![]() |
Flyer ini menjadi salah satu tanda awal Taliya Kayana menjadi bagian dari keluarga besar MAN 2 Kota Malang. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Sabtu,
12 Juli 2025 akan menjadi tanggal yang tak akan kami lupakan dalam catatan
perjalanan keluarga kecil kami. Hari itu, dengan penuh haru dan syukur, saya
bersama istri, serta dua anak kami—Caraka Shankara dan Wacana Bawana—akan
mengantar Taliya Kayana, anak kedua kami, untuk memulai fase penting dalam
hidupnya: belajar dan berproses sebagai murid MAN 2
Kota Malang yang
juga santri
di Ma’had Al-Qolam yang
berada dalam lingkungan pengelolaan madrasah yang dulu bernama MAN 3 Malang.
Kami berangkat dengan perasaan campur aduk: bangga, haru,
sekaligus sedikit cemas. Sebagai bentuk persiapan, kami akan menginap semalam
di rumah mbak saya,
Ririn Eva Hidayati, di Perumahan Mutiara Garden, Buring, Kedungkandang, Malang.
Tempat singgah yang sekaligus menjadi titik tenang sebelum kami benar-benar
menyerahkan Taliya kepada dunia baru yang akan menempanya.
Ahad, 13 Juli 2025, Taliya harus resmi
masuk ke Ma’had Al-Qolam. Seusai prosesi pengantaran, kami dijadwalkan
mengikuti pertemuan perdana antara para wali santri dan ustadz pembina. Sebuah
forum awal yang sangat penting, bukan hanya untuk mengenal lingkungan
pesantren, tetapi juga untuk menyamakan visi pendidikan antara orang tua dan
para pengasuh.
Dalam surat pemberitahuan yang kami terima, santri putri
diwajibkan membawa sejumlah perlengkapan seperti Al-Qur’an, sajadah, mukena
kain putih (bukan parasit), serta pakaian panjang yang sopan dan tidak
transparan. Saya belum sempat memeriksa semua kelengkapan itu satu per satu,
namun saya percaya Taliya telah menyiapkannya dengan baik. Ia memang anak yang
rapi dan bertanggung jawab—sifat yang membuat kami sebagai orang tua merasa
sedikit lebih tenang.
Senin, 14 Juli 2025 menjadi hari pertama Taliya mengikuti kegiatan
madrasah, dimulai dengan Matsama (Masa Taaruf Siswa Madrasah) yang akan
berlangsung selama lima hari. Ini adalah masa pengenalan lingkungan baru yang
akan menjadi rumah kedua Taliya selama tiga tahun ke depan. Masa di mana ia
akan mulai merangkai kisahnya sendiri—kisah belajar, bertumbuh, dan mengabdi
kepada ilmu.
Sebelum keberangkatan ini, kami sudah menyampaikan informasi lebih
awal kepadanya. Kami sampaikan dengan jujur bahwa kami mungkin tak akan sering
menengoknya ke Malang. Kami ingin ia memahami bahwa inilah konsekuensi dari
pilihannya sendiri. Ia bisa saja tetap menempuh pendidikan di sekitar PPDU
Rejoso Peterongan, sehingga kami tetap bisa dengan mudah dan sering
menyambanginya, namun ia bersikukuh tetap memilih MAN 2 Kota Malang. Dan kami
menghargai pilihannya itu.
Kami pun membekalinya dengan nasihat dan pesan-pesan spiritual
yang kami harap akan menjadi bekalnya menempuh jalan baru. “Identitas sampean
sudah jelas: sampean adalah santri, lahir dan tumbuh dalam kultur Nahdlatul
Ulama,” kata saya. “Jagalah identitas ini, pegangi nilai-nilai yang telah
diajarkan oleh para kyai, guru, Gus Awis dan Ummah. Tapi jangan berhenti di
situ. Terbukalah untuk memahami orang lain. Di sana nanti, akan ada ustadz dan
teman-teman dengan latar belakang yang berbeda. Jangan menghindar, jangan
merasa paling benar. Tapi hiduplah bersama dengan cara yang bijak dan saling
menghargai.”
Saya tahu pesan ini penting. Sebab pengalaman masa muda saya juga
serupa. Dulu saya pernah mondok di PPBU Tambakberas, lalu melanjutkan ke MAPK
Jember—sebuah lembaga berasrama yang dihuni siswa dari beragam latar belakang.
Ada yang NU, Muhammadiyah, bahkan yang sangat ketat dalam praktik keberagamaan.
Awalnya terjadi gesekan. Tapi kami belajar. Kami mulai saling memahami, dan
akhirnya hidup berdampingan dalam harmoni. Pengalaman itulah yang membentuk
saya menjadi pribadi yang meyakini pentingnya akhlak dialog dan toleransi dalam
kehidupan sosial keagamaan.
Saya percaya, Taliya juga bisa menjalani proses yang sama. Apalagi
ia sudah terbiasa hidup dalam dua dunia pendidikan: formal dan nonformal, umum
dan agama. Dari SMPN 3 Peterongan hingga Ribath Hidayatul Qur’an PPDU Rejoso,
ia telah menerima tempaan nilai yang insyaallah akan menjadi pijakan kuat di
tempat barunya.
Taliya memang belum sempat menorehkan prestasi nasional yang
membawanya bisa diterima masuk ke Kelas Olimpiade atau Kelas Riset di madrasah
ini. Tapi itu bukan akhir dari segalanya. “Gak papa, Nak,” ujar saya pelan.
“Jangan minder. Nanti, kalau sudah masuk kelas, sampean pasti akan menemukan
tempat dan jalur untuk mengembangkan potensi terbaik sampean. Yang penting,
jangan takut mencoba, jangan berhenti belajar, dan tetap percaya pada kemampuan
sendiri.”
Setelah prosesi pengantaran ini, kami akan kembali ke Jombang.
Kehidupan akan kembali ke rutinitas semula. Tapi kami tahu, beban hidup tak
akan sama lagi. Ada biaya pendidikan yang harus kami penuhi, bukan hanya untuk
Taliya, tetapi juga untuk Caraka Shankara yang tahun ini duduk di kelas XII dan
bersiap melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Wacana Bawana juga masih
membutuhkan biasa besar untuk pembelajarannya. Belum lagi tahun depan,
insyaallah, kami akan menunaikan ibadah haji—cita-cita spiritual yang
membutuhkan biaya dan kesiapan mental yang besar.
Namun kami percaya, bahwa setiap amanah pasti disertai rezeki.
Setiap kesungguhan pasti disertai pertolongan. Kami tidak punya banyak harta,
tetapi kami punya harapan dan keyakinan bahwa Allah SWT akan mencukupi segala
kebutuhan kami dengan cara-cara-Nya yang penuh keindahan dan tak terduga.
Menjadi orang tua adalah tentang berserah, namun bukan menyerah.
Tentang melepas, bukan lepas tangan. Kami mengantar Taliya bukan untuk menjauh,
tapi agar ia bisa semakin dekat dengan mimpinya, dan semakin dekat dengan
Tuhan-Nya.
Hasbunallahu wa ni’mal wakil. Laa haula wa
laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim. Cukuplah
Allah sebagai pelindung dan penolong kami. Tiada daya dan kekuatan kecuali
dari-Nya.[pgn]
Baca juga!
0 Komentar