Saatnya Membuka Jalan Terang Bagi Komite Sekolah

 

Esai ini ditulis berdasarkan inspirasi penulis yang baru saja mengantarkan putrinya masuk MAN 2 Kota Malang dan Ma'had Al Qalam.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Dalam kerangka besar Sistem Pendidikan Nasional, sekolah dan madrasah sejatinya berdiri sejajar. Keduanya memikul tanggung jawab besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk karakter generasi, serta memastikan mutu pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. Namun, ketika kita menengok lebih dalam ke dalam tubuh regulasi yang mengatur tata kelola pendidikan, terutama menyangkut peran Komite Sekolah dan Komite Madrasah, kita akan menemukan satu kenyataan yang menggelisahkan: ada ketimpangan sistemik yang menyebabkan sekolah — khususnya sekolah negeri — terjebak dalam ruang gerak yang sempit dan penuh risiko.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang menjadi payung hukum operasional komite di sekolah-sekolah, secara normatif menempatkan Komite Sekolah dalam posisi sebagai pendukung, pemberi pertimbangan, dan pengawas dalam pelaksanaan kebijakan dan program sekolah. Salah satu fungsi utama komite ini adalah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya. Namun, ketentuan dalam regulasi ini, khususnya pada Pasal 10 ayat (2), menegaskan bahwa bentuk penggalangan dana hanya diperbolehkan berupa “bantuan dan/atau sumbangan”, bukan “pungutan”. Lebih lanjut, Pasal 12 huruf b melarang tegas Komite Sekolah melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya.

Sepintas, larangan ini tampak mulia: mencegah adanya pungutan liar dan memastikan akses pendidikan yang adil tanpa beban biaya tambahan. Tetapi realitas di lapangan berkata lain. Banyak kebutuhan sekolah yang tidak tercover dalam anggaran rutin dari pemerintah. Dari pembelian peralatan ekstrakurikuler, pemeliharaan sarana prasarana, hingga pendanaan program peningkatan mutu yang tidak teranggarkan, semuanya membutuhkan sokongan dana tambahan. Di sinilah letak persoalan serius muncul.

Komite Sekolah, karena terbelenggu oleh regulasi yang ketat dan tidak fleksibel, akhirnya bergerak di wilayah yang abu-abu. Sumbangan dari wali murid, yang mestinya sah selama disepakati bersama dan dilakukan secara sukarela, kerap ditafsirkan pihak luar sekolah sebagai pungutan. Sekolah menjadi sasaran kritik tajam dari lembaga swadaya masyarakat, bahkan dalam beberapa kasus, dipolisikan. Kepala sekolah berada di bawah tekanan luar biasa, dilema antara mematuhi regulasi dan memenuhi kebutuhan nyata pendidikan.

Berbeda halnya dengan Komite Madrasah. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2020 memberikan ruang yang jauh lebih manusiawi dan realistis. Pasal 11 ayat (3) menyebutkan bahwa Komite Madrasah dapat menerima sumbangan rutin yang besarannya disepakati oleh orang tua/wali peserta didik bersama kepala madrasah dan/atau yayasan. Tidak ada kata-kata yang menjerat atau memberi ruang interpretasi ganda. Regulasi ini tidak hanya memberikan keleluasaan bagi madrasah dalam menghimpun partisipasi masyarakat, tapi juga memberikan perlindungan hukum atas praktik yang wajar dan transparan.

Dengan demikian, madrasah memiliki ruang legal untuk memfasilitasi partisipasi orang tua/wali dalam pembiayaan pendidikan. Sebuah pendekatan yang jauh lebih realistis, memberdayakan, dan mencerminkan semangat gotong royong dalam pendidikan nasional.

Lantas, mengapa sekolah tidak bisa mendapatkan kejelasan dan keleluasaan yang sama?

Padahal baik sekolah maupun madrasah adalah bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang semestinya diperlakukan secara adil dan proporsional. Ketika madrasah bisa menghimpun sumbangan rutin secara legal dan tertata, sekolah negeri terpaksa “berakrobat” hukum dengan segala risiko yang menyertainya. Situasi ini jelas merupakan bentuk diskriminasi kebijakan yang merugikan pendidikan secara keseluruhan.

Oleh karena itu, sudah waktunya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, segera merevisi atau mencabut Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Dalam konteks ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, diharapkan dapat mengambil langkah progresif dengan menerbitkan regulasi baru yang memberikan kejelasan hukum, keleluasaan penggalangan dana, serta perlindungan bagi kepala sekolah dan Komite Sekolah.

Regulasi baru tersebut sebaiknya mengadopsi model pengaturan sebagaimana yang tertuang dalam PMA Nomor 16 Tahun 2020. Beberapa poin penting yang dapat menjadi bagian dari peraturan pengganti adalah:

1.    Diperbolehkannya sumbangan rutin dari wali murid, dengan syarat dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis bersama dan tidak bersifat memaksa.

2.    Penggunaan dana sumbangan yang transparan dan akuntabel, dengan pelaporan berkala yang dapat diakses oleh seluruh pemangku kepentingan sekolah.

3.    Pengaturan mekanisme pengawasan dana oleh Komite Sekolah, untuk memastikan bahwa dana digunakan untuk kepentingan peningkatan mutu pendidikan.

4.    Klausul perlindungan hukum bagi kepala sekolah dan komite, selama mereka menjalankan tugas sesuai prosedur yang ditetapkan regulasi.

Regulasi yang ideal bukan hanya yang mampu menjaga integritas dan mencegah praktik menyimpang, tetapi juga yang mampu memberi ruang partisipasi publik secara sehat dan produktif. Pendidikan yang bermutu tidak akan tercapai hanya dengan mengandalkan dana BOS. Diperlukan keterlibatan masyarakat — terutama wali murid — secara langsung dan legal. Tapi tentu saja, semua harus dibangun di atas fondasi kepercayaan, transparansi, dan aturan yang adil.

Kini saatnya pemerintah mengakhiri ketimpangan ini. Jika tidak dibenahi, sekolah-sekolah negeri akan terus berjalan dalam kesunyian, sementara kepala sekolahnya terombang-ambing antara idealisme pelayanan dan ketakutan hukum. Padahal, yang mereka inginkan hanyalah satu: agar anak-anak Indonesia bisa belajar dengan fasilitas yang layak dan masa depan yang lebih baik.

Karena itu, mari kita suarakan bersama: Berdayakan Komite Sekolah, sempurnakan regulasi, dan buka ruang partisipasi masyarakat demi pendidikan yang lebih maju dan berkeadilan. Sebab, kemajuan pendidikan bukanlah hasil kerja satu pihak saja, tetapi hasil sinergi seluruh elemen bangsa.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 JOMBANG – Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024

Posting Komentar

0 Komentar