![]() |
Saat ini jalan sudah tersedia, infrastruktur sudah berkembang, dan semangat kolaborasi warga begitu besar. Yang dibutuhkan adalah kehendak politik dan keberanian mengeksekusi. |
[Pacarpeluk,
Pak Guru NINE] – Di balik suasana religius yang menjadi ciri khas Jombang,
tersimpan potensi besar yang belum tergarap optimal: moda transportasi publik
yang terjangkau, nyaman, dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Jalan-jalan
memang telah banyak diperbaiki—mulus membentang dari desa ke kota, dari
pesantren ke stasiun, dari sentra wisata ke pusat pemerintahan. Namun,
pertanyaan mendasarnya adalah: untuk siapa jalan-jalan itu dibangun, jika
masyarakat tidak memiliki kendaraan umum yang bisa diandalkan?
Transportasi
publik sejatinya bukan hanya soal mobilitas. Ia adalah penggerak utama
pemerataan akses, katalisator pertumbuhan ekonomi, dan medium penyebaran
nilai-nilai sosial. Di Jombang—sebuah kota yang menjadi pusat pesantren
nasional, rumah para ulama besar, dan penjaga nilai-nilai keislaman
Indonesia—transportasi publik seharusnya juga mengusung jiwa santri: sederhana,
bermanfaat, dan membumi.
Bandung
memiliki Bandros, bus wisata berdesain unik yang menyusuri kota dengan narasi
sejarah dan budaya. Tuban memiliki Si Mas Ganteng, layanan bus gratis untuk
pelajar dan masyarakat yang terintegrasi dengan stasiun. Dua inovasi ini layak
dijadikan inspirasi. Tapi Jombang bisa lebih dari itu. Bayangkan jika keduanya
dikombinasikan, disesuaikan dengan karakter lokal, dan dimaknai sebagai bagian
dari dakwah kultural serta pemberdayaan sosial.
Dari
inspirasi tersebut, lahirlah dua gagasan utama: City Tour Wisata Santri dan Transportasi Rakyat Terpadu.
Keduanya hadir bukan sekadar sebagai layanan teknis, melainkan sebagai penanda
peradaban: bahwa Jombang serius membangun masa depan dengan akarnya yang kuat
di masa lalu.
City
Tour Wisata Santri adalah bentuk wisata edukatif berbasis transportasi publik
yang menyatukan religi, sejarah, dan budaya dalam satu perjalanan. Bayangkan
sebuah bus mini berdesain batik Jombangan, dihiasi kaligrafi indah dan
kutipan-kutipan dari KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, hingga Gus Dur. Bus
ini tidak sekadar mengantar penumpang, tetapi membawa mereka menyusuri lorong-lorong
sejarah: Makam Keluarga Pesantren Tebuireng, Museum Islam Nusantara, Pesantren Denanyar,
Tambakberas, Rejoso, hingga Ringin Contong dan pusat kuliner lokal.
Lebih
dari sekadar ziarah, penumpang akan mendapatkan narasi edukatif dari pemandu
wisata yang tak hanya menyebut nama tempat, tapi juga menceritakan kisah
perjuangan para ulama, nilai-nilai pesantren, hingga hikmah kehidupan. Wisata
ini sangat cocok bagi pelajar, rombongan keluarga, tamu pesantren, hingga
institusi pendidikan yang ingin mengenalkan Islam Indonesia yang damai dan
berakar kuat di bumi pertiwi. Tiketnya murah—bahkan bisa digratiskan untuk
pelajar, santri berprestasi, atau hafidz Qur’an. Sebuah langkah nyata
menjadikan wisata bukan sekadar hiburan, tapi juga sarana penanaman nilai.
Namun
kebutuhan mobilitas masyarakat Jombang tidak hanya soal wisata. Aktivitas
harian warga juga membutuhkan sistem transportasi yang terintegrasi dan
manusiawi. Di sinilah Transportasi
Rakyat Terpadu memainkan peran vital. Layanan ini mencakup bus
sedang ber-AC, nyaman, ramah difabel, dan memiliki trayek tetap yang
menghubungkan desa ke kecamatan, kecamatan ke kota, dan semua titik penting
seperti pasar, sekolah, terminal, rumah sakit, dan stasiun. Dengan tarif murah,
bahkan gratis untuk pelajar, santri, dan lansia, layanan ini hadir sebagai
solusi nyata atas mahalnya ongkos ojek dan ketergantungan pada kendaraan
pribadi.
Tak
hanya itu, halte-halte di sepanjang trayek akan disulap menjadi halte edukatif. Di
tempat ini, warga bisa membaca kutipan ayat suci, pesan moral dari para tokoh,
hingga informasi seputar kesehatan dan budaya lokal. Layar digital kecil bisa
menayangkan video UMKM lokal atau pengumuman penting dari pemerintah desa.
Transportasi pun tak sekadar alat angkut, melainkan ruang belajar yang
bergerak, yang menginspirasi dari satu titik ke titik lain.
Memang,
mewujudkan gagasan ini pasti memiliki banyak tantangan. Pertama, soal pendanaan.
Pengadaan armada, pengembangan aplikasi, dan pembangunan halte membutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Namun, bila pemerintah serius, banyak pintu bisa
diketuk: dana CSR perusahaan, kerja sama BUMDes / Koperasi Merah Putih, koperasi pesantren, hingga
dana pemerintah pusat yang relevan dengan program transportasi berkelanjutan
dan pendidikan karakter.
Kedua,
tantangan operasional. Dibutuhkan tenaga profesional—mulai dari sopir, petugas
lapangan, hingga pengelola aplikasi. Oleh karena itu, sistem pengelolaan harus
transparan dan berbasis kompetensi, bukan titipan politik atau sekadar
bagi-bagi proyek.
Ketiga,
literasi masyarakat. Tidak semua warga melek digital. Karena itu, pelibatan
relawan santri, siswa, dan komunitas dalam edukasi publik sangat penting.
Mereka bisa menjadi duta
transportasi yang membantu warga memahami cara menggunakan layanan
ini secara mudah dan murah.
Gagasan
ini bukan utopia. Ini adalah respons terhadap kebutuhan nyata masyarakat
Jombang yang selama ini belum mendapatkan layanan transportasi yang memadai.
Saat ini jalan sudah tersedia, infrastruktur sudah berkembang, dan semangat
kolaborasi warga begitu besar. Yang dibutuhkan hanyalah kehendak politik dan
keberanian mengeksekusi.
Transportasi
publik adalah jembatan menuju keadilan sosial. Di Jombang, ia bisa menjadi
jembatan pula untuk mengenalkan kearifan lokal, memperkuat ekonomi desa, dan
menyemai nilai-nilai santri dalam kehidupan modern. Kota ini layak naik
kelas—bukan dengan membangun yang tinggi-tinggi, tapi dengan menghadirkan
layanan yang menyentuh hati, membumi, dan bermakna.
Kini
saatnya kita bergerak bersama. Bukan hanya demi kenyamanan, tapi demi masa
depan Jombang yang religius, inklusif, dan berdaya saing tinggi. Transportasi
bukan sekadar kendaraan—ia adalah wujud kasih sayang dari pemerintah kepada
rakyatnya, dari santri untuk negerinya.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
Baca juga!
0 Komentar