![]() |
Berdasarkan isian formulir online ini yang saya akses pada Rabu, 4/6/2025 pukul 15.45 WIB jumlah murid SMAN 2 Jombang yang lolos SNBP adalah 111 murid. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Setiap angka menyimpan cerita.
Di balik data penerimaan murid-murid SMA Negeri 2 Jombang melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT)
tahun 2025, tersembunyi mozaik semangat, harapan, dan pelajaran tentang bagaimana
pendidikan adalah ruang penuh kejutan. Tidak semua yang terlihat ‘biasa-biasa
saja’ akan berakhir biasa. Terkadang, justru dari kelas-kelas yang sering
dianggap ‘paling sulit diatur’, lahir prestasi yang menggetarkan hati.
Mari
kita buka lembar pertama dari jenis kelamin. Dari 111 siswa yang lolos SNBT,
sebanyak 75 murid adalah perempuan, sedangkan hanya 36 laki-laki
yang berhasil. Apakah ini berarti perempuan kini lebih unggul secara akademik? Belum tentu, karena memang secara faktual jumlah murid
perempuan setidak-tidaknya dua lebih banyak daripada jumlah murid laki-laki. Namun yang
lebih penting untuk digarisbawahi adalah bagaimana semangat belajar dan
konsistensi tampaknya makin melekat dalam diri para murid
perempuan. Mereka membuktikan bahwa tekad dan dedikasi tidak mengenal gender,
dan bahwa stigma "anak perempuan kurang percaya diri di bidang
akademik" semakin hari semakin tak relevan.
Namun
sorotan paling menggugah justru datang dari komposisi kelas. Siapa sangka
bahwa kelas
XII-10, XII-5, dan XII-9—kelas-kelas yang selama ini tak masuk
radar sebagai kelas unggulan—menjadi kontributor terbesar dalam keberhasilan
masuk PTN? XII-10
melesat dengan 18 siswa, mengalahkan kelas-kelas yang dikenal
istimewa dalam berbagai program sekolah. Ini bukan hanya sekadar anomali
statistik. Ini
adalah teguran halus bagi kita semua—para guru, pengelola pendidikan, bahkan
masyarakat—untuk tidak
mudah menilai dan
menyimpulkan proses dari tampilan luar.
Pernah
suatu ketika seorang guru bercerita bahwa mengajar di kelas-kelas tersebut
seperti berbicara pada dinding. Riuh, tak fokus, bahkan membuat lelah hati.
Tapi nyatanya, anak-anak itu diam-diam tumbuh. Mereka belajar dengan cara
mereka sendiri, menyerap nilai-nilai dan strategi dengan ritme yang mungkin tak
terdeteksi oleh standar umum. Kita
sering lupa bahwa potensi itu bukan soal kemilau sesaat, tapi tentang bagaimana
seseorang menyalakan cahaya dalam dirinya dan terus menjaganya tetap menyala
meski tak ada yang melihat.
Dari
segi perguruan
tinggi pilihan, mayoritas siswa memilih kampus di Jawa Timur
seperti UNESA,
UNAIR, UM, dan UPN Veteran Jawa Timur. Ini menunjukkan bahwa
orientasi geografis dan kenyamanan wilayah masih menjadi pertimbangan utama.
Bisa jadi karena kedekatan budaya, biaya hidup yang lebih terjangkau, atau
relasi emosional dengan daerah asal. Namun di balik itu, ada juga pesan positif,
bahwa kualitas pendidikan di Jawa Timur kini sudah cukup meyakinkan untuk
dijadikan pilihan utama.
Lalu
kita bicara soal program
studi. Tak mengejutkan jika Hukum, Teknik, dan Ilmu Komunikasi
menjadi primadona. Di tengah dunia kerja yang semakin kompetitif dan tak
menentu, murid-murid ini tampaknya telah menimbang
baik-baik arah masa depan mereka. Pilihan jurusan tidak lagi sekadar
ikut-ikutan atau berdasarkan tren, tapi didasarkan pada proyeksi masa depan dan daya
saing profesional. Bahkan muncul pula jurusan-jurusan seperti Pendidikan Bahasa Jepang,
yang mencerminkan keberanian untuk memilih jalur berbeda, lebih spesifik, dan
memiliki nilai tambah di tengah era globalisasi.
Satu
aspek yang juga tak boleh dilupakan adalah keberhasilan peserta KIP Kuliah.
Sebanyak 35 siswa
penerima KIP berhasil lolos, membuktikan bahwa peluang
afirmatif bisa benar-benar menjadi jembatan menuju perubahan hidup. Keberadaan KIP Kuliah memberi penegasan kepada khalayak
bahwa tidak semua murid SMA Negeri 2 Jombang berlatarbelakang keluarga yang
mampu secara ekonomi. Meskipun demikian, negara hadir dan memberikan layanan
pendidikan yang layak kepada mereka.
Dari
semua itu, satu benang merah bisa kita tarik: prestasi bukan milik eksklusif siapa pun.
Ia bisa tumbuh di kelas yang gaduh, di anak yang tak populer, di siswa yang
mungkin selama ini tak dianggap 'bintang'. Keberhasilan mereka adalah cambuk
sekaligus pelita. Cambuk bagi kita yang terlalu sering menilai cepat, pelita
bagi mereka yang diam-diam memupuk impian meski dikelilingi keraguan.
Esai
ini bukan untuk merayakan angka semata. Ini adalah panggilan agar
kita—pendidik, orang tua, dan siswa—kembali percaya pada proses. Bahwa setiap anak punya waktunya
sendiri untuk bersinar, dan kita tak pernah tahu kapan itu akan
terjadi. Maka tugas kita bukan menakar siapa paling cemerlang hari ini, tapi
menyiapkan ruang agar setiap siswa merasa pantas untuk tumbuh dan berhasil.
Akhirnya, data ini bukan sekadar statistik. Ia adalah potret kehidupan. Tentang perjuangan, tentang kesabaran, tentang keyakinan bahwa dari tempat-tempat yang paling tak diduga, bisa lahir cahaya paling terang. Mari belajar dari mereka yang melesat diam-diam, agar kita lebih bijak menyemai harapan bagi generasi berikutnya.[pgn]
0 Komentar