![]() |
Lebih dari sekadar mengurai kemacetan, kehadiran polisi juga memberikan rasa aman bagi masyarakat. |
[Jombang,
Pak Guru NINE] – Setiap pagi di Jombang, suara deru kendaraan dan denting bel
sekolah bersahut-sahutan dalam simfoni rutinitas kota. Di balik irama itu,
tersimpan satu kenyataan yang tak bisa kita tutupi: kepadatan lalu lintas yang
kerap terjadi di waktu-waktu ekstrem, terutama pagi hari saat pelajar dan
pekerja tumpah ruah di jalanan dengan tujuan mulia—menuntut ilmu dan mencari
nafkah. Fenomena ini bukan hanya soal kemacetan, tetapi lebih jauh menyangkut
soal nyawa, keselamatan, dan kelangsungan hidup yang aman dan tertib.
Saya ingin
menyampaikan aspirasi ini bukan hanya sebagai warga yang setiap hari berjibaku dengan kemacetan saat menuju sekolah, tetapi juga sebagai
bagian dari masyarakat yang mengabdi untuk mendidik generasi muda dan menjaga
nilai-nilai kemaslahatan.
Jombang,
dengan identitasnya sebagai kota santri yang memiliki banyak sekolah dan madrasah, memang memiliki
kepadatan lalu lintas tinggi pada pagi hari, sekitar pukul 06.00 hingga 07.00
WIB. Ini adalah “jam genting” di mana hampir semua jenjang pendidikan memulai
aktivitas secara bersamaan. Jalan-jalan seperti Dr. Wahidin Sudiro Husodo,
Kusuma Bangsa, Pattimura, Gubernur Suryo, hingga kawasan sekitar Alun-Alun
menjadi titik-titik padat yang tak jarang disertai potensi kecelakaan.
Memang,
sekolah dan institusi lain telah memiliki satuan pengamanan internal. Namun,
dalam kondisi ekstrem tersebut, petugas keamanan sekolah sering kewalahan
menghadapi arus kendaraan yang tinggi, terutama saat para orang tua berhenti
sejenak untuk menurunkan anaknya atau siswa menyeberang jalan yang ramai. Di
sinilah kehadiran aparat kepolisian sebagai garda depan ketertiban lalu
lintas menjadi sangat penting.
Sebagai
seorang Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, saya memandang masalah ini melalui lensa
maqashid al-syari'ah—tujuan luhur syariat Islam yang berpusat pada lima hal
pokok: hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nafs (menjaga jiwa), hifzh
al-‘aql (menjaga akal), hifzh al-mal (menjaga harta), dan hifzh al-nasl
(menjaga keturunan). Dalam konteks lalu lintas, kehadiran
polisi untuk menjaga keselamatan pelajar dan pengguna jalan adalah bagian dari hifzh
al-nafs, menjaga jiwa dan keselamatan manusia. Bahkan dalam
kaidah ushul fikih disebutkan, “Dar’ul
mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” — mencegah kerusakan
(bahaya) harus diutamakan daripada menarik kemaslahatan.
Sayangnya,
realitas di lapangan menunjukkan bahwa penugasan aparat kepolisian belum
sepenuhnya berbasis kebutuhan. Banyak personel yang justru berjaga di
titik-titik persimpangan yang telah memiliki lampu lalu lintas aktif dan
lancar, sementara di depan sekolah—yang menjadi simpul kemacetan dan
kerawanan—tidak tampak satu pun petugas yang hadir. Maka, perlu ada penataan
ulang strategi penugasan, menggeser fokus dari rutinitas
administratif menuju respons kebutuhan riil masyarakat.
Sebagai
guru di SMAN 2 Jombang, saya setiap hari menyaksikan bagaimana kondisi di depan
sekolah kami begitu padat dan berpotensi bahaya, terutama bagi siswa yang berjalan
kaki atau diturunkan oleh orang tua dari kendaraan yang berhenti sembarangan
karena tidak adanya rekayasa lalu lintas yang efektif.
Bila
saja ada satu atau dua polisi yang ditugaskan untuk mengatur lalu lintas di
titik-titik rawan pada pukul 06.00–07.00, niscaya arus kendaraan akan lebih
teratur. Orang tua akan lebih tenang, siswa lebih aman, dan guru lebih siap
mengajar tanpa harus menahan stres di awal hari. Bahkan bila perlu, penugasan
ini bisa diperluas ke jam pulang sekolah sekitar pukul 15.00–15.30, yang meski
tidak sepadat pagi hari, tetap menyimpan potensi kerawanan yang tidak bisa
diabaikan.
Saya
memahami bahwa jumlah personel polisi memang terbatas. Namun dengan
pengelolaan dan rotasi yang bijak, serta koordinasi yang sinergis dengan pihak
sekolah, langkah ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Dalam perspektif fiqih
siyasah (kebijakan publik Islam), tanggung jawab penguasa adalah menghadirkan
rasa aman dan mengatur kehidupan masyarakat secara adil dan proporsional.
Polisi adalah representasi negara di jalanan—kehadirannya bukan semata mengatur
lalu lintas, tetapi juga menghadirkan negara dalam wajah yang peduli dan tanggap
terhadap kebutuhan warganya.
Saya
juga berharap kehadiran polisi di lapangan bukan hanya bersifat seremonial.
Jangan sampai petugas hanya datang sebentar untuk dokumentasi, kemudian pergi,
padahal keberadaan mereka sangat dibutuhkan saat itu. Ketulusan pengabdian dan
keberlanjutan peran menjadi kunci. Dalam bahasa agama, ini menyangkut amanah dan mas’uliyyah—tanggung
jawab yang akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun akhirat.
Kita
tidak ingin melihat anak-anak kita tumbuh dalam sistem sosial yang abai. Kita
ingin mereka belajar disiplin, tertib, dan saling peduli—dan semua itu bermula
dari lingkungan yang aman dan teratur. Bukankah Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “La darara wa la dirar”—tidak boleh
ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan?
Jombang,
sebagai kota religius dan pusat pendidikan, seharusnya menjadi teladan dalam
pengelolaan lalu lintas yang manusiawi, tertib, dan selamat. Langkah kecil
dengan menugaskan polisi secara tepat waktu dan tepat lokasi akan membawa
dampak besar, bukan hanya bagi kelancaran jalan, tetapi juga bagi ketenangan
jiwa para pelajar, guru, orang tua, dan masyarakat luas.
Semoga
aspirasi ini sampai kepada para pemangku kebijakan. Semoga langkah-langkah
kecil ini menjadi jalan menuju masyarakat yang lebih beradab, tertib, dan
berakhlak mulia. Karena sejatinya, ketertiban adalah bagian dari iman, dan keselamatan adalah
tanggung jawab bersama. Wallahu a’lam
bish-shawab.[pgn]
Nine Adien Maulana – GPAI SMAN 2 Jombang - Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
1 Komentar
Keren
BalasHapus