
cinta yang ikhlas, harapan yang tak padam, dan kekuatan doa yang pelan-pelan
membentuk masa depan.
Karena sejatinya, parenting bukan soal mengubah anak, tapi memperbaiki diri. Dan, dalam proses itulah, kita semua—anak dan orang tua—bertumbuh bersama. Dari atas panggung sederhana itu, saya tidak sedang mengajari. Saya sedang menyapa hati para orang tua—dan menyapa hati saya sendiri. Sebab sesungguhnya, kita semua sedang dalam perjalanan yang sama: menjadi lebih baik, hari demi hari, bersama anak-anak yang kita cintai.[pgn]
0 Komentar