![]() |
Kolase serpihan jejak awal santri baru Ma'had Al Qalam MAN 2 Kota Malang. |
[Jombang,
Pak Guru NINE] - Ahad, 13 Juli 2025, menjadi catatan tersendiri dalam buku
kehidupan kami sebagai keluarga. Hari itu bukan sekadar hari perpindahan tempat
tinggal, bukan pula sekadar awal tahun pelajaran baru. Lebih dari
itu, hari itu adalah awal dari sebuah ikhtiar panjang, upaya menumbuhkan jiwa
pembelajar sejati dalam diri putri kami, Taliya Kayana, yang kini
resmi menjadi santri di Ma’had Al Qalam MAN 2 Kota Malang.
Taliya tak datang sendiri.
Ia diantar oleh orang-orang yang mencintainya dengan penuh doa, yaitu Mbah Kakung (H. Syamsul Huda), Mbah Uti (Hj. Dewi
Alfiyah), Budenya (Hj. Ririn Eva Hidayati), adik
kesayangannya (Wacana Bawana), dan tentu saja kami, ayah
bundanya, (Nine Adien Maulana dan Hikmatun
Ni’mah) yang tak henti menyisipkan doa
dan harapan di setiap langkahnya.
Sekitar pukul 10.30 WIB,
mobil kami perlahan memasuki kawasan MAN 2 Kota Malang. Panitia penyambutan
yang penuh semangat langsung mengarahkan kami melangkah menuju Ma’had Al
Qalam. Santri-santri senior yang menjadi panitia menyambut dengan wajah hangat
dan sopan, membantu membawa koper dan tas menuju kamar santri baru. Taliya
mendapat kamar 410—lantai 4, ranjang nomor 10—dengan tempat
tidur tingkat bagian atas. Sebuah awal kecil yang menandai ruang baru, tempat dimana ia akan belajar lebih banyak tentang hidup, ilmu, dan diri
sendiri.
Kami, para orang tua laki-laki, tidak diperkenankan masuk ke kamar yang
dihuni para santri putri itu. Maka kami harus menunggu di ruang
tamu bawah, tempat perpisahan sementara
yang dipermanis oleh perkenalan antar sesama wali santri. Di sanalah
saya duduk bersama Wacana Bawana, sementara Bapak dan Ibu
saya memilih duduk di tempat lain.
Namun, seperti kata
pepatah, setiap perjalanan memiliki cara sendiri untuk mempertemukan
orang-orang baik. Saya pun mengajak diri keluar dari sudut sendiri dan mulai
menyapa para wali santri lain. Saya bersalaman dengan mereka, lalu duduk di
samping seorang lelaki tinggi besar dan berpeci putih. Kami saling
memperkenalkan diri sambil berjabat tangan. ”Saya Adien dari Jombang”, ucap saya. “Saya Yuli Witono,
dari Jember,” jawabnya ramah. Tak disangka, perkenalan itu menjelma menjadi obrolan
yang penuh makna.
Kepedulian dan Realitas Regulasi
Pak Yuli bercerita tentang
putrinya yang juga masuk Ma’had Al Qalam. Ia berasal dari SMPN 2 Jember, dan semula ia sudah diterima di MAN 1 Jember. Namun, karena lolos pula di MAN 2
Kota Malang, pilihan akhir pun jatuh ke madrasah negeri ini. “Kami ingin
lingkungan pendidikan yang tidak sekadar akademis, tapi juga agamis secara lengkap. Tempat anak bisa tumbuh, bukan sekadar belajar,” kata beliau.
Obrolan kami meluas, hingga
menyentuh soal regulasi pendidikan. Pak Yuli mengeluhkan betapa tidak
fleksibelnya aturan Komite Sekolah dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016.
“Kami para wali murid sebenarnya ingin berkontribusi lebih. Tapi aturan membuat
kami seolah dilarang untuk peduli,” keluhnya sambil
mengenang pengalamannya menjadi pengurus paguyupan wali murid di kelas putrinya
dulu.
Saya pun mengiyakan.
“Regulasi itu memang tampak ideal; melindungi peserta didik dari pungutan liar. Tapi pada
praktiknya, banyak kebutuhan sekolah yang tidak tercover dari BOS. Komite ingin
membantu, tapi terbelenggu aturan. Akhirnya, yang berniat baik pun jadi
was-was.”
Lain
halnya dengan madrasah yang berbeda dengan regulasi dengan sekolah umum, ketentuan
mengenai Komite Madrasah dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 2020 justru menunjukkan pendekatan yang lebih manusiawi dan
kontekstual. Pada Pasal 11 ayat (3), secara eksplisit dinyatakan bahwa Komite
Madrasah diperbolehkan menerima sumbangan rutin yang disepakati secara bersama
oleh orang tua atau wali peserta didik dengan kepala madrasah dan/atau yayasan.
Tidak ada redaksi yang bersifat kaku apalagi multitafsir. Dengan begitu,
regulasi ini tidak hanya membuka ruang partisipasi publik secara adil, tetapi
juga menegaskan pentingnya transparansi, musyawarah, dan keadilan dalam
pengelolaan dana pendidikan di lingkungan madrasah.
Diskusi kami pun bukan keluhan kosong. Ini adalah suara hati dari mereka yang
percaya bahwa pendidikan adalah kerja bersama. Bahwa sekolah bukan hanya milik
negara, tapi milik masyarakat. Dan masyarakat, sejatinya, ingin ambil
bagian—asal diberi ruang dan kepercayaan secara
legal dan aman.
Pertemuan yang Tak Disangka
Setelah sesi foto keluarga
di depan dinding identitas Ma’had Al
Qalam—dengan Pak Yuli secara spontan menawarkan diri menjadi fotografer
kami—kami keluar mencari makan siang. Seusai itu, saya dan istri kembali ke
madrasah untuk menghadiri pertemuan wali santri. Aula sudah penuh ketika saya
masuk. Saya mencari-cari tempat duduk yang
kosong. Ternyata, takdir kembali mempertemukan saya dengan Pak Yuli. Kami pun duduk berdampingan, seperti dua sahabat lama yang kembali
bertukar cerita.
Sambil menunggu acara
dimulai, saya secara iseng menuliskan nama Yuli Witono di Google lalu berselancar di sana. Dan, betapa saya sangat terperangah. Ternyata Pak Yuli bukan sekadar wali
santri biasa. Ia adalah Prof. Dr. Yuli Witono, S.TP., M.P., Guru
Besar Universitas Jember, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Diam-diam saya kagum. Seseorang dengan gelar dan jabatan setinggi itu, bisa
begitu rendah hati, bersahaja, dan hangat dalam bergaul,
bahkan mau dengan sukarela menjadi fotografer dadakan bagi kami sekeluarga. Betapa indahnya dunia
pendidikan ketika diwarnai oleh orang-orang seperti ini.
Tak hanya Pak Yuli, saya
juga melihat sejumlah guru besar lainnya hadir. Ada Prof. Dr. Muhammad
Husaini, SE. M.Si. mewakili wali santri
memberikan sambutan penyerahan santri kepada pengasuh
Ma’had. Ada
pula Prof. Dr. phil. Kamal Yusuf, SS,
M.Hum, pakar linguistik dari UIN Sunan Ampel Surabaya—kakak kelas saya di MAPK
Jember dulu. Seketika saya merasa bahwa madrasah ini bukan madrasah biasa. Keadaan ini mirip Ribath Hidayatul Quran PPDU Rejoso,
tempat Taliya lebih dulu nyantri di sana. Ribath ini menjadi pilihan para
keluarga terdidik dan pembelajar, yang menaruh harapan
besar bahwa tempat ini bukan sekadar madrasah, tetapi tempat tumbuhnya
nilai, karakter, dan masa depan.
Tersenyum Penuh Harap
Hari itu ditutup dengan
senyum Taliya. Ia tak menunjukkan air mata atau rasa ragu. “Ayah, Bunda, pulang
saja. Aku sudah siap,” ucapnya tenang. Kami
pun berfoto bersama dan saling berpelukan singkat. Ia pun berjalan mantap meninggalkan kami menuju kamarnya di
Ma’had. Ia tahu
bahwa perjalanan ini adalah pilihannya sendiri. Dan kami, sebagai orang
tua, hanya bisa menggenggam doa seerat mungkin.
Kami melihat beberapa
santri lain yang masih tampak berat melepas pelukan orang tua. Tapi
Taliya—berbekal pengalaman mondok sebelumnya—telah lebih siap. Dalam diam, kami
berucap, “Ya Allah, bimbinglah ia dalam setiap langkahnya. Jadikan
madrasah dan ma’had ini taman bagi imannya, dan
perjalanan ini sebagai permulaan hidup yang bermakna.”
Semoga Allah menjadikan
langkah-langkah kecil itu sebagai pijakan menuju kebaikan yang besar. Aamiin. [pgn]
Baca juga!
0 Komentar