![]() |
Flyer ini saya buat sebagai bentuk apresiasi saya kepada teman ngobrol saya yang menjadi Kapten Hu Ha untuk menghadirkan kebersamaan dan kekeluargaan di sekolah. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Ada nuansa yang
selalu istimewa di awal tahun pelajaran. Bukan sekadar kembalinya rutinitas
pendidikan, melainkan juga saat di mana semangat baru ditata, kerja sama
diperbarui, dan harapan kembali disulut. Itulah yang saya rasakan saat
menghadiri rapat pembagian tugas guru dan tenaga kependidikan SMAN 2 Jombang
pada Jumat pagi, 11 Juli 2025. Rapat ini bukan hanya agenda administratif, tapi
juga menjadi ruang kebersamaan yang membuka jalan bagi perjalanan satu tahun ke
depan.
Rapat yang dimulai pukul 08.00 WIB di
aula Ki Hajar Dewantara itu diawali dengan hal yang menyenangkan: makan pagi
bersama. Nasi soto hangat yang disajikan bukan hanya memuaskan rasa lapar, tapi
juga menjadi pengikat suasana akrab antar guru dan staf. Kebersamaan seperti
ini tidak bisa diremehkan—ia adalah bagian dari kultur kerja yang sehat, yang
memperkuat kolaborasi dalam tugas-tugas yang tak selalu mudah.
Setelah makan pagi, rapat dibuka oleh
Kepala Sekolah, Budiono, S.Pd., M.MPd. Dalam sambutannya, beliau menekankan
pentingnya profesionalisme, komunikasi antarpersonal yang sehat, dan tanggung
jawab kolektif dalam menciptakan iklim belajar yang menyenangkan. Sebuah pesan
yang sederhana namun sangat relevan dalam dunia pendidikan yang terus bergerak
cepat.
Sesi berikutnya dipandu oleh Wakil
Kepala Sekolah bidang Kurikulum, Konia Muryani, S.Pd., yang menyampaikan
informasi teknis mengenai pembagian tugas. Tidak ada perubahan signifikan dalam
struktur kepemimpinan sekolah. Ibu Konia tetap sebagai Waka Kurikulum, Bapak
Raden Abdul Gani sebagai Waka Kesiswaan, dan Ibu Titin Suryani sebagai Waka
Sarana dan Prasarana. Yang menarik adalah posisi Waka Humas yang sempat kosong
selama hampir tiga bulan, kini resmi diisi oleh Drs. Baihaqi, sosok yang
sebelumnya menjabat sebagai Koordinator Bina Prestasi. Pengisian posisi ini
tentu menjadi angin segar bagi kelancaran komunikasi eksternal sekolah ke
depan.
Saya sendiri diberi amanah untuk
menjadi wali kelas XII-5, setelah sebelumnya mendampingi kelas XI-4. Yang
menarik, saya sudah cukup mengenal murid-murid XII-5 ini karena saya juga
mengajar mereka ketika mereka masih di kelas XI-5. Ini menjadi keuntungan
tersendiri bagi saya karena hubungan awal sudah terjalin. Mereka bukan
wajah-wajah asing bagi saya, dan saya pun bukan sosok baru bagi mereka.
Saya teringat satu pengalaman yang
cukup membekas bersama kelas ini. Waktu itu, karena miskomunikasi dalam jadwal,
saya sempat beberapa kali tidak masuk kelas, meskipun saya sebenarnya ada di
sekolah. Tiba-tiba, suatu hari, salah satu murid dari kelas ini menghampiri
saya dan bertanya dengan raut wajah serius, “Pak Nine, apa salah kami, kok
Bapak tidak mau mengajar di kelas kami?”
Pertanyaan itu menusuk dan menyentuh
sekaligus. Saya tersadar, rupanya kehadiran saya mereka nantikan. Saya bukan
sekadar guru yang mengajar, tapi juga orang yang mereka rindukan untuk hadir.
Saya jelaskan bahwa ketidakhadiran saya bukan karena disengaja, tapi semata
karena kesalahan jadwal. Namun momen itu membuka mata saya akan betapa pentingnya
kehadiran guru, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional.
Sejak saat itu, saya lebih cermat dalam
memperhatikan jadwal dan memastikan tidak ada lagi miskomunikasi. Saya pun
masuk kelas mereka dengan semangat baru, menghadirkan suasana belajar yang
tidak kaku—penuh diskusi, canda, dan keakraban. Saya juga tak segan untuk
meminta maaf atas kekeliruan yang terjadi. Sikap terbuka ini menjadi pondasi
penting dalam membangun komunikasi yang humanis dan sehat antara guru dan
murid.
Hubungan baik itu pun ternyata
berlanjut di luar ruang kelas. Suatu kali, ketika saya sedang mengurus proses e-tilang, salah satu
siswa menghubungkan saya dengan ayahnya yang berdinas sebagai polisi untuk membantu mempermudah proses tersebut.
Di lain waktu, saat saya membutuhkan SKCK dari Polres Jombang, seorang siswa
menghubungkan saya dengan ayahnya yang bekerja di sana sehingga segala urusan
menjadi lebih ringan. Bagi saya, ini bukan soal ‘balas budi’, tetapi cerminan
dari hubungan yang tulus, yang dibangun melalui komunikasi yang terbuka, rasa
hormat, dan kepedulian.
Di luar tugas sebagai wali kelas, saya
juga diberi tanggung jawab sebagai Ketua Panitia Peringatan Hari Ulang Tahun
ke-80 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bulan Agustus yang semakin
dekat menjadi pengingat bahwa waktu persiapan semakin sempit. Bersama Bu Maria
Mulia sebagai sekretaris dan Bu Febylia Sukanda sebagai pelaksana kegiatan,
kami akan bersinergi dengan Waka Kesiswaan dan Waka Humas untuk menggelar
serangkaian kegiatan peringatan kemerdekaan yang meriah dan bermakna.
Menjadi ketua panitia tentu bukan tugas
ringan, tapi juga bukan beban jika dijalani bersama. Saya yakin, dengan
semangat gotong royong dan koordinasi yang rapi, semua program bisa terlaksana
dengan baik. Bukan hanya soal lomba dan dekorasi, tapi bagaimana kita
menanamkan semangat kebangsaan kepada siswa. Bahwa kemerdekaan bukan sekadar
dirayakan, tapi juga dihayati dan diperjuangkan dalam kehidupan
sehari-hari—melalui disiplin belajar, kerja keras, dan rasa tanggung jawab.
Tahun pelajaran baru selalu menjadi
momen penting untuk memperbarui niat, menegaskan tujuan, dan mengatur langkah.
Dengan tugas sebagai wali kelas dan ketua panitia HUT RI, saya merasa punya
tanggung jawab ganda—mendidik dan menginspirasi. Namun saya yakin, dengan
komunikasi yang sehat, relasi yang terbuka, dan semangat kolaborasi, semua
tanggung jawab ini bukanlah beban, melainkan kesempatan untuk menebar kebaikan
dan makna.
Semoga perjalanan tahun pelajaran
2025/2026 ini menjadi kisah yang penuh warna, keberkahan, dan kemajuan. Bagi
saya, pendidikan bukan hanya tentang mengajar, tapi tentang membangun hubungan,
membuka jalan bagi masa depan, dan menjadi bagian dari cerita yang lebih besar; yakni
cerita tentang harapan. Aamiin.[pgn]
Baca juga!
0 Komentar