[Pacarpeluk, Pak
Guru NINE] - Sabtu
pagi, 20 September 2025, pendopo Kecamatan Diwek, Jombang, menjadi saksi sebuah
pertemuan penting. Di tempat sederhana itu, Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Kabupaten Jombang
menyelenggarakan kajian intensif bertema Penguatan Perlindungan HAM dalam
Proses Talak dan Masa Iddah.
Sekitar 70 peserta, delegasi dari
Muslimat NU dan Aisyiyah se-Kabupaten Jombang, hadir dengan penuh perhatian.
Hadir pula Camat Diwek, Agus Sholihuddin, bersama jajaran pengurus DP MUI
Jombang, termasuk KH. M. Afifuddin Dimyathi, KH. Ilham Rohim, KH. Herly Yusuf
Wibisono, dan ustadz Nine Adien Maulana. Acara dipandu sepenuhnya oleh Muhammad Saifuddin, seorang
pengacara yang juga Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI Jombang.
Namun, yang paling berkesan bukan hanya
kehadiran tokoh, melainkan pijar makna dari tafsir al-Qur’an yang disampaikan
KH. M. Afifuddin Dimyathi. Beliau mengawali kajian dengan mengurai firman Allah
dalam QS. An-Nisa [4]: 19:
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak
halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang
nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai
mereka, (bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.”
KH. Afifuddin menegaskan bahwa ayat ini
bukan sekadar nasihat rumah tangga, melainkan prinsip agung perlindungan hak
asasi manusia. Islam datang di tengah masyarakat jahiliyah yang memperlakukan
perempuan seperti harta warisan. Al-Qur’an turun untuk meruntuhkan tradisi
zalim itu, sekaligus menegakkan martabat perempuan sebagai manusia merdeka.
Perintah dalam ayat itu jelas: mu‘asyarah
bil ma‘ruf—bergaul dengan cara yang baik. Artinya, ukuran hubungan
suami-istri bukan semata ikatan biologis, melainkan ikatan kemanusiaan yang
dilandasi kasih sayang dan penghormatan. Ketika cinta meredup atau perbedaan
tak bisa lagi dipertemukan, Islam tetap menuntut agar suami berlaku adil, tidak
menekan, apalagi menzalimi.
KH. Afifuddin mengingatkan, ayat ini
menekankan dominannya perintah Allah kepada suami. Mengapa? Karena dalam
struktur sosial, suami sering memiliki posisi dominan. Maka Al-Qur’an hadir
untuk menyeimbangkan, mengingatkan, bahkan membatasi agar kekuasaan itu tidak
berubah menjadi penindasan.
Tiga Pilihan dalam Rumah Tangga
Dari spirit ayat ini, KH. Afifuddin
mengurai tiga jalan yang ditawarkan Islam dalam dinamika rumah tangga:
- Mu‘asyarah bil
Ma‘ruf
(Pergaulan yang baik).
Selama hubungan masih bisa
dipertahankan, kewajiban utama suami adalah memperlakukan istri dengan penuh
kelembutan, tanpa kekerasan, tanpa menutup pintu dialog.
- Ash-Shulhu bi
tarki ba‘dhil huquq
(Perdamaian dengan saling mengalah).
Bila konflik muncul, Islam menawarkan
jalan damai, meski harus melepas sebagian hak. Yang penting, martabat
masing-masing tetap terjaga.
- Tasriihun bi
Ihsan
(Perceraian yang baik).
Talak memang pintu terakhir, namun
sekalipun pisah, harus dilakukan dengan ihsan—tanpa dendam, tanpa
menelantarkan, tanpa merampas hak.
Tiga jalan ini adalah bukti bahwa Islam
bukan agama yang kaku, melainkan memberi solusi yang realistis dan manusiawi.
Hak-Hak Perempuan dalam Masa Iddah
Kajian semakin berbobot ketika dibahas
hak-hak perempuan yang sedang dalam masa iddah. KH. Afifuddin menekankan bahwa
iddah bukan sekadar masa tunggu, melainkan periode perlindungan:
- Hak nafkah dan
tempat tinggal.
Al-Qur’an menegaskan bahwa suami wajib menafkahi dan menyediakan tempat
tinggal hingga masa iddah berakhir, bahkan hingga melahirkan bila istri
hamil.
- Hak mut‘ah. Uang penghibur
ini bukan sekadar materi, melainkan simbol bahwa perpisahan harus tetap
berbingkai penghormatan.
- Hak mahar. Baik penuh,
separuh, atau mahar mitsl jika belum disebutkan, tetap harus
dipenuhi.
- Hak waris. Selama masih
dalam masa iddah, istri berhak mendapat warisan jika suami wafat.
- Hak asuh anak. Seorang ibu
lebih berhak mengasuh anaknya, sementara suami wajib menanggung nafkah
anak itu.
KH. Afifuddin menekankan: setiap hak
ini adalah benteng yang menjaga perempuan dari potensi penelantaran. Tanpa kesadaran
ini, talak bisa berubah menjadi instrumen kekerasan struktural.
HAM dalam Al-Quran
Banyak orang beranggapan bahwa
pembicaraan HAM hanya berasal dari wacana Barat modern. Padahal, Al-Qur’an
sudah jauh-jauh hari meletakkan dasar-dasar HAM. Dalam konteks rumah tangga,
Al-Qur’an memandang perempuan sebagai subjek yang utuh, bukan objek yang bisa
diperlakukan sesuka hati.
HAM dalam Islam bukan sekadar slogan,
melainkan perintah ilahi. Melanggar hak perempuan dalam perceraian berarti
melanggar perintah Allah. Inilah tafsir HAM yang bersumber dari wahyu: kokoh,
abadi, dan melampaui zaman.
KH. Afifuddin menutup dengan pesan yang
menggugah: rumah tangga adalah ladang pengabdian. Ketika harus berakhir, jangan
biarkan perceraian menjadi kuburan nilai kemanusiaan. Sebaliknya, justru di
sanalah diuji: mampukah kita tetap berbuat ihsan, meski hati retak dan jalan
berpisah?
Dari Pendopo kecamatan Diwek, Jombang kita belajar, tafsir al-Qur’an bukan sekadar teks kuno, melainkan petunjuk hidup yang nyata. Talak dan iddah, yang sering dipandang teknis, sesungguhnya adalah ruang suci untuk menegakkan hak asasi manusia, menjaga martabat perempuan, dan membuktikan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi semesta.[pgn]
0 Komentar