![]() |
Jalur afirmasi dalam SPMB 2025 memberikan ruang bagi anak-anak penyandang disabilitas untuk masuk ke sekolah-sekolah negeri tanpa diskriminasi. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Ada sebuah pertanyaan
yang mulai mengemuka di ruang-ruang guru dan kepala sekolah: "Bagaimana
jika kami menerima murid penyandang disabilitas, padahal sekolah belum siap
secara teknis?" Pertanyaan ini bukan sekadar curahan hati. Ia adalah realitas
yang dihadapi banyak satuan pendidikan saat ini—terutama setelah
diberlakukannya sistem penerimaan murid baru jalur afirmasi yang juga menyasar
peserta didik penyandang disabilitas.
Tujuan dari kebijakan ini sejatinya
sangat mulia. Negara ingin memastikan bahwa setiap anak, tanpa terkecuali,
memiliki akses yang setara terhadap layanan pendidikan menengah. Dalam Petunjuk
Teknis SPMB SMA/SMK Jawa Timur Tahun Ajaran 2025/2026, ditegaskan bahwa
jalur afirmasi memberikan ruang bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu dan
penyandang disabilitas untuk masuk ke sekolah-sekolah negeri tanpa
diskriminasi. Namun, niat baik ini seringkali terbentur oleh kenyataan: sekolah
belum siap.
Mari kita bicara jujur. Banyak sekolah
menerima murid dari jalur afirmasi disabilitas tanpa pernah benar-benar
menyiapkan sistem pembelajaran inklusif. Tidak ada guru pendidikan khusus,
tidak ada media bantu belajar, tidak tersedia aksesibilitas fisik seperti ramp,
toilet ramah disabilitas, atau bahkan ruang relaksasi. Lebih jauh lagi, belum
ada Unit Layanan Disabilitas (ULD) yang bisa membantu sekolah melakukan asesmen
fungsional atau memberikan pendampingan.
Lalu bagaimana proses belajar itu bisa
berlangsung optimal?
Padahal menurut Permendikbudristek
Nomor 48 Tahun 2023, setiap satuan pendidikan yang sudah menerima peserta
didik disabilitas berkewajiban menyediakan akomodasi yang layak.
Artinya, sekolah harus melakukan penyesuaian dalam kurikulum, metode
pengajaran, penilaian, hingga layanan pendampingan. Tidak bisa lagi kita
menyamakan layanan bagi seluruh murid dengan standar yang seragam. Pendidikan
inklusif justru mengharuskan keberagaman dalam layanan, sesuai dengan kebutuhan
masing-masing peserta didik.
Sayangnya, sebagian besar sekolah masih
berjalan dengan paradigma lama: bahwa semua murid harus mengikuti kurikulum
yang sama, dengan metode dan kecepatan belajar yang sama. Akibatnya, murid
penyandang disabilitas rentan tertinggal. Mereka hadir, tapi tidak
sungguh-sungguh belajar. Mereka duduk di bangku kelas, tapi tidak sepenuhnya
terlibat dalam pembelajaran. Dan lebih parah lagi, mereka sering kali tidak
mendapatkan pengakuan atas potensi dan perjuangan yang mereka miliki.
Namun apakah sekolah patut disalahkan
sepenuhnya?
Tentu tidak. Kita harus adil. Banyak
sekolah memang tidak menolak murid disabilitas. Mereka justru berusaha membuka
pintu selebar-lebarnya demi menjalankan amanah pendidikan. Hanya saja, ketika
fasilitasi tidak kunjung datang dari pemerintah daerah, dan pelatihan tidak
kunjung menyapa para guru, maka niat baik itu berjalan sendirian. Tanpa
dukungan sistemik, sekolah tidak akan mampu berdiri sendiri dalam mewujudkan
pendidikan yang ramah disabilitas.
Masalah lain yang sering muncul adalah
ketiadaan data dan asesmen fungsional yang memadai. Sekolah kerap hanya
menerima surat keterangan dari dokter atau psikolog sebagai formalitas.
Padahal, untuk menentukan bentuk akomodasi yang layak, sekolah harus melakukan
asesmen mendalam bersama ULD, orang tua, dan murid itu sendiri. Tanpa proses
ini, pendidikan menjadi spekulasi: guru menebak, murid bertanya-tanya, dan
hasilnya pun jauh dari harapan.
Lantas, bagaimana solusinya?
Pertama, pemerintah daerah harus
bergerak cepat untuk memfasilitasi satuan pendidikan yang sudah menerima murid
penyandang disabilitas. Hal ini bisa dimulai dari memetakan sekolah-sekolah
yang membutuhkan pembentukan atau penguatan fungsi ULD. Tidak cukup hanya
menetapkan aturan. Pemerintah daerah juga harus menyediakan anggaran,
pelatihan, dan sarana pendukung secara konkret.
Kedua, satuan pendidikan perlu proaktif
membangun sinergi. Jika belum memiliki ULD, maka sekolah wajib mengakses
layanan ULD terdekat atau mengajukan permohonan fasilitasi. Pendidikan inklusif
tidak bisa berjalan dalam kesendirian. Ia membutuhkan jejaring, kolaborasi, dan
komitmen lintas sektor.
Ketiga, para pendidik harus diberikan
ruang untuk belajar. Pelatihan pendidikan inklusif seharusnya menjadi program
wajib dan berkelanjutan. Tidak bisa kita berharap guru mampu memodifikasi
kurikulum dan penilaian tanpa pembekalan yang memadai. Apalagi jika harus
berhadapan dengan berbagai ragam disabilitas seperti netra, rungu, grahita,
hingga kombinasi ganda.
Keempat, mari ubah cara pandang kita.
Murid penyandang disabilitas bukan beban, bukan pula objek belas kasihan.
Mereka adalah subjek pendidikan yang memiliki hak, potensi, dan cita-cita yang
sama. Justru kehadiran mereka adalah kesempatan bagi kita untuk memperluas
pemahaman tentang makna sejati pendidikan: bukan sekadar transfer ilmu, tapi
penghargaan atas keberagaman dan kemanusiaan.
Akhirnya, kita harus mengakui bahwa
jalan menuju pendidikan yang inklusif memang tidak mudah. Akan selalu ada
tantangan, keterbatasan, bahkan resistensi. Tapi jika kita menyerah hanya
karena belum siap, maka kita sedang memutus harapan anak-anak yang sebenarnya
hanya ingin belajar dengan layak dan bermartabat.
Maka saat murid penyandang disabilitas
datang ke sekolah yang belum sepenuhnya siap, bukan waktunya saling
menyalahkan. Inilah saatnya bergandeng tangan, berbenah bersama, dan menjadikan
pendidikan inklusif bukan lagi mimpi di atas kertas, melainkan realitas yang
dirasakan oleh setiap anak di negeri ini tanpa
kecuali.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024
Baca juga!
Antara Tugas Mendidik dan Hak untuk Dilindungi
0 Komentar