![]() |
Sekolah harus segera menyiapkan murid-muridnya khususnya kelas akhir untuk menghadapi TKA yang akan dimulai pada tahun pelajaran 2025/2026 ini. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Dalam beberapa tahun
terakhir, dunia pendidikan Indonesia mengalami perubahan besar, salah satunya
adalah peniadaan Ujian Nasional (UN). Keputusan ini diambil dengan semangat
merdeka belajar dan kepercayaan penuh kepada guru sebagai garda terdepan dalam menilai
capaian belajar peserta didik. Namun, memasuki tahun pelajaran 2025/2026,
pemerintah kembali merancang sebuah kebijakan pengukuran capaian akademik murid
melalui Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2025. Lantas, apakah ini sebuah kemunduran? Atau justru merupakan langkah
maju yang lebih realistis dan adil?
TKA, secara sederhana, adalah alat
pengukuran kemampuan akademik murid pada mata pelajaran tertentu, yang
diselenggarakan secara nasional dan serentak oleh pemerintah. Jika dilihat
secara tersurat, kehadiran TKA bertujuan untuk menyaring capaian belajar murid
secara objektif dan terstandar. Namun secara tersirat, ini sekaligus menjadi
sinyal bahwa pemerintah mulai meragukan keabsahan dan objektivitas nilai yang
diberikan guru dalam buku rapor.
Rasa skeptis ini memang tidak datang
tanpa alasan. Di lapangan, terlalu sering kita menjumpai fenomena "inflasi
nilai", di mana banyak sekolah memberikan nilai rapor yang sangat tinggi
dan cenderung tidak realistis. Hal ini dilakukan, sadar atau tidak, karena
tekanan orang tua, keinginan untuk meningkatkan citra sekolah, atau agar murid
lebih mudah diterima di jenjang pendidikan berikutnya. Sayangnya, strategi
semacam ini merugikan sekolah-sekolah yang jujur dan menjaga obyektivitas
penilaian. Murid-murid dari sekolah-sekolah unggulan dengan sistem penilaian
ketat justru kalah bersaing dengan murid dari sekolah yang lebih longgar dalam
memberikan nilai.
Di sinilah TKA hadir sebagai jalan
tengah. Ia menjadi instrumen pemersatu sekaligus alat ukur yang obyektif
dan adil untuk seluruh murid di Indonesia, baik yang berasal dari pendidikan
formal, nonformal, maupun informal. Nilai hasil TKA tidak hanya menjadi
pelengkap, tetapi bisa menjadi validasi terhadap nilai-nilai rapor yang
selama ini dijadikan tolok ukur, meski kadang menipu.
Berbeda dengan Ujian Nasional yang kerap
dianggap sebagai momok dan ujian penentu kelulusan, TKA lebih bersifat sebagai
pengukuran kemampuan akademik yang tidak menghukum. Fokusnya bukan pada
kelulusan, melainkan pada pemetaan kemampuan murid secara nasional. Tujuannya
pun cukup luas dan strategis, mulai dari seleksi akademik yang adil,
penyetaraan hasil belajar bagi peserta didik nonformal dan informal, hingga
pengendalian mutu pendidikan oleh pemerintah daerah dan kementerian terkait.
Dalam pelaksanaannya, TKA menyasar murid
kelas akhir di semua jenjang pendidikan. Di tingkat SD dan SMP, mata uji hanya
terdiri atas Bahasa Indonesia dan Matematika. Sementara di jenjang SMA dan SMK,
peserta akan diuji pada Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan satu
mata pelajaran pilihan sesuai jurusannya. Hasil TKA disajikan dalam bentuk
nilai dan kategori capaian yang ditetapkan oleh menteri, bukan hanya sekadar
angka mentah. Ini memungkinkan adanya interpretasi yang lebih kaya dan tidak
semata-mata angka absolut.
Manfaat praktis TKA pun cukup banyak.
Di jenjang dasar dan menengah, hasil TKA bisa menjadi pertimbangan dalam
seleksi jalur prestasi ke sekolah yang lebih tinggi. Bahkan di jenjang SMA/SMK,
hasil TKA dapat dijadikan sebagai pertimbangan masuk perguruan tinggi. Selain
itu, bagi peserta didik dari jalur nonformal dan informal, TKA bisa menjadi
sarana penyetaraan yang sah dan kredibel. Ini merupakan langkah inklusif yang
patut diapresiasi.
Meskipun demikian, kebijakan ini tetap
memerlukan respons bijak dan kolaboratif dari seluruh pemangku kepentingan
pendidikan. Pertama, bagi guru dan sekolah, kehadiran TKA seharusnya menjadi
pemantik introspeksi. Sudahkah penilaian yang dilakukan selama ini betul-betul
jujur, obyektif, dan mencerminkan capaian murid secara nyata? TKA bukanlah
bentuk ketidakpercayaan, melainkan pengingat bahwa penilaian yang tidak akurat
bisa berdampak sistemik.
Kedua, pemerintah perlu memastikan
bahwa pelaksanaan TKA benar-benar adil dan tidak diskriminatif, baik dari segi
infrastruktur, akses internet, kesiapan teknis, maupun distribusi soal. Jangan
sampai murid dari wilayah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) justru
tersingkir hanya karena keterbatasan sarana. Pelatihan untuk guru pun harus
diadakan agar mereka bisa mengembangkan soal-soal yang setara kualitasnya
dengan standar TKA.
Ketiga, orang tua dan masyarakat juga
perlu diedukasi untuk tidak menuntut nilai tinggi semata. Nilai tinggi yang
tidak diiringi kemampuan riil hanya akan menjadi beban bagi anak di kemudian
hari. Prestasi sejati tidak hanya terletak pada angka, tetapi pada karakter,
kemampuan berpikir kritis, dan kesiapan menghadapi tantangan nyata.
Akhirnya, kita pun tentu tidak menginginkan pendidikan
yang penuh kepalsuan, yang hanya memburu nilai dan ijazah tanpa substansi. TKA
adalah satu dari sekian banyak langkah reformasi yang bisa membantu kita keluar
dari jebakan sistem yang terlalu permisif terhadap nilai. Selama dijalankan
dengan adil, transparan, dan menjunjung tinggi prinsip inklusivitas, TKA bisa
menjadi alat bantu yang strategis dalam menilai dan memperbaiki kualitas
pendidikan kita.
Kini, saatnya kita semua berbenah: guru
meningkatkan kualitas penilaian, sekolah menjaga integritas akademik,
pemerintah menjamin keadilan teknis, dan masyarakat mengubah pola pikir. Karena
pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar angka di rapor, melainkan proses
panjang membentuk manusia yang utuh, jujur, cakap, dan siap membangun masa
depan.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024
Baca juga!
0 Komentar