![]() |
Ulang tahun ke-46 saya memang penuh air mata, tetapi juga penuh makna. Dari kesedihan, Allah memberi pelajaran tentang kekuatan doa. |
[Pacarpeluk, Pak
Guru NINE] - Ada
masa dalam hidup ketika ulang tahun tidak lagi identik dengan pesta meriah,
lilin warna-warni, atau ucapan selamat yang berderet masuk lewat notifikasi.
Seiring bertambahnya usia, ulang tahun menjadi lebih sederhana, bahkan kadang
terlewat begitu saja. Begitulah yang saya alami pada Ahad, 7 September
2025—hari ketika usia saya genap 46 tahun. Anehnya, justru saya sendiri hampir
tidak menyadari momen itu.
Bukan karena lupa kalender, melainkan
karena pikiran saya sedang penuh dengan masalah besar yang datang sehari
sebelumnya. Malam itu, hati saya terguncang, pikiran bercampur aduk, dan air
mata tak terbendung. Dalam keadaan seperti itu, siapa yang sempat memikirkan
ulang tahun? Rasanya, merayakan hari lahir menjadi sesuatu yang mewah sekaligus
jauh dari relevansi.
Sejak awal, ulang tahun ke-46 memang
tidak masuk daftar prioritas saya. Hidup ini sudah cukup sibuk dengan
perjuangan membangun rumah tangga yang harmonis, membimbing anak-anak agar
tumbuh menjadi pribadi shalih dan shalihah, serta menjaga mereka agar menemukan
jalan terbaik versi mereka sendiri. Itu semua menuntut pengorbanan, cucuran
keringat, doa, bahkan air mata. Jadi wajar bila perayaan pribadi tak lagi
terasa penting.
Namun, takdir punya cara unik untuk
mengingatkan saya. Saat berkunjung ke rumah ibu pada hari itu, tanpa diduga
Neng Ririn dan Ibu Dewi Alfiyah memberi ucapan selamat ulang tahun. Bukan
pesta, bukan kejutan besar—hanya ucapan tulus dari orang-orang terdekat. Tapi
karena hati saya masih rapuh, respon saya hanyalah kembali menangis. Bukan
tangisan cengeng, melainkan ungkapan kelemahan di hadapan Allah SWT. Saya hanya
bisa meminta doa, agar masalah yang sedang saya hadapi berakhir dengan
kebahagiaan.
Momen itu menegaskan satu hal: usia
hanyalah angka, dan perayaan ulang tahun tidak sebanding dengan makna doa serta
dukungan keluarga.
Hari-hari berikutnya berjalan biasa.
Saya memilih diam, tidak menceritakan soal ulang tahun kepada teman-teman.
Hingga dua hari kemudian, seorang sahabat guru, Bu Rahma Vera Windyaningrum,
mengucapkan selamat dengan hangat. Saya hanya membalas singkat, tanpa banyak
ekspresi. Bukan karena tidak menghargai, tetapi hati saya masih berat.
Namun, ternyata Allah menyiapkan momen
berbeda. Tepat sebelas hari setelah ulang tahun saya, pada Kamis, 18 September
2025, kejutan kecil hadir dari murid-murid saya di kelas XII-5 SMAN 2 Jombang.
Hari itu saya masuk kelas dengan tujuan serius: membicarakan bimbingan belajar
untuk persiapan Tes Kemampuan Akademik (TKA). Saya ingin mereka fokus, sebab
masa depan mereka sedang dipertaruhkan.
Tiba-tiba, seorang murid maju dengan
membawa kue tart cokelat. “Selamat ulang tahun, Pak,” ucapnya, disambut sorak
dan tepuk tangan teman-temannya. Seketika suasana kelas berubah hangat.
Jujur, saya terharu. Bukan semata
karena kue itu, melainkan karena perhatian mereka yang tulus. Meski telat
sebelas hari, perhatian itu justru lebih bermakna. Bukankah cinta dan
penghargaan tidak mengenal tanggal di kalender?
Sebagai guru, saya tidak ingin larut
sepenuhnya dalam euforia. Ada hal penting yang harus disampaikan. Maka saya
menunda ajakan mereka untuk berfoto dan bercanda. Saya meminta mereka terlebih
dahulu mengisi angket online tentang aspirasi studi lanjut, persiapan ujian
akhir, dan rencana menghadapi UTBK.
Menariknya, mereka tidak protes. Justru
mereka mengikuti instruksi dengan penuh keseriusan. Setelah tugas selesai,
barulah kami keluar kelas menuju Gazebo HI SMAN 2 Jombang. Di sana, suasana
berubah cair: kami berfoto bersama, tertawa ringan, dan berbagi cerita. Kue
tart yang sempat ditutup kembali menjadi saksi kebersamaan itu.
Dalam momen sederhana tersebut, saya
merasakan makna sejati dari pendidikan. Bukan sekadar mentransfer ilmu,
melainkan membangun ikatan emosional yang penuh cinta, hormat, dan kebersamaan.
Murid-murid bukan hanya penerima materi pelajaran, melainkan bagian dari
keluarga besar yang saling menguatkan.
Refleksi di Usia 46
Apa arti ulang tahun di usia 46? Bagi
saya, bukan lagi soal meriah atau tidaknya perayaan. Bukan juga tentang
banyaknya ucapan yang datang. Melainkan tentang sejauh mana hidup ini memberi
makna bagi orang lain, terutama keluarga dan murid-murid saya.
Air mata yang tumpah pada awalnya
ternyata menjadi jalan menuju kejutan penuh makna. Doa ibu, perhatian sahabat,
dan ketulusan murid-murid menghadirkan pelajaran berharga: bahwa hidup ini
indah bukan karena bebas dari masalah, tetapi karena kita selalu dikelilingi
oleh orang-orang yang peduli.
Perhatian kecil seringkali justru
membekas lebih dalam dibanding pesta besar. Kue tart cokelat yang sederhana itu
menjadi simbol persaudaraan, tanda kasih sayang, sekaligus pengingat bahwa
hidup harus terus berjalan dengan semangat.
Saya menutup refleksi ini dengan
keyakinan sederhana: kebahagiaan tidak selalu datang dari momen-momen yang kita
rencanakan. Kadang justru lahir dari kejutan kecil yang tulus, dari doa ibu,
ucapan sahabat, atau perhatian murid-murid.
Ulang tahun ke-46 saya memang penuh air
mata, tetapi juga penuh makna. Dari kesedihan, Allah memberi pelajaran tentang
kekuatan doa. Dari kejutan kecil, saya belajar tentang ketulusan. Dan dari
kebersamaan dengan murid-murid, saya kembali diyakinkan bahwa perjuangan di
dunia pendidikan bukan sekadar profesi, melainkan ladang ibadah yang penuh
berkah.
Hari itu saya menyadari, ulang tahun bukan tentang bertambah tua, melainkan tentang bertambah syukur. Dan syukur terbesar saya adalah dikelilingi orang-orang yang mencintai dengan tulus, dalam suka maupun duka.[pgn]
0 Komentar