Menyuarakan Pendidikan Jombang yang Berkeadilan

 

Uji presentasi makalah dan penajaman gagasan calon anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang. 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Ahad pagi, 6 Juli 2025, menjadi salah satu hari penuh makna dalam perjalanan saya sebagai seorang pendidik dan pegiat pendidikan. Bukan hanya karena saya harus tampil di hadapan tim penguji, melainkan karena hari itu saya merasa diberi ruang untuk menyuarakan gagasan dan harapan tentang pendidikan yang selama ini saya rawat dalam hati dan pemikiran. Dalam rangkaian seleksi Calon Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang, saya mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan kandungan makalah saya selama 10 menit, yang berjudul Gagasan Penguatan Peran Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang.”

Saya menyadari, waktu 10 menit bukanlah durasi yang panjang, namun cukup jika dimanfaatkan secara efektif. Maka, saya memilih gaya penyampaian yang lugas, sistematis, dan berorientasi solusi. Saya ingin menyampaikan bukan sekadar ide, melainkan sikap. Bahwa Dewan Pendidikan sejatinya bukan hanya forum simbolik partisipasi masyarakat, tetapi harus hadir sebagai penggerak yang aktif—sebagai jembatan kokoh antara warga dan pemerintah daerah, sebagai penopang mutu pendidikan, dan sebagai pengawal kebijakan hingga ke pinggiran-pinggiran desa.

Dengan visual presentasi yang saya rancang menarik dan mudah dipahami, saya membentangkan peta persoalan sekaligus usulan langkah perbaikan. Dan alhamdulillah, kesungguhan itu mendapat apresiasi sang penguji, Prof. Dr. Agus Prianto, M.Pd., seorang guru besar Ilmu Pendidikan Ekonomi dari Universitas PGRI Jombang. Beliau memuji penyampaian saya yang dinilainya singkat, padat, jelas, dan tidak bertele-tele. Sebuah awal yang menggembirakan, namun tentu bukan berarti bebas dari tantangan.

Prof. Agus kemudian melontarkan beberapa pertanyaan tajam yang sangat kontekstual. Salah satunya adalah, “Apa kontribusi konkret yang bisa Anda rekomendasikan kepada pemerintah daerah terkait pendidikan yang berpijak pada potensi lokal Jombang?” Saya menjawab dengan keyakinan: salah satu bentuk nyatanya adalah mempertahankan serta mengembangkan pembelajaran muatan lokal berbasis keagamaan.

Jawaban ini bukan sekadar retorika, tapi dilandasi oleh fakta historis dan sosiologis bahwa Jombang dikenal sebagai kota santri, tempat berdirinya berbagai pondok pesantren yang menyebar dari pusat kota hingga pelosok. Potensi ini bukan sekadar kebanggaan kultural, tetapi sekaligus modal sosial dalam membentuk karakter siswa. Jika pemerintah daerah memberi dukungan penuh pada penguatan muatan lokal keagamaan, maka nilai-nilai moral, spiritualitas, dan kebhinekaan akan tumbuh dari bangku-bangku sekolah.

Namun, saya juga menambahkan satu usulan penting yang sering terabaikan: penyediaan guru Pendidikan Agama untuk semua agama yang dipeluk peserta didik. Kita perlu jujur bahwa hingga hari ini, Jombang masih mengalami kekurangan guru Pendidikan Agama, khususnya lagi untuk guru-guru Pendidikan Agama Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Padahal konstitusi kita menjamin hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan sesuai agama dan keyakinannya. Maka, pemerintah daerah harus hadir lebih progresif, memastikan rekrutmen dan distribusi guru agama yang lebih merata dan adil, agar inklusivitas tidak hanya menjadi jargon, tetapi menjadi kenyataan.

Pertanyaan berikutnya yang dilontarkan Prof. Agus juga sangat menarik: “Bagaimana pandangan Anda tentang penggunaan handphone oleh murid selama jam sekolah?” Saya tahu isu ini sangat kompleks, penuh pro dan kontra. Maka saya menawarkan solusi jalan tengah yang realistis. Bukan dengan pelarangan total, dan bukan pula pembebasan tanpa kendali. Saya menyarankan pengaturan yang bijak: sekolah menyediakan loker bagi setiap siswa untuk menyimpan handphone selama jam pelajaran berlangsung. Kecuali bila guru membutuhkan perangkat itu sebagai alat bantu pembelajaran, maka penggunaannya bisa diizinkan. Di luar jam pelajaran, misalnya saat istirahat, siswa boleh mengaksesnya dengan syarat tetap diawasi. Jika aturan ini dilanggar, maka sanksi tegas seperti penyitaan harus diterapkan. Tujuannya bukan menghukum, tapi mendidik dan melatih kedisiplinan digital di era yang serba tergantung pada gawai.

Saya menjawab seluruh pertanyaan dengan tenang dan percaya diri. Bukan karena merasa paling tahu, melainkan karena saya membawa kegelisahan dan pengalaman nyata dari lapangan. Saya berbicara sebagai guru yang setiap hari menyaksikan bagaimana sistem pendidikan kita bekerja, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Maka, presentasi ini bagi saya bukan sekadar ajang unjuk gagasan, tetapi ruang menyuarakan kepedulian dan harapan.

Harapan saya satu: agar pendidikan di Jombang tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi dirancang dan dikawal bersama-sama. Agar pendidikan tidak berhenti di tataran wacana birokrasi, tetapi menjelma menjadi gerakan yang hidup di tengah masyarakat. Dan agar Dewan Pendidikan tidak menjadi menara gading, tetapi menjadi rumah bersama yang terbuka, ramah, dan berani bertindak.

Saya menyadari, menjadi anggota Dewan Pendidikan bukan soal kebanggaan personal, tapi soal kesanggupan untuk bekerja kolektif. Saya tidak ingin sekadar menjadi pengamat yang kritis, tapi pelaku yang turut serta dalam perubahan. Saya tidak ingin hanya menjadi suara dari dalam forum-forum akademik, tapi juga telinga yang mendengar suara-suara lirih dari sekolah-sekolah terpencil dan desa-desa yang sering luput dari perhatian.

Hari itu, saya melangkah keluar dari ruang seleksi dengan hati yang ringan. Bukan karena merasa telah melakukan yang terbaik, tetapi karena telah menunaikan niat yang tulus. Saya tidak tahu hasil akhir dari seleksi ini. Tapi yang saya tahu pasti, saya telah menyampaikan apa yang semestinya saya suarakan. Tentang pendidikan yang merata, berkeadilan, dan berkarakter. Tentang masa depan Jombang yang harus dibangun bersama, dari ruang kelas hingga ruang kebijakan.

Dan jika hari itu adalah awal dari peran baru saya di Dewan Pendidikan, maka saya akan menjalankannya dengan sepenuh hati. Namun jika bukan, saya tetap akan berjalan. Karena bagi saya, memperjuangkan pendidikan bukan soal jabatan. Ia adalah panggilan jiwa. Sebuah jalan pengabdian yang tak mengenal titik.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 JOMBANG, Peserta seleksi calon anggota Dewan Pendidikan nomor urut 15.

Posting Komentar

0 Komentar