Difabel : Konter-Hegemoni Kata Disabilitas

 

Dengan menggunakan istilah difabel, kita tidak sedang mengaburkan kenyataan, tetapi sedang memaknai ulang kemampuan manusia dalam spektrum yang lebih luas. 

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga cermin dari cara berpikir dan memandang dunia. Dalam konteks ini, perubahan istilah dalam Bahasa Indonesia dari "cacat" menjadi "disabilitas" dan kemudian bergeser ke "difabel" bukanlah semata urusan kosakata, tetapi merupakan refleksi dari perubahan paradigma sosial, budaya, dan bahkan hukum dalam memperlakukan sesama manusia, terutama mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan fisik, mental, maupun sensorik.

Bahasa Indonesia dikenal akomodatif terhadap serapan kosakata baru, baik dari bahasa daerah maupun asing. Tak hanya itu, bahasa kita juga berkembang dinamis melalui proses eufemisme, yakni penghalusan kata-kata yang dianggap tabu, kasar, atau tidak pantas. Salah satu contohnya adalah kata cacat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI Daring, kata "cacat" memiliki makna yang erat dengan kekurangan, kerusakan, cela, bahkan ketidaksempurnaan. Ketika disematkan kepada manusia, kata ini tak hanya menjadi label, tetapi juga beban psikologis dan stigma sosial yang mengkerdilkan martabat.

Seiring perkembangan zaman, kata "cacat" mulai digantikan dengan istilah "tuna", seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Istilah "tuna" berasal dari bahasa Sanskerta tunna, yang berarti kurang atau tidak memiliki. Eufemisme ini pada masanya dianggap lebih sopan dan manusiawi. Namun, seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya penghormatan terhadap keberagaman manusia, istilah ini pun mulai dikritisi.

Perubahan besar terjadi ketika istilah disabilitas mulai digunakan secara resmi, terlebih setelah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas diundangkan. Dalam pasal 1 ayat 1 UU tersebut, penyandang disabilitas didefinisikan sebagai seseorang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik yang menyebabkan hambatan dalam berpartisipasi secara penuh dan setara di masyarakat.

Namun, penting untuk dipahami bahwa secara makna, kata disabilitas tidak jauh berbeda dengan kata cacat. Secara etimologis, disability dalam bahasa Inggris berasal dari gabungan kata dis (tidak) dan ability (kemampuan), yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti tidak memiliki kemampuan atau kehilangan fungsi. Maka, disabilitas sejatinya adalah cacat dalam bentuk yang dibahasakan asing. Dengan kata lain, eufemisme yang terjadi hanyalah pada penghalusan istilah dan bukan pada penghalusan makna. Ini menunjukkan bahwa perubahan bahasa tanpa diiringi perubahan paradigma, hanya menghasilkan kosmetika linguistik yang belum tentu mengubah cara masyarakat memperlakukan kelompok difabel secara lebih adil dan manusiawi.

Inilah yang mendorong lahirnya istilah difabel, singkatan dari different ability, yang bermakna memiliki kemampuan yang berbeda. Ini bukan sekadar permainan kata, tetapi sebuah konter-hegemoni atas istilah disabilitas yang dianggap menyudutkan dan menyiratkan ketidakmampuan. Difabel menolak dilabeli “tidak mampu”. Mereka justru menunjukkan bahwa mereka mampu, meskipun dengan cara yang tidak sama dengan orang kebanyakan. Mereka memiliki keunikan, keistimewaan, dan potensi yang berbeda. Seorang tunanetra mungkin tidak bisa melihat, tetapi ia bisa memiliki pendengaran yang luar biasa tajam. Seorang tunarungu mungkin tak mendengar suara, tetapi ia bisa merasakan getaran dan membaca ekspresi dengan akurasi tinggi.

Dengan menggunakan istilah difabel, kita tidak sedang mengaburkan kenyataan, tetapi sedang memaknai ulang kemampuan manusia dalam spektrum yang lebih luas. Istilah ini menempatkan mereka sebagai subjek yang setara, bukan objek belas kasihan atau pemberian. Maka tak heran jika para aktivis dan komunitas difabel lebih nyaman menggunakan istilah ini, karena terasa lebih memberdayakan dan positif.

Namun demikian, karena istilah disabilitas telah diadopsi sebagai bahasa hukum di berbagai peraturan, termasuk dalam konteks pendidikan, maka istilah ini tetap digunakan secara formal dalam dokumen, laporan, maupun karya ilmiah. Inilah yang saya sampaikan kepada murid-murid saya di SMAN 2 Jombang, terutama pada tahun pelajaran 2025/2026 ini ketika sekolah kami mulai menerima peserta didik dari jalur penyandang disabilitas.

Saya mengajak murid-murid untuk memahami perbedaan antara bahasa tulis yang formal dan bahasa verbal dalam komunikasi sehari-hari. “Dalam tulisan resmi, gunakan istilah disabilitas sesuai peraturan. Namun dalam komunikasi sehari-hari, silakan gunakan kata difabel untuk menunjukkan empati dan penghargaan terhadap mereka yang memiliki kemampuan berbeda,” pesan saya di kelas.

Saya juga menekankan bahwa kata memiliki kekuatan. Cara kita menyebut orang lain mencerminkan cara kita menghargai mereka. Jika kita masih saja terjebak dalam dikotomi "normal" dan "tidak normal", maka sesungguhnya kita belum benar-benar belajar menerima keberagaman. Bahkan istilah “anak berkebutuhan khusus” sering kali digunakan hanya sebagai penghalus dari “anak cacat”, padahal penghalusan tanpa pemahaman bisa tetap melanggengkan diskriminasi.

Mengubah istilah dari cacat menjadi tuna, dari tuna menjadi disabilitas, dan dari disabilitas menjadi difabel adalah bagian dari perjalanan panjang menuju masyarakat yang inklusif, adil, dan manusiawi. Namun, perubahan istilah harus dibarengi dengan perubahan sikap dan sistem. Tanpa itu, semua hanya akan menjadi upaya menata kata, bukan menata makna dan perlakuan.

Akhirnya, mengarifi kata disabilitas dan difabel bukan sekadar soal pilihan kata. Ia adalah soal bagaimana kita melihat manusia lain dengan lensa kemanusiaan, bukan kekurangan. Karena setiap orang diciptakan dengan keunikan, dan kemampuan tidak melulu harus seragam untuk dihargai. Mari kita ubah cara bicara kita, agar perlahan-lahan berubah pula cara pandang kita. Karena dari bahasa, lahir peradaban! [pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024

 

Baca juga!

Bukan Salah Siswa, Tapi Sistem yang Tak Ramah!

Posting Komentar

0 Komentar