Belajar, Berjuang, Bertaqwa Tanpa Mengeksploitasi Pelajar

 

Jika pengurus dewasa ingin menyuarakan aspirasi politik, silakan. Mereka sudah cukup umur dan sah menggunakan hak konstitusionalnya. Tetapi jangan libatkan pelajar SMP atau SMA dalam aksi jalanan. 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Sebagai mantan Ketua Komisariat Besar (Kombes) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Imam Bonjol Jember, saya sering diminta memberi saran kepada rekan dan rekanita IPNU maupun IPPNU, khususnya di desa Pacarpeluk. Bukan karena saya lebih pintar, melainkan karena pengalaman yang pernah saya jalani membuat mereka percaya untuk menjadikan saya pembina dalam menjalankan roda organisasi. Dari ruang diskusi sederhana hingga rapat formal, saya sering menyampaikan nasihat agar pergerakan organisasi tetap sesuai jalurnya.

Salah satu hal yang selalu saya ingatkan adalah bahwa IPNU memang organisasi pelajar, tetapi realitas kepengurusannya sering didominasi mahasiswa. Hampir semua pengurus inti di tingkat pusat, wilayah, cabang, hingga anak cabang bukan lagi siswa SMP atau SMA, melainkan mahasiswa S1 bahkan ada yang sedang menempuh S2. Dengan kata lain, pelajar dalam nama organisasi tidak selalu identik dengan pelajar secara status akademik.

Peraturan terbaru hasil Kongres XX IPNU dan Kongres XIX IPPNU juga sudah memperjelas batas usia. Pengurus Pimpinan Pusat (PP), Pimpinan Wilayah (PW), dan Pimpinan Cabang (PC) maksimal berusia 24 tahun. Untuk Pimpinan Anak Cabang (PAC) dan Komisariat maksimal 22 tahun, sedangkan di tingkat ranting maksimal 18 tahun. Artinya, hanya di ranting atau komisariat sekolah, madrasah, dan pesantren kita benar-benar menjumpai pengurus yang masih berstatus pelajar SMP atau SMA sederajat.

Kesenjangan Gaya Gerakan

Fakta ini sering menimbulkan kesenjangan. Para pengurus elit yang sudah mahasiswa cenderung membawa gaya pergerakan mahasiswa, misalnya demonstrasi, aksi massa, dan pernyataan sikap politik. Padahal, mereka kadang lupa bahwa mayoritas kader IPNU di akar rumput masih anak-anak usia sekolah menengah, yakni 13–18 tahun.

Di sinilah potensi masalah muncul. Secara hukum, usia tersebut masih tergolong anak-anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Anak-anak memang berhak berpendapat, tetapi mereka juga harus dilindungi dari eksploitasi politik, kekerasan, dan risiko bahaya di ruang publik.

Mari kita lihat beberapa pasal penting dari UU Perlindungan Anak.

Pertama, Pasal 10 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, serta memperoleh informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya. Artinya, hak berpendapat memang dijamin, tetapi harus sesuai dengan usia dan nilai kesusilaan.

Kedua, Pasal 15 huruf b menegaskan: anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Jelas sekali, anak tidak boleh dijadikan alat politik, baik untuk kampanye, propaganda, maupun aksi massa yang penuh risiko.

Ketiga, Pasal 59 ayat (1) menugaskan pemerintah untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak. Bahkan, ayat (2) memperinci perlindungan terhadap anak dalam situasi tertentu, termasuk anak korban kekerasan, eksploitasi, atau yang berhadapan dengan hukum. Dalam konteks demonstrasi, sangat mungkin anak-anak terpapar kekerasan, provokasi, bahkan kriminalisasi.

Dari ketentuan ini, kita bisa menarik garis tegas: anak boleh menyampaikan pendapat, tetapi bukan dalam bentuk keterlibatan politik praktis. Forum OSIS, musyawarah sekolah, atau ruang diskusi pelajar bisa menjadi wadah yang sehat. Sebaliknya, demonstrasi menuntut pencopotan pejabat negara atau aksi politik di jalanan jelas bukan ranah mereka.

Arahan dari Kementerian Pendidikan

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2025 semakin memperkuat hal ini. Surat edaran tersebut menekankan bahwa pembinaan partisipasi anak dalam menyampaikan pendapat harus diarahkan melalui jalur pendidikan, dialog, dan ruang-ruang pembelajaran yang aman.

Ada beberapa poin penting dari surat edaran ini:

  1. Peserta didik masih dalam proses tumbuh kembang sehingga butuh bimbingan dan pengawasan.
  2. Perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama: pemerintah, sekolah, guru, dan orang tua.
  3. Ruang dialog harus difasilitasi agar anak dapat menyalurkan pendapatnya secara aman, santun, dan konstruktif.

Dengan demikian, jelas bahwa negara menegaskan posisi: hak anak untuk berpendapat tetap dijaga, tetapi harus melalui mekanisme yang mendidik, bukan yang membahayakan.

Aspirasi Tanpa Eksploitasi

Sebagai pembina, saya selalu menekankan bahwa IPNU dan IPPNU perlu menjaga marwahnya. Jika pengurus dewasa ingin menyuarakan aspirasi politik, silakan. Mereka sudah cukup umur dan sah menggunakan hak konstitusionalnya. Tetapi jangan libatkan pelajar SMP atau SMA dalam aksi jalanan. Itu bukan hanya melanggar undang-undang, melainkan juga berisiko merugikan masa depan mereka.

Ada banyak cara elegan untuk menyuarakan aspirasi tanpa harus mengorbankan pelajar usia anak:

  • Membuat forum dialog di sekolah atau pesantren.
  • Menulis opini di media massa atau media sosial.
  • Melakukan aksi sosial dan kampanye literasi yang lebih edukatif.
  • Mengoptimalkan peran mahasiswa dan alumni IPNU untuk menyampaikan aspirasi politik.

Dengan cara ini, IPNU dan IPPNU tetap bisa relevan dengan isu kebangsaan tanpa mengabaikan perlindungan kader mudanya.

Akhirnya, kita harus kembali ke jati diri IPNU dan IPPNU: Belajar, Berjuang, Bertaqwa. Belajar artinya menumbuhkan kecerdasan dan kritisisme. Berjuang berarti berkontribusi nyata bagi masyarakat, bukan sekadar berorasi di jalanan. Bertaqwa adalah kompas moral agar setiap langkah organisasi tetap berada di jalur yang benar.

Maka, pelajar NU harus ditempa sebagai generasi kritis dan demokratis, tetapi tetap aman, santun, dan terlindungi. Para pengurus dewasa jangan sampai melupakan tanggung jawab moral ini. Karena sebesar apa pun idealisme perjuangan, tidak ada artinya jika yang dikorbankan adalah anak-anak yang seharusnya sedang fokus belajar dan menata masa depannya.[pgn]

Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institute - Pembina PR IPNU dan IPPNU Pacarpeluk

Posting Komentar

0 Komentar