Menemukan Mutiara Dakwah di Panggung ISCO 2025

 

Lomba Dai Remaja jenjang SMP dalam ISCO 2025 di SMAN 2 Jombang.


[Jombang, Pak Guru NINE] - Suasana SMA Negeri 2 Jombang pada Senin, 9 Juni 2025 lalu berbeda dari biasanya. Aroma semangat, kesungguhan, dan cahaya keimanan berpendar di antara derap langkah para siswa dan pengunjung yang hadir dalam ajang tahunan Islamic SMADA Competition (ISCO). Sebuah kompetisi bernuansa Islami yang telah menjadi ikon tahunan Remaja Masjid Miftahul Abror (RMMA) dan dinanti oleh banyak sekolah dari berbagai penjuru daerah.

Di tahun ini, ISCO 2025 kembali menghadirkan berbagai cabang lomba yang bertujuan menumbuhkan semangat beragama dan memperkuat karakter generasi muda. Panitia menyelenggarakan lomba Tartil Al-Qur’an, Tahfidh Al-Qur’an, dan Dai Remaja untuk tingkat SD dan SMP. Sedangkan lomba Cerdas Cermat Islam (CCI) diperuntukkan khusus untuk siswa SMP. Dengan kategori yang kian beragam dan peserta yang semakin banyak, ISCO bukan hanya kompetisi, tetapi juga menjadi ruang tumbuh bagi generasi muda Islam dalam berproses, belajar, dan mengasah potensi mereka.

Saya pribadi mendapat amanah yang sangat membanggakan dalam gelaran ini. Bersama Bapak Ahmad Sofyan Baihaqi, Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dari SMAN Ploso, kami dipercaya menjadi juri lomba Dai Remaja tingkat SMP. Sebuah tanggung jawab yang tidak ringan, karena bukan hanya menilai aspek teknis dan retorika, tapi juga menimbang ketulusan, kekuatan pesan, serta pengaruh spiritual dari setiap kata yang disampaikan oleh para peserta.

Yang membuat kami semakin takjub, jumlah peserta lomba Dai Remaja tahun ini mencapai 23 orang. Meskipun mayoritas berasal dari kabupaten Jombang, peserta juga datang dari luar daerah, seperti Kediri dan Jember. Ini menandakan bahwa gema ISCO telah menembus batas-batas geografis dan menjadi magnet dakwah bagi remaja dari berbagai kota. Mereka hadir dengan semangat dan visi yang sama, yakni ingin menebar cahaya Islam di tengah gempuran zaman.

Penampilan para peserta benar-benar memukau. Dengan gaya bahasa yang segar, retorika yang mengalir lancar, serta penguasaan tema yang dalam, mereka membuktikan bahwa usia bukan penghalang untuk menyampaikan kebenaran dengan elegan. Ada yang tampil dengan gaya santai dan humoris, ada pula yang menyampaikan pesan dengan intonasi penuh getar emosi. Semuanya menyatu dalam komposisi yang menghidupkan ruangan.

Menjadi juri dalam kompetisi seperti ini bukan sekadar menilai siapa yang terbaik, tetapi juga menyaksikan proses indah bagaimana Islam disampaikan melalui lisan-lisan muda yang bersinar. Seringkali, kami dibuat terdiam oleh kekuatan pesan yang mereka bawa. Ada peserta yang membahas tentang pentingnya menjaga akhlak di era digital, ada pula yang menyoroti keteladanan Rasulullah dalam membangun generasi. Bahkan, ada yang dengan berani mengangkat isu bullying di sekolah dari perspektif ajaran Islam. Di sinilah nilai ISCO terasa begitu relevan, yakni mengasah intelektual sekaligus menghidupkan empati sosial.

Yang menarik, beberapa peserta lomba Dai Remaja tahun ini ternyata adalah alumni juara ISCO di jenjang SD tahun lalu. Mereka datang lagi dengan versi diri yang lebih matang, lebih siap, dan lebih dalam dalam menyampaikan pesan. Hal ini menunjukkan bahwa ISCO bukan hanya kompetisi tahunan, tetapi juga perjalanan dakwah yang berkelanjutan, menjadi ruang konsistensi untuk tumbuh dan terus bertumbuh.

Persaingan nilai sangat ketat. Selisih skor antara juara 1, 2, dan 3 begitu tipis, menandakan bahwa kualitas peserta hampir merata di level atas. Hal ini sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi kami sebagai juri. Kami harus benar-benar cermat, adil, dan objektif dalam melihat sisi-sisi subtansi, keaslian gagasan, kekuatan delivery, serta dampak pesan yang disampaikan. Sebab pada akhirnya, seorang dai bukan hanya tampil untuk memenangkan perlombaan, tapi juga untuk menyentuh hati, mengajak berpikir, dan menggugah kesadaran.

Lebih dari sekadar mencari juara, ISCO 2025 telah menjadi ruang perjumpaan antara semangat, iman, dan gagasan. Di atas panggung itu, para remaja tak hanya belajar berbicara, tetapi juga belajar mendengarkan hati, merangkai logika, dan menyampaikan nilai-nilai Islam dengan bahasa yang membumi. Ini adalah proses penting yang kelak akan membentuk pribadi tangguh, cerdas, dan siap menjadi agen perubahan di masyarakat.

Dalam suasana penuh semangat itu, saya merenung sejenak. Betapa pentingnya ruang-ruang seperti ini diciptakan oleh lembaga pendidikan. Bukan hanya sebagai bentuk aktualisasi diri siswa, tapi juga sebagai media penanaman nilai-nilai Islam yang aplikatif dan menyentuh realitas. Di tengah maraknya konten digital yang seringkali menjauhkan anak muda dari nilai-nilai luhur, ISCO menjadi oase: menyejukkan, menyadarkan, dan menguatkan.

Ke depan, kita semua, para guru, orang tua, pengelola masjid, dan para pemangku kepentingan pendidikan, perlu terus bersinergi menjaga keberlangsungan program seperti ISCO. Tidak hanya sekadar rutin digelar, tapi juga terus diperbarui, disempurnakan, dan diperluas jangkauannya. Karena dari sinilah, benih-benih dai masa depan disemai. Mereka bukan hanya akan berbicara di panggung lomba, tapi juga di mimbar-mimbar nyata kehidupan.

Sebagai guru, saya merasa tersentuh sekaligus optimis. Bahwa Islam di masa depan akan tetap hidup, akan tetap bersinar, karena masih ada generasi muda yang siap menyuarakan kebaikan, menyampaikan pesan kedamaian, dan menjadikan dakwah sebagai gaya hidup. ISCO 2025 telah membuktikannya, dan semoga kelak para peserta ini benar-benar menjadi bagian dari mata rantai dakwah yang membawa rahmat bagi semesta.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar