Perlindungan Perempuan dalam Cahaya Al-Qur’an

 

Betapa Al-Qur’an begitu lembut dalam menempatkan perempuan, bahkan ketika umat saat itu baru meninggalkan tradisi jahiliah yang menjadikan perempuan sebagai warisan.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Hari itu, Rabu, 30 Juli 2025, saya nyaris melewatkan sebuah momentum penting. Siang yang padat dengan tugas mengajar di SMA Negeri 2 Jombang membuat saya mengabarkan kepada KH. Ilham Rohim—Sekretaris Umum DP MUI Kabupaten Jombang—bahwa saya tidak bisa membersamai kegiatan yang digelar Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga MUI di Pendopo Kecamatan Ploso. Rencananya, acara akan dimulai pukul 13.00 WIB, sementara saya baru bisa lepas dari kewajiban sekolah sekitar pukul 13.15.

Namun, rencana berubah. Telepon dari Ketua Umum DP MUI Kabupaten Jombang, KH. Muhammad Afifudin Dimyathi, menjadi pemicu yang membangkitkan semangat. Beliau sudah dalam perjalanan mendekat ke lokasi acara dan meminta saya mendampinginya. Bukan ajakan biasa, sebab bila seorang alim sekaliber beliau yang memanggil, rasanya tak pantas untuk menolak. Saya pun segera memacu kendaraan, menembus panas siang dan padatnya jalan, menuju Pendopo Kecamatan Ploso.

Setiba di Pendopo, acara telah dimulai. Camat Ploso sedang menyampaikan sambutan yang bernas dan tegas: mengingatkan pelajar yang mejadi peserta acara itu untuk menjauhi perundungan, judi daring, narkoba, geng motor, dan kelompok pencak silat liar. Saya pun segera mengabadikan momen demi momen, tetapi yang benar-benar menjadi sorotan utama saya adalah sesi berikutnya: kajian tafsir tematik oleh KH. Muhammad Afifudin Dimyathi.

Beliau mengawali pidato sambutannya dengan tenang, namun dalam. Saya segera menyalakan kamera dan merekamnya secara utuh. Bukan semata dokumentasi, tetapi karena saya yakin apa yang disampaikan akan menjadi bagian dari konten dakwah yang sangat bernilai bagi MUI Jombang dan umat Islam secara luas. Tema yang diangkat bukan sembarangan: Perlindungan terhadap Perempuan dalam Perspektif Al-Qur’an.

Pusat kajian beliau terletak pada surat An-Nisa ayat 19:

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa [4]: 19)

Dalam penjelasannya, KH. Afifudin menyaring makna ayat ini menjadi empat poin penting. Pertama, Islam melarang kebencian terhadap perempuan, bahkan dalam situasi ketidaksukaan sekalipun. Kedua, perempuan tidak boleh disusahkan atau disakiti secara fisik maupun batin. Ketiga, perintah untuk memperlakukan perempuan bil ma’ruf, yakni dengan cara yang wajar, terhormat, dan penuh kebaikan. Dan keempat, ajakan untuk bersabar terhadap kekurangan pasangan karena bisa jadi dari hal itulah muncul kebaikan yang besar. Betapa Al-Qur’an begitu lembut dalam menempatkan perempuan, bahkan ketika umat saat itu baru meninggalkan tradisi jahiliah yang menjadikan perempuan sebagai warisan.

Namun, perlindungan bukan hanya tentang menerima. Ia juga tentang kesiapan untuk menjaga diri. Maka dari itu, Gus Awis, demikian sapaan akrabnya, melanjutkan kajiannya dengan tiga ayat lain yang ditujukan kepada kaum perempuan agar menjadi pribadi yang terhormat dan sulit untuk dilecehkan.

Pertama, QS. Al-Ahzab ayat 32, yang menganjurkan perempuan agar berbicara dengan tegas, tidak dibuat-buat, dan tidak menggoda:

“Janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya. Dan ucapkanlah perkataan yang baik.”

Kedua, QS. Al-Qashash ayat 25, yang menggambarkan sikap malu dari seorang perempuan ketika mendekati Nabi Musa:

“Lalu datanglah kepada Musa salah seorang dari keduanya itu sambil berjalan dengan malu-malu...”

Ketiga, QS. Al-Ahzab ayat 59, yang memerintahkan perempuan untuk mengenakan jilbab:

“Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu.”

Dari ketiga ayat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa perlindungan terhadap perempuan dalam Islam adalah sinergi antara perlakuan baik dari laki-laki dan tanggung jawab moral dari perempuan. Laki-laki diminta memperlakukan perempuan dengan penuh penghormatan, sementara perempuan diminta menjaga perilaku, tutur kata, dan penampilannya agar martabatnya terlindungi. Ini bukan subordinasi, melainkan perlindungan integral dan kolektif atas fitrah perempuan.

Kajian sang pengasuh PPDU Rejoso ini menjadi pembuka jalan yang cemerlang dalam acara hari itu. Ia menata landasan spiritual dan moral yang kokoh sebelum peserta memasuki sesi edukatif berikutnya. Namun bagi saya pribadi, sesi tafsir tematik itu adalah jantung dari seluruh kegiatan. Ia bukan hanya memberi pemahaman, tapi juga menghidupkan kembali ruh Al-Qur’an dalam konteks kekinian.

Dalam dunia yang kerap kali gaduh oleh wacana kesetaraan, Al-Qur’an hadir bukan sebagai kitab yang menghakimi atau mengekang, melainkan sebagai petunjuk yang mengayomi dan melindungi. Islam, sebagaimana tergambar dalam ayat-ayat tersebut, telah sejak lama mengakui perempuan sebagai makhluk mulia yang harus dihormati, dimuliakan, dan dijaga dari setiap bentuk kekerasan.

Dari Pendopo Kecamatan Ploso, kami tidak hanya belajar, tetapi meneguhkan komitmen. Bahwa dakwah harus terus hidup—bukan hanya dari mimbar, tapi juga dari rekaman, tulisan, dan kesaksian yang bermula dari niat yang tulus dan hadir yang ikhlas. Sebab pada akhirnya, setiap ilmu yang disampaikan dan setiap ayat yang dijelaskan adalah lentera bagi jalan yang panjang: menuju masyarakat yang lebih adil, lebih beradab, dan lebih Qur’ani.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

Posting Komentar

0 Komentar