[Jombang, Pak Guru NINE] - Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 tentang penggunaan sound horeg menyedot
perhatian publik sejak pertama kali diumumkan. Seperti biasa, setiap fatwa yang
menyentuh aspek kehidupan masyarakat secara langsung pasti mengundang respons
beragam—ada yang pro, ada pula yang kontra. Namun di balik dinamika opini itu,
ada satu hal yang layak diapresiasi bersama: fatwa ini tidak hitam putih, tidak
kaku, dan justru membuka ruang ijtihad sosial yang akomodatif terhadap realitas
di lapangan.
Perlu
dipahami sejak awal bahwa sound
horeg bukan sekadar soal alat pengeras suara. Ia adalah simbol
kebisingan yang mulai mengganggu tatanan sosial. Secara teknis, sound horeg merujuk
pada sistem audio dengan potensi volume tinggi, fokus pada frekuensi rendah
(bass) dan dikenal mampu mengguncang lantai hingga jantung. Tak mengherankan
jika kehadirannya dalam bentuk arak-arakan atau acara tertentu menimbulkan
kegaduhan, bahkan konflik horizontal antarwarga.
Menariknya,
MUI Jawa Timur dalam ketentuan hukumnya tidak serta merta mengharamkan
penggunaan teknologi audio modern. Justru, pemanfaatan teknologi ini diakui
sebagai hal positif selama
tidak melanggar prinsip-prinsip syariah dan hukum negara. Dalam ruang sosial
yang plural seperti Jawa Timur, pendekatan ini menjadi sangat relevan dan
mencerminkan kearifan lokal: tidak mematikan inovasi, tetapi mengarahkan
penggunaannya secara beradab.
Fatwa
tersebut menggarisbawahi batas-batas etika dalam berekspresi. Bila penggunaan sound horeg telah
melampaui batas wajar hingga mengganggu kesehatan, merusak barang milik orang
lain, hingga menjadi sarana maksiat seperti joget campur pria dan wanita dengan
aurat terbuka, maka hukumnya jelas: haram.
Sebaliknya, jika digunakan secara wajar dalam acara resepsi pernikahan,
pengajian, atau shalawatan yang steril dari unsur maksiat, maka hukumnya boleh.
Yang
paling signifikan dalam fatwa ini adalah bagian rekomendasinya, karena menjadi
jembatan antara fatwa normatif dengan dunia praktik pemerintahan. Di sinilah
fatwa tak hanya menjadi suara langit, tetapi juga panduan bumi. MUI Jawa Timur
dengan tegas meminta agar pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota segera
menindaklanjuti fatwa ini dalam bentuk regulasi resmi. Poin ini membuktikan
bahwa fatwa tidak berhenti di atas kertas, tapi bergerak mencari kebermanfaatan
melalui sistem pemerintahan.
Respons
cepat datang dari Kepolisian Daerah Jawa Timur. Dalam waktu singkat, Polda
Jatim menerbitkan imbauan yang sejatinya adalah larangan terselubung terhadap
penggunaan sound
horeg, terutama dalam bentuk arak-arakan yang menggangu ketertiban
umum. Kombes Pol Jules Abraham Abast bahkan menyebutkan bahwa imbauan ini sudah
memiliki kekuatan moral untuk ditindaklanjuti oleh seluruh jajaran kepolisian
di bawahnya. Ini adalah bukti bahwa fatwa ulama, jika dikemas dengan bijak,
bisa diterima dan dijadikan dasar operasional aparat penegak hukum.
Lebih
lanjut, kabar baik datang dari Jombang. Bupati Jombang, Warsubi,
dikabarkan juga akan segera mengeluarkan surat edaran tentang
penggunaan sound
system. Menariknya, Bupati lebih memilih tidak menggunakan istilah sound horeg karena
dianggap memiliki konotasi negatif. Pilihan diksi ini menunjukkan kepekaan
semantik seorang pemimpin daerah yang ingin menata tanpa menyakiti. Kita
tinggal menanti bagaimana redaksi final dalam surat edaran itu, dan seperti apa
substansi pengaturannya: apakah hanya bersifat anjuran, atau mulai masuk pada
ranah pengendalian administratif dan sanksi sosial?
Memang,
surat edaran dan imbauan tidak memiliki konsekuensi hukum pidana. Tapi keduanya
tetap penting sebagai bentuk soft
power negara dalam membangun tertib sosial. Yang lebih penting
adalah bagaimana seluruh jajaran pemerintahan mengawal implementasi surat
edaran itu, terutama menjelang perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia. Acara
seperti karnaval, pentas seni, atau konser jalanan sangat rawan disusupi oleh
penggunaan sound
horeg yang tidak terkendali.
Pengalaman
pahit Jombang Culture Carnival (JCC) tahun lalu harus dijadikan pelajaran.
Panitia sudah mewanti-wanti agar peserta tidak menggunakan sound system
elektrik berlebihan, namun kenyataannya mayoritas delegasi tetap menggunakannya.
Akibatnya, pesan historis dan kultural yang seharusnya menjadi ruh dari JCC
tenggelam dalam dentuman bass tak beraturan. Ironis, bukan?
Namun
di balik ironi itu, ada titik cahaya. Murid-murid dari SMAN 2 Jombang justru
tampil memukau tanpa bantuan sound
horeg. Mereka memilih jalur kreatif dengan mengusung musik perkusi Kasadwana Curva Sud
yang diiringi koreografi terencana. Harmonisasi itu bukan hanya membawa mereka
jadi juara pertama, tapi juga membuktikan bahwa kreativitas bisa tumbuh dari
keterbatasan. Tak perlu gaduh untuk menjadi hebat. Tak perlu bising untuk
menjadi mengesankan.
Fatwa
ini, dan seluruh respons yang mengikutinya, adalah contoh nyata kolaborasi
antara ulama
dan umara’.
Ulama memberikan arah, umara’ menyediakan jalur implementasi. Dalam konteks
ini, masyarakat pun diajak ikut serta sebagai kontrol sosial sekaligus pelaku
perubahan. Sudah waktunya kita menyadari bahwa menjaga hak orang lain,
menghormati ketenangan lingkungan, dan tidak mencederai nilai-nilai agama
adalah tanggung jawab bersama.
Sebagai
penutup, mari kita sadari bahwa hidup harmonis tidak lahir dari suara paling
keras, tetapi dari ketenangan yang saling menghargai. Biarlah fatwa menjadi
penunjuk arah, regulasi menjadi penjaga batas, dan kita semua menjadi penjaga
akal sehat bersama. Karena kadang, diam lebih
lantang dari dentuman sound horeg yang tak terkendali.[pgn]
Nine
Adien Maulana,
GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
Baca juga!
Mengarifi Fatwa Sound Horeg MUI Jatim
0 Komentar