![]() |
Esai ini merupakan apresiasi atas Fatwa Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur nomor 1 tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Fenomena
penggunaan sound horeg
di berbagai pelosok Jawa Timur telah menjadi sorotan publik dalam beberapa
tahun terakhir. Dentuman bass yang memekakkan telinga, berpadu dengan joget
massal dan arak-arakan kendaraan beroda tiga, empat atau lebih yang dilengkapi pengeras suara
berdaya tinggi, telah menyita perhatian banyak pihak. Tidak hanya dari sisi
kenyamanan lingkungan, tetapi juga dari aspek kesehatan, keamanan, bahkan
moralitas publik. Apa yang awalnya dianggap sebagai bentuk hiburan rakyat
lambat laun menimbulkan keresahan sosial yang tidak dapat diabaikan begitu
saja.
Dalam
konteks inilah, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Provinsi Jawa
Timur menunjukkan sikap yang luar biasa bijak dan proporsional. MUI Jatim tidak
serta merta mengeluarkan fatwa dengan pendekatan hitam-putih, tetapi justru
mengedepankan proses dialogis dan partisipatif sebelum menetapkan pandangan
keagamaannya secara resmi. Melalui forum yang digelar pada Rabu, 9 Juli 2025,
bertempat di Kantor MUI Jatim, Surabaya, mereka mengundang lintas sektor untuk
berdiskusi secara mendalam tentang fenomena sound horeg.
Pertemuan
tersebut menjadi bukti nyata bahwa MUI tidak bekerja dalam ruang hampa. Hadir
dalam forum tersebut ahli Telinga Hidung Tenggorokan (THT) yang menjelaskan
dampak suara berintensitas tinggi terhadap kesehatan, perwakilan pemerintah
provinsi dan aparat kepolisian yang menjelaskan aspek ketertiban dan hukum,
tokoh masyarakat yang telah merasakan langsung gangguan dari penggunaan sound
horeg, serta bahkan dari Paguyuban Sound Horeg Jatim sendiri yang mewakili para
pelaku di lapangan. Semua pihak didengar, ditimbang pendapatnya, dan dihargai
masukannya. Langkah ini mencerminkan watak Islam sebagai agama yang syura-oriented—mengedepankan
musyawarah dan pertimbangan kolektif sebelum mengambil keputusan.
Buah
dari proses yang aspiratif ini adalah Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tanggal 12 Juli 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg.
Fatwa ini tidak hadir sebagai larangan menyeluruh, melainkan sebagai penegasan
etika publik yang kontekstual, kasuistik, dan proporsional. Di dalamnya termuat
prinsip-prinsip penting yang menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan
kewajiban menjaga hak orang lain, antara nilai budaya dan norma agama, serta
antara hiburan dan kesehatan masyarakat.
Fatwa
tersebut menyebutkan bahwa penggunaan teknologi audio secara umum adalah hal
yang positif, selama tidak melanggar hukum maupun prinsip syariah. Di sinilah
kita melihat kepekaan MUI Jatim dalam memahami perkembangan zaman. Teknologi
bukanlah musuh agama. Namun, ketika penggunaannya mengarah pada gangguan dan
kemudaratan, di situlah syariat memberikan rambu-rambu yang tegas. Sound horeg
yang digunakan dengan intensitas suara melebihi batas wajar, yang menimbulkan
dampak terhadap kesehatan, merusak fasilitas umum, serta menampilkan unsur
kemunkaran seperti joget campur pria dan wanita yang membuka aurat, maka hukum
penggunaannya adalah haram.
Lebih
dari itu, praktik battle
sound atau adu pengeras suara yang tidak jarang mengarah pada
pemborosan listrik dan perusakan alat semata demi gengsi atau gaya-gayaan, juga
dinilai sebagai bentuk tabdzir
dan idha’atul mal—menyia-nyiakan
harta—yang hukumnya haram secara mutlak. Ini adalah bentuk keberanian
MUI Jatim dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, namun tetap dalam bingkai
keadilan dan argumentasi rasional.
Namun
demikian, MUI Jatim tetap memberikan ruang penggunaan sound horeg dalam konteks
yang sehat dan wajar. Misalnya, untuk keperluan pernikahan, pengajian,
shalawatan, atau kegiatan sosial-keagamaan lain yang steril dari unsur maksiat
dan tidak menimbulkan gangguan bagi masyarakat sekitar, maka penggunaannya boleh. Ini
menjadi bukti bahwa fatwa tersebut bukan sekadar “penyekatan,” melainkan bentuk
tanzhim
atau pengaturan, agar kehidupan sosial kita tetap harmonis.
Sikap
bijak dan proporsional MUI Jatim ini juga ditunjukkan dengan disampaikannya rekomendasi strategis
kepada berbagai pihak agar fatwa tidak hanya berhenti sebagai dokumen, tetapi
bisa ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan konkret. Kepada para pelaku jasa
sound horeg, MUI mengajak agar mereka menjaga hak-hak orang lain, tidak
melanggar ketertiban umum dan norma agama. Kepada pemerintah provinsi, MUI Jatim
mendorong agar segera dibuat regulasi di tingkat kabupaten/kota mengenai
perizinan, standar teknis penggunaan, serta sanksi hukum bila terjadi
pelanggaran. Kepada Kementerian Hukum dan HAM, MUI mengingatkan agar tidak
memberikan hak legalitas seperti Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk sound
horeg jika belum ada komitmen perbaikan.
Sementara
itu, kepada masyarakat luas, fatwa ini menjadi ajakan untuk memilah hiburan
secara cerdas dan etis. Masyarakat diajak untuk saling memahami, menghargai
ruang publik, dan tidak menganggap hak pribadi sebagai senjata untuk
mengabaikan hak kolektif. Nilai moral yang dikedepankan oleh MUI Jatim sangat
kontekstual dengan kehidupan kita hari ini: jangan sampai ekspresi budaya
justru menjadi sumber perpecahan sosial.
MUI
Jatim, dalam hal ini, berhasil menampilkan wajah ulama yang bukan hanya memberi
fatwa dari menara gading, tetapi hadir dan menyatu dalam realitas umat. Mereka
membaca gejala sosial, mendengar suara masyarakat, berdialog dengan berbagai
pihak, lalu menyampaikan panduan keagamaan dengan bahasa yang membumi. Inilah
potret lembaga ulama yang kita harapkan—yang menjadi rujukan moral dan pelita
dalam keremangan zaman.
Akhirnya,
fatwa ini seharusnya dipahami bukan semata-mata
sebagai
pembatas kebebasan, tetapi sebagai kompas etika. Ia adalah rambu-rambu agar
kita tidak tersesat dalam euforia teknologi tanpa arah. Ia adalah jaring
pengaman sosial agar masyarakat tidak larut dalam kebisingan, tetapi mampu
merayakan kegembiraan dalam kesantunan. Karena sejatinya, suara yang paling
kita rindukan bukanlah suara dentuman yang menggetarkan kaca jendela rumah,
melainkan suara hati yang tenang, harmonis, dan dipenuhi hikmah. Dan MUI Jatim,
melalui fatwa ini, telah menyalakan suara itu dengan penuh tanggung jawab dan
kasih sayang.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Jombang
0 Komentar