![]() |
Kebersamaan ini menjadi dukungan total keluarga besar untuk Veve yang mengawali masa menjadi Santri Njoso. |
Hari Pertama Veve Menjadi Santri Njoso
[Jombang, Pak Guru NINE] - Rabu pagi, 9 Juli 2025.
Langit Jombang cerah, seolah ikut merayakan sebuah peristiwa penting dalam
keluarga kami. Hari itu, keponakan saya tercinta, Ovilia Kamila—yang biasa kami
panggil Veve—memulai babak baru dalam kehidupannya. Ia resmi menjadi santri di
Ribath Hidayatul Quran (HQ), salah satu bagian dari Pondok Pesantren Darul Ulum
Rejoso Peterongan Jombang. Sebuah pesantren besar dan sarat sejarah, tempat
ribuan santri datang menuntut ilmu agama, meniti jalan spiritual, dan merangkai
masa depan dengan cahaya Al-Qur’an.
Veve juga telah diterima sebagai murid MTsN 2
Jombang. Ia adalah anak pertama dari pasangan M. Sirajuddin dan adik kandung
saya, Nia Erva Zuhriyah. Bersama sang adik, Alisya Syakira, Veve tumbuh di
tengah keluarga yang hangat dan religius. Hari itu, keluarga besar kami ikut
mengantarkannya ke ribath, sebagai wujud cinta dan restu. Neneknya, Ibu Hj.
Dewi Alfiyah; budhenya, Ibu Ririn Eva Hidayati; kedua orang tuanya; adiknya;
sepupunya Taliya Kayana; dan saya sendiri, pamannya, Nine Adien Maulana.
Namun, saya berangkat secara terpisah. Sebelum
menuju pesantren, saya harus terlebih dahulu singgah di SMAN 2 Jombang untuk
mengisi daftar hadir. Saya datang menyusul ke Ribath HQ setelah tugas di
sekolah selesai. Sekitar pukul 10.10 WIB saya tiba di lokasi. Sayangnya, saya
terlambat beberapa menit. Acara sambutan oleh pengasuh ribath, KH. Muhammad
Afifuddin Dimyathi—yang akrab disapa Gus Awis—telah dimulai. Saya sangat
berharap dapat mendengarkan sambutan beliau secara utuh, sebab setiap tutur
katanya selalu menyentuh dan bermakna dalam.
Meski hanya sempat mendengarkan sebagian, saya
berhasil menangkap esensi penting dari nasihat beliau. Kata-kata Gus Awis tidak
hanya menguatkan hati para wali santri, tetapi juga membuka cakrawala berpikir
tentang makna sesungguhnya dari pendidikan pesantren. Beliau mengajak para
orang tua untuk bersyukur, karena telah memondokkan anak di tempat yang penuh
berkah. “Pondok ini,” ujar beliau, “bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah
jejak perjuangan orang-orang saleh. Tempat ini berdiri di atas atsarush
shalihin, warisan para pendiri dan ulama terdahulu yang diridhai Allah.”
Kalimat itu mengandung makna spiritual yang dalam.
Betapa pentingnya keikhlasan dan keyakinan dalam menitipkan anak di lingkungan
seperti ini. Sebuah tempat yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga
membentuk karakter dan kepribadian dengan nuansa adab dan pengabdian.
Gus Awis juga menekankan bahwa anak-anak kita
berada dalam lingkungan yang penuh berkah. Di ribath HQ, mereka hidup
berdampingan dengan para pecinta Al-Qur’an, para penghafal dan pengamalnya.
Setiap hari mereka mendengar dan membaca ayat-ayat suci, dzikir senantiasa
terlantun, dan doa-doa senantiasa menggema dari setiap sudut pondok. Ini bukan
sekadar suasana religius, melainkan atmosfer yang membentuk batin dan
spiritualitas santri.
Tak kalah penting, beliau menyinggung soal khidmat.
Di pondok ini, para santri dilatih untuk melayani—bukan untuk kyai atau ustadz,
melainkan untuk dirinya sendiri dan sesamanya. Setiap tugas piket,
bersih-bersih, atau kegiatan harian lainnya adalah bagian dari proses
pendidikan. “Khidmat itu bukan beban,” kata beliau, “tetapi bagian dari
penguatan ilmu. Santri dilatih melayani agar kegiatan belajar menjadi lebih nyaman
dan bermakna.”
Ketika acara MULTAQA—pertemuan wali santri dan
pengasuh ribath—usai, kami diberi kesempatan untuk sowan kepada Gus Awis dan
Nyai Hj. Laily Nafis. Inilah momen sakral yang selalu dinanti. Sebuah tradisi
yang sarat makna dalam kultur pesantren. Melalui sowan ini, wali santri
menyampaikan ikrar penyerahan anaknya kepada kyai. Setidaknya, untuk tiga tahun
ke depan, anak-anak akan berada dalam bimbingan dan pengasuhan spiritual,
intelektual, dan moral dari kyai dan bu nyai.
Saya sengaja ikut mendampingi adik ipar saya, M.
Sirajuddin, dalam sowan tersebut. Selain ingin mendapatkan nasihat langsung
dari Gus Awis, saya juga ingin menyimpan momen ini sebagai kenangan berharga
bagi Veve dan keluarga. Sebab, hari pertama mondok bukan sekadar rutinitas
administratif. Ia adalah pintu awal dari sebuah perjalanan panjang menuju
kedewasaan.
Dan seperti lazimnya perpisahan sementara, suasana
haru pun tak terelakkan. Meskipun dipersiapkan dengan hati tabah, air mata
tetap mengalir dari mata Dek Nia dan Dek Judin. Ini adalah pengalaman pertama
mereka melepas anak untuk mondok. Ibu Hj. Dewi Alfiyah pun terlihat menyeka air
mata, begitu juga Neng Ririn dan saya sendiri. Kami mencoba mengalihkan
pandangan satu sama lain, agar rasa haru itu tidak membuat suasana semakin
berat.
Saya sendiri memilih tidak menatap langsung mata
Veve. Bukan karena ingin menjauh, tapi karena saya tahu, satu tatapan bisa
membuat semua pertahanan runtuh. Kami ingin Veve berani, kuat, dan siap
menyambut hari-hari barunya sebagai santri nJoso dengan semangat dan keyakinan.
Sebelum pulang, kami sempat berfoto bersama. Momen
itu kami abadikan sebagai penanda awal jejak baru yang dilalui Veve. Kami
tersenyum, menyembunyikan rasa haru dalam tawa ringan. Namun, doa kami terus
mengalir dalam diam: “Semoga Veve segera betah di pondok. Semoga ia mendapatkan
teman-teman yang baik, guru-guru yang penuh kasih, serta pelajaran dan
pengalaman yang membentuknya menjadi pribadi yang cemerlang, berilmu, dan
berakhlak.”
Menjadi santri bukan sekadar soal tinggal di asrama
dan mengikuti pelajaran agama. Lebih dari itu, menjadi santri adalah proses
menjadi manusia yang utuh—yang bisa berdiri di atas kaki sendiri, melayani
sesama, mencintai ilmu, dan menundukkan hati di hadapan Tuhan. Hari itu, Veve
memulai jejaknya. Dan kami, sebagai keluarga, menyertainya dengan cinta, restu,
dan doa yang tak pernah putus.[pgn]
Baca juga!
Rangkaian Doa dalam
Kebersamaan
0 Komentar