Bukan Salah Siswa, Tapi Sistem yang Tak Ramah!

 

Penyediaan moda transportasi massa yang aman, nyaman dan murah adalah salah satu cara menurunkan tingkat pelanggaran peraturan lalu lintas di kalangan pelajar.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Setiap pagi, pemandangan anak-anak sekolah mengendarai sepeda motor sudah menjadi hal yang lumrah, bahkan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bagi sebagian besar guru, termasuk saya, kondisi ini menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, kita memahami keterbatasan sarana transportasi dan beban orang tua dalam mengantar-jemput anak. Di sisi lain, kita dihadapkan pada realitas hukum dan peraturan yang tegas melarang siswa di bawah umur berkendara tanpa Surat Izin Mengemudi (SIM).

Sebagai pendidik, saya berada dalam pusaran perasaan serba salah. Ketika melihat siswa SMP datang ke sekolah dengan sepeda motor, saya sadar betul bahwa mereka belum cukup umur untuk memiliki SIM. Pihak sekolah pun tegas melarang kendaraan mereka masuk ke dalam area sekolah. Namun, ini tidak menghentikan mereka. Solusinya? Mereka memarkir motor di tempat penitipan milik warga sekitar, sekitar 300-500 meter dari sekolah, lalu berjalan kaki masuk ke dalam lingkungan sekolah.

Pihak sekolah, meski mengetahui praktik ini, cenderung bersikap “seolah tidak tahu”. Ini bukan bentuk pembiaran, melainkan ekspresi dari kebuntuan solusi. Sekolah hanya punya dua pilihan: bersikap keras namun tidak solutif, atau membiarkan dengan harapan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam konteks ini, sekolah melepas tanggung jawab karena kendaraan siswa berada di luar wilayahnya.

Kondisi ini tak jauh berbeda di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagian besar siswa SMA pun belum cukup umur untuk mendapatkan SIM karena belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun, praktiknya, pihak sekolah justru memperbolehkan siswa membawa sepeda motor. Alasan utamanya tentu karena praktis dan efisien. Tanpa motor, siswa yang tinggal jauh akan sulit untuk datang tepat waktu. Mengandalkan ojek online pun bukan solusi bagi sebagian besar keluarga. Berdasarkan pengalaman saya, dengan jarak tempuh sekitar 13 km, biaya perjalanan pulang-pergi ojek online dari SMAN 2 Jombang ke rumah saya di Pacarpeluk bisa menembus angka lebih dari Rp. 70.000,00 per hari, jumlah yang tentu berat jika dihitung dalam sebulan.

Transportasi umum pun tak bisa diandalkan. Di Jombang, misalnya, mobil angkutan umum (mobil line) yang dulu berjaya kini nyaris tak layak pakai. Minim peremajaan, pengelolaan seadanya, dan trayek yang tidak menyesuaikan kebutuhan siswa, membuat moda ini ditinggalkan.

Di tengah kegalauan ini, saya meyakini bahwa jalan keluarnya bukan dengan terus-menerus bersikap “pura-pura tidak tahu”, melainkan dengan mendorong solusi struktural yang nyata. Pemerintah Kabupaten Jombang perlu hadir melalui kebijakan transportasi publik yang ramah pelajar. Bayangkan jika tersedia bus khusus pelajar—seperti konsep TransJatim—yang memiliki trayek antar sekolah dengan biaya terjangkau. Murid bisa berangkat dengan aman dan nyaman, tanpa harus melanggar hukum. Orang tua pun tidak terbebani secara ekonomi maupun waktu.

Model transportasi publik semacam ini tidak hanya menyelesaikan masalah logistik, tapi juga menjadi bentuk investasi sosial jangka panjang. Anak-anak kita akan tumbuh dalam budaya tertib lalu lintas sejak dini. Mereka tidak lagi terbiasa melanggar aturan hanya karena sistem tidak memberi pilihan yang lebih baik.

Di sisi lain, peran kepolisian dalam hal ini juga sangat penting. Edukasi dan pembinaan kepada pelajar terkait pentingnya memiliki SIM perlu digencarkan. Idealnya, pihak kepolisian dan sekolah dapat menjalin kerja sama untuk membuat program pelatihan mengemudi bagi siswa menjelang usia 17 tahun. Ketika mereka sudah cukup umur dan siap secara administratif, mereka juga siap secara kompetensi untuk menjalani ujian SIM.

Saat ini, proses ujian SIM dianggap sulit dan menakutkan oleh sebagian besar pemohon, apalagi siswa. Banyak yang gagal berkali-kali, hingga akhirnya muncul stigma bahwa untuk mendapatkan SIM, jalan pintas lebih efisien. Ini tentu merusak mentalitas generasi muda. Mereka belajar bahwa sistem bisa disiasati, bukan dijalani.

Padahal, aturan sudah sangat jelas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Peraturan Kepolisian Nomor 2 Tahun 2023, mengatur ketat soal siapa yang boleh mengemudi dan bagaimana proses mendapatkan SIM yang sah. Di antaranya, pemohon SIM harus cukup umur, sehat secara jasmani dan rohani, memiliki KTP, dan lulus uji kompetensi.

Namun, seketat apapun aturan, jika tidak dibarengi dengan dukungan kebijakan di lapangan, maka akan sulit ditegakkan secara konsisten. Guru akan terus berada dalam posisi dilematis—antara menegakkan aturan atau memahami realita sosial yang penuh keterbatasan.

Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan kolaboratif antara sekolah, pemerintah daerah, dan kepolisian untuk menyelesaikan masalah ini dari akarnya. Tidak bisa hanya sekolah yang menanggung beban moral dan sosial. Perubahan harus sistemik.

Pada akhirnya, tugas kita sebagai guru bukan hanya mendidik dalam kelas, tapi juga memperjuangkan lingkungan yang mendukung pembelajaran dan keselamatan anak-anak. Maka, mari kita bersuara bersama, bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menyampaikan bahwa kita butuh solusi nyata. Kita butuh transportasi publik yang aman, murah, dan terintegrasi. Kita butuh proses pengurusan SIM yang edukatif dan memudahkan, bukan menakutkan. Karena generasi yang tertib tidak dibentuk dengan aturan semata, tapi juga dengan sistem yang berpihak dan lingkungan yang mendukung.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024

 

Baca juga!

Saat Sekolah Belum Siap, Tapi Murid Disabilitas Sudah Datang

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Setuju sekali ... Sangat setuju adanya moda transportasi umum yang ramah, tertib dan tepat waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga aspirasi ini bisa didengar dan ditindaklajuti oleh Bupati, Kapolres, Dinas Pendidikan, dan Pihak Sekolah

      Hapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)