[Jombang, Pak Guru NINE] - Di suatu pagi di SMAN 2 Jombang, saya
memperhatikan sesuatu yang menarik. Di antara deretan siswi berseragam putih abu-abu, wajah-wajah cerah
dengan bedak tipis, liptint natural dan wangi tampak mendominasi. Bukan
hanya satu dua, tapi saya mendapati banyak siswi saya yang berpenampilan segar, menarik,
dan wangi—istilah kerennya: glowing
look. Sekolah ini memang merupakan
SMAN
terfavorit di Kabupaten Jombang, berada di tengah kota dengan akses kuat
terhadap media sosial dan tren kecantikan. Mayoritas siswa-siswinya berprestasi
dan berasal dari
keluarga menengah ke atas, meskipun ada juga yang dari keluarga kurang mampu.
Dari
situlah saya merenung: apakah ini sekadar tren sesaat, sebuah fenomena, atau
sudah menjadi kebutuhan baru bagi remaja putri masa kini dalam
berpenampilan di ruang publik? Untuk menjawabnya, saya tidak
ingin hanya mengandalkan prasangka. Saya kemudian melakukan survei kepada 157
siswi SMAN 2 Jombang dari kelas X, XI, dan XII, berusia 14–18 tahun.
Survei
saya menggunakan dua model: angket skala Likert 5 poin untuk dianalisis secara
kuantitatif, dan pertanyaan terbuka yang memungkinkan siswi bercerita apa
adanya sesuai pengalaman, pikiran, dan perasaannya. Khusus dalam esai ini, saya akan memaparkan hasil analisis kualitatif
atas jawaban responden terhadap 4 pertanyaan terbuka itu.
Dari
pertanyaan pertama, tentang alasan utama memakai make up tebal ke sekolah,
jawaban para siswi mematahkan stereotip yang sering beredar. Bukan, mereka
bukan sekadar “cari perhatian” atau “mau dilirik cowok”. Sekitar delapan dari
sepuluh jawaban berputar pada kebutuhan mengelola citra diri: ingin menutupi
jerawat dan bekasnya, mengurangi kesan pucat, dan tampil lebih rapi serta
segar. Make up, bagi banyak dari mereka, adalah alat untuk merasa “layak
muncul” di ruang sosial sekolah. Faktor tren, teman sebaya, dan media sosial
memang ada, tetapi lebih sebagai penguat, bukan pendorong utama. Menariknya,
ada juga kelompok siswi yang menolak make up tebal dan memilih tampilan
natural, menegaskan bahwa norma “rapi seperlunya” belum hilang dari budaya
sekolah.
Pertanyaan
kedua, tentang batasan make up di sekolah, mengungkap sisi kedewasaan berpikir
generasi ini. Mayoritas siswi justru setuju bahwa perlu ada batasan yang jelas.
Mereka tidak nyaman dengan tampilan menor di ruang kelas karena dianggap
mengganggu, tidak sesuai usia, dan merusak citra pelajar. Di sisi lain, mereka
merasa larangan total terhadap segala bentuk perawatan diri juga tidak adil.
Dalam kacamata mereka, skincare dasar seperti sunscreen, pelembap, sabun wajah,
bedak tipis, dan lip balm netral adalah kebutuhan, bukan kemewahan. Yang
dianggap “kebablasan” adalah foundation tebal, eyeshadow mencolok, bulu mata
dramatis, atau lipstik warna bold di jam pelajaran.
Di
sinilah muncul kritik yang cukup tajam dan logis: aturan sering kali tidak
spesifik dan penegakannya belum konsisten. Ada guru yang sulit membedakan
skincare dengan make up tebal; ada pula figur OSIS yang tampil dengan riasan
penuh tanpa teguran berarti. Siswi yang hanya memakai sunscreen bisa dicurigai,
sementara pengguna make up lengkap kadang lolos begitu saja. Mereka bukan
menolak disiplin, tetapi menginginkan regulasi yang lebih jelas, adil, dan
konsisten—disertai contoh baik dari para teladan di sekolah. Bagi mereka,
sekolah bukan panggung fashion, tetapi bukan juga ruang yang mematikan ekspresi
diri dan kebutuhan merawat diri.
Pertanyaan
ketiga menggali hubungan antara make up dan rasa percaya diri. Di sini,
gambaran yang muncul cukup manusiawi. Banyak siswi mengakui bahwa polesan
ringan membuat mereka lebih percaya diri: bekas jerawat tersamarkan, wajah
tidak terlalu pucat, dan tampilan terasa lebih siap berinteraksi. Namun, mereka
juga menyadari bahwa make up tebal justru bisa menimbulkan ketidaknyamanan:
terasa berat, khawatir melanggar aturan, dan takut dianggap berlebihan. Ada
juga kelompok yang nyaman tanpa make up sama sekali, dengan alasan hemat waktu,
hemat biaya, dan lebih fokus belajar. Pola ini menunjukkan bahwa rasa percaya
diri mereka bukan bergantung pada transformasi total, tetapi pada kombinasi
rapi, bersih, dan sesuai konteks.
Pertanyaan
keempat tentang tren glowing
look memperkaya pemahaman ini. Secara umum, tren glowing diterima
positif selama dipahami sebagai kulit yang sehat, terawat, dan tidak
berlebihan. Para siswi mampu membedakan antara “glowing karena skincare” dan
“glowing karena highlighter berlapis”. Mereka menyadari manfaat sunscreen di
iklim tropis dan risiko penggunaan kosmetik dekoratif yang berlebihan terhadap
kesehatan kulit. Namun mereka juga peka terhadap tekanan standar kecantikan di
media sosial yang sering tidak realistis. Beberapa dengan jujur mengaku merasa
tertekan bila tidak terlihat “secerah” influencer, sementara yang lain berusaha
bersikap santai dan realistis.
Dari
seluruh jawaban, tampak jelas bahwa glowing look bagi remaja putri SMAN 2
Jombang bukan sekadar gaya, tetapi pertemuan tiga hal: kebutuhan psikologis
untuk merasa percaya diri, kebutuhan fungsional untuk merawat kulit, dan
tekanan sosial dari lingkungan dan media. Tugas sekolah, orang tua, dan kita
sebagai orang dewasa bukan sekadar menghakimi, tetapi memahami lalu
mengarahkan. Pendekatan yang hanya berupa larangan keras berpotensi melahirkan
perlawanan diam-diam: make up disembunyikan, touch up dilakukan di toilet, dan
diskusi sehat tentang perawatan diri justru menghilang.
Sebaliknya,
kebijakan yang memungkinkan perawatan dasar dan riasan minimal, sambil tegas
terhadap make up berlebihan, tampaknya menjadi titik temu terbaik. Ditambah
lagi dengan edukasi tentang kesehatan kulit remaja, literasi tren media sosial,
dan budaya anti-bullying berbasis penampilan, sekolah dapat menjadi ruang yang
aman bagi siswi untuk tumbuh. Mereka belajar bahwa cantik bukan berarti harus menor,
dan percaya diri bukan berarti harus sempurna. Glowing, pada akhirnya, bukan
hanya soal kilau di wajah, tetapi juga kejernihan cara berpikir dan kematangan
bersikap. Dan dari SMAN 2 Jombang, kita belajar bahwa remaja putri masa kini
jauh lebih kritis, rasional, dan siap diajak berdialog daripada yang sering
kita bayangkan.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang
Baca juga!

0 Komentar