Menumbuhkan Anak, Bukan Memaksa Prestasi

 

Akhirnya, fotomu pun terpajang bersama foto murid-murid yang berpretasi lainnya, meskipun nilai angkamu bukanlah yang terbaik.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ayah daripada menyaksikan anaknya tumbuh, menemukan jati diri, dan melangkah maju dengan kepercayaan diri yang lahir dari proses panjang. Hari-hari terakhir ini, hati saya penuh syukur dan haru. Putri kedua saya, Taliya Kayana, resmi lulus dari SMPN 3 Peterongan dan diterima sebagai peserta didik di MAN 2 Kota Malang, sekaligus santri di Ma’had Al-Qolam. Tapi bukan hanya itu yang membuat saya begitu tergetar. Ada satu momen simbolik yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya: foto Taliya terpampang di baliho besar di depan sekolahnya, berdampingan dengan wajah-wajah murid berprestasi lainnya. Di bawah cahaya pagi dan angin yang pelan, saya berdiri di depan baliho itu—memandanginya dalam diam, sambil menahan air mata.

Taliya bukan anak yang menonjol secara akademik dalam arti konvensional. Nilainya memang lumayan bagus, tapi bukan yang selalu di peringkat teratas. Namun sejak kecil, ia memiliki kegemaran membaca buku dan karya sastra. Saat ia masih belajar di SD Islam Roushon Fikr, saya sempat membimbingnya cara membaca dan membawakan puisi di atas panggung, meskipun pada saat itu ia belum bisa tampil maksimal sebagaimana yang saya inginkan. Hingga lulus dari sekolah ini, ia pun belum pernah berjuara dalam bidang sastra ini. Demikian pula dalam bidang akademik, ia masih belum beruntung meskipun telah berusaha belajar dan berlatih secara maksimal.

Baru saat ia melanjutkan belajar di SMPN 3 Peterongan dan mondok di ribath Hidayatul Quran PPDU Rejoso, ia mulai menggapai apa yang selama ini diusahakannya. Di sanalah ia menemukan dunianya. Dan dari sanalah pula lahir berbagai prestasi yang mengantarkannya ke tempat yang lebih baik hari ini.

Saya masih ingat bagaimana ia mulai berani mengikuti lomba. Juara 1 Lomba Baca Puisi Piala Kajari Jombang menjadi tonggak pertamanya. Dari sana, satu demi satu penghargaan ia raih: Juara 2 Lomba Maca Guritan, Juara 2 Lomba Baca Puisi MTsN 2 Jombang, Juara 1 Musabaqah Syarhil Quran, Juara Harapan 1 Maca Guritan, dan puncaknya Juara 1 Cipta Baca Puisi Festival Bulan Bahasa 2024 di MAN 2 Jombang. Di setiap kesempatan itu, ia tak hanya tampil—ia hadir sepenuh jiwa. Dan saya tahu, bukan soal menang atau kalah yang membuatnya bahagia, melainkan karena ia bisa menyampaikan rasa melalui kata.

Dengan memperhatikan tanda-tanda kebaikan dan keberuntungan baginya selama belajar di lingkungan pondok pesantren ini,  maka kami sebenarnya tidak memiliki niat untuk memboyong anak kedua kami dari asrama Hidayatul Quran PPDU Rejoso Peterongan setelah ia menyelesaikan pendidikan di SMPN 3 Peterongan. Harapan kami, ia bisa menjalani masa belajar dan pembentukan karakter selama enam tahun penuh di pesantren ini, sebagaimana yang telah kami rencanakan sejak pertama kali mendaftarkannya. Apalagi tahun ini Ovilia Kamila, adik sepupunya, juga bersiap menjadi santri baru di tempat yang sama, menambah keyakinan kami bahwa lingkungan pesantren ini akan semakin mendukung tumbuh kembang spiritual dan intelektualnya.

Namun, rencana itu ternyata tidak sepenuhnya sejalan dengan keinginan Taliya. Ia menyampaikan keinginannya yang kuat untuk melanjutkan pendidikan ke MAN 2 Kota Malang, sebuah madrasah negeri unggulan yang dikenal luas sebagai tempat para pelajar berprestasi menuntut ilmu. Meskipun awalnya kami mencoba membujuk agar ia tetap tinggal di asrama Hidayatul Quran, tekadnya yang bulat dan alasan yang ia kemukakan membuat kami luluh. Kami pun akhirnya memilih untuk mendukung dan memfasilitasi langkahnya, dengan harapan semoga jalan yang ia pilih ini menjadi jalan kebaikan yang penuh berkah dan kemajuan.

Saya kemudian mendaftarkan Taliya melalui jalur non-akademik. Lima sertifikat lomba kami unggah sebagai bukti, disertai doa yang tak henti dipanjatkan. Saya percaya, setiap prestasi adalah batu loncatan yang bisa membuka pintu masa depan, selama itu diperjuangkan dengan jujur dan konsisten.

Ketika pengumuman itu keluar pada Kamis, 20 Februari 2025, kami hampir tak percaya. Taliya diterima! Ia lolos seleksi sebagai calon santri dan siswa. Tangis bahagia mewarnai hari itu. Rasanya seperti melihat anak burung yang siap terbang, membawa mimpi-mimpinya ke langit yang lebih luas. Tak lama setelah itu, kabar lain menyusul: foto Taliya akan dicetak dalam baliho besar sebagai bagian dari kampanye “Sekolah Berprestasi” untuk menyambut murid baru tahun ajaran 2025/2026. Saya tidak langsung memberitahunya. Saya ingin ia melihat sendiri, dengan matanya sendiri, bahwa apa yang selama ini ia lakukan ternyata mendapat tempat.

Ketika kami lewat depan SMPN 3 Peterongan beberapa hari kemudian, Taliya berhenti. Ia tertegun, menatap baliho itu. Ada dirinya di sana—tersenyum, dengan latar nama dan prestasinya. Saya memandangnya pelan dan berkata, “Itu bukan hanya foto, Nak. Itu adalah hasil dari keberanianmu menjadi dirimu sendiri.” Ia tersenyum, lalu memeluk saya. Tak perlu kata-kata lagi.

Baliho itu, bagi saya, bukan sekadar media promosi sekolah. Itu adalah penanda bahwa dunia pendidikan kita mulai membuka mata—bahwa prestasi tidak tunggal, bahwa setiap anak punya keunggulan masing-masing, dan bahwa literasi, sastra, serta seni juga layak mendapat tempat terhormat. Taliya bukan hanya membawa nama baik dirinya, tapi juga sekolahnya. Ia menjadi inspirasi kecil yang bisa membangkitkan semangat murid-murid lain untuk percaya bahwa potensi tak harus seragam.

Untuk itu, kami merasa sangat berhutang budi dan sangat berterima kasih kepada Bapak/Ibu dewan guru SMPN 3 Peterongan. Terima kasih atas kesabaran dan perhatian dalam membimbing Taliya, atas ruang yang telah diberikan untuknya tumbuh, serta atas kepercayaan bahwa potensi anak tidak harus selalu hadir dalam bentuk angka rapor. Di sekolah inilah Taliya merasa diakui dan dihargai atas apa yang ia cintai—sastra. Terima kasih telah menjadi bagian penting dari tumbuhnya rasa percaya dirinya.

Kami juga tak lupa menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pengasuh Ribath Hidayatul Quran, KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi dan Ummah Laily Nafis. Ribath ini bukan hanya tempat tinggal bagi Taliya selama masa SMP, tetapi juga tempat ia dididik secara spiritual dan moral. Kami menyaksikan sendiri bagaimana beliau berdua menjadi sosok panutan, guru ruhani, sekaligus pelita dalam kehidupan Taliya sebagai santri.

Dengan penuh kelembutan dan kedisiplinan, para ustadzah dan pengurus ribath membentuk karakter Taliya. Ia belajar bangun sebelum fajar, mengikuti jadwal muroja’ah, belajar adab dan ilmu alat di ruang kelas, hingga tanggung jawab atas kebersihan diri dan lingkungan. Kemandiriannya hari ini adalah buah dari didikan yang konsisten dan teladan yang nyata dari para pengurus ribath.

Tentu, jalan di depan masih panjang. Taliya akan mulai hidup baru di pondok pesantren—dunia yang penuh kedisiplinan dan kemandirian. Sebagai santri di Ma’had Al-Qolam, ia akan belajar tidak hanya ilmu pengetahuan dan agama, tapi juga kehidupan itu sendiri. Akan ada rindu, tantangan, bahkan air mata. Tapi saya yakin, semua itu akan memperkaya jiwanya.

Saya menulis esai ini bukan untuk membanggakan anak saya semata. Tapi untuk berbagi pesan pada setiap orang tua: percayalah pada proses. Jangan buru-buru menilai anak dari angka di rapor atau ranking di kelas. Lihat lebih dalam. Dengarkan kata-kata mereka. Hargai bakat dan minat yang mungkin belum punya panggungnya. Dukung dengan tulus, bukan tuntutan. Karena ketika anak-anak kita tumbuh sesuai potensi mereka, bukan hanya mereka yang bahagia—kita pun akan merasakan kedamaian luar biasa sebagai orang tua.

Taliya, jika suatu saat kamu membaca ini, ketahuilah bahwa kamu tidak harus menjadi siapa-siapa untuk membuat ayah bangga. Kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri—yang mencintai puisi, menyuarakan nilai, dan terus belajar dengan rendah hati. Jalanmu masih panjang, tapi percayalah, selama kamu setia pada nilai dan keyakinanmu, kamu akan terus bersinar. Dan setiap puisi yang kamu tulis, setiap bait yang kamu lantunkan, akan menjadi doa-doa yang mengantar langkahmu.

Teruslah tumbuh, teruslah bermimpi, dan teruslah menulis dunia versi kamu sendiri. Ayah akan selalu mendukungmu—dalam diam, dalam doa, dan dalam cinta yang tak pernah selesai.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar