![]() |
Cermati pidato lengkap Menteri Agama Republik Indonesia mulai waktu 1:47:49 hingga 2:18:14 yang penuh ilmu dan hikmah mendalam yang memuliakan profesi guru! Sayangnya kemuliaannya dipelintir oleh warganet, hingga menimbulkan fitnah. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Di era digital
seperti sekarang, kecepatan informasi terkadang mengalahkan kedalaman
pemahaman. Satu kalimat yang dipotong dari sebuah pidato bisa viral, tetapi
sayangnya justru kehilangan konteks aslinya. Hal inilah yang terjadi pada
pernyataan Menteri Agama Republik Indonesia, KH. Nasaruddin Umar, saat membuka
Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan batch 3 tahun 2025 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Kalimat beliau yang berbunyi, “Kalau
mau cari uang, jangan jadi guru. Jadi pedaganglah ya,” mendadak ramai
dipelintir oleh sebagian warganet. Seolah-olah Menag sedang merendahkan profesi
guru. Padahal, bila disimak utuh, justru seluruh isi pidato beliau adalah
ajakan untuk memuliakan guru.
Mari kita kembali ke konteks
sebenarnya. Dalam pidato itu, Menag menguraikan beberapa hal penting: capaian
sertifikasi guru, deskripsi profesionalitas guru, filosofi mendidik,
spiritualitas seorang pendidik, hingga relasi mulia antara guru dan murid.
Dengan gaya khasnya yang kalem dan menyentuh, beliau menegaskan bahwa profesi
guru bukanlah sekadar pekerjaan biasa, melainkan jalan pengabdian yang
berpahala jariyah.
Itulah sebabnya beliau menyampaikan, “Kalau
mau cari uang, jangan jadi guru. Jadi pedaganglah ya.” Kalimat ini bukanlah
bentuk penghinaan, melainkan penekanan bahwa orientasi guru berbeda dengan
pedagang. Pedagang berorientasi pada keuntungan finansial, sedangkan guru
berorientasi pada pencerdasan bangsa. Pernyataan ini disambut tepuk tangan
meriah dari para peserta yang hadir, bukti bahwa audiens memahami maksud beliau
secara utuh dan positif.
Sayangnya, di tangan sebagian pengguna
media sosial, kutipan itu diambil secara sepotong. Akibatnya, pesan mulia
berubah menjadi bahan polemik yang memicu salah paham.
Fenomena ini sebetulnya bukan hal baru.
Potongan video singkat atau kutipan teks sering kali diangkat keluar dari
konteks. Publik yang tidak hadir dalam ruang pidato tentu hanya menerima
serpihan informasi. Dari serpihan itu, tafsir liar pun bermunculan.
Bahaya utamanya ada dua. Pertama, nama
baik seseorang bisa tercoreng akibat disinformasi. Kedua, masyarakat terpecah
karena perdebatan yang sebenarnya tidak perlu. Dalam kasus ini, guru—yang
seharusnya dimuliakan—malah kembali menjadi korban kesalahpahaman publik.
Jalan Keluar dari Salah Tafsir
Lalu, bagaimana kita bisa lebih bijak
menyikapi teks, pidato, atau ucapan publik? Di sinilah pentingnya ilmu
hermeneutika.
Hermeneutika adalah metode menafsirkan
teks agar makna aslinya tidak terdistorsi. Prosesnya melibatkan analisis
historis, bahasa, struktur, hingga dialog antara teks dan pembaca. Dengan
hermeneutika, kita tidak berhenti pada kalimat yang tampak, melainkan menggali
maksud pengarang dan konteks di baliknya.
Mari kita coba terapkan pada kasus
Menag:
- Analisis
historis-kontekstual:
Pidato disampaikan pada acara PPG, di hadapan ratusan guru lintas agama.
Tema utamanya adalah kemuliaan profesi guru.
- Analisis bahasa: Ungkapan “jadi
pedaganglah ya” adalah metafora, bukan literal, untuk membedakan orientasi
profesi.
- Analisis
struktural:
Seluruh isi pidato menekankan kebanggaan menjadi guru dan pahala amal
jariyah yang tiada putus.
- Hermeneutic
circle:
Kalimat yang tampak “keras” harus dipahami dalam alur besar pidato yang
penuh penghormatan.
- Dialog teks dan
pembaca:
Bagi guru masa kini, pesan itu adalah ajakan menjaga integritas, bukan
larangan mencari nafkah.
- Aplikasi makna: Pesan yang
bisa ditarik ialah bahwa guru harus bangga dengan perannya sebagai
pencerdas bangsa, meski kesejahteraan finansial sering kali bukan tujuan
utama.
Dengan hermeneutika, kita melihat bahwa
maksud Menag sama sekali bukan merendahkan, melainkan meninggikan martabat
guru.
Kebutuhan Literasi
Digital
Kasus ini sekaligus menjadi cermin
bahwa literasi digital masyarakat kita masih perlu ditingkatkan. Literasi
digital bukan hanya soal mampu menggunakan gawai, tetapi juga bagaimana
menyaring, menafsirkan, dan menyebarkan informasi dengan cerdas dan bertanggung
jawab.
Kita perlu membiasakan diri untuk:
- Membaca konteks
secara utuh,
bukan sekadar judul atau potongan kalimat.
- Mengklarifikasi
sumber informasi,
apakah berasal dari rekaman lengkap atau hanya cuplikan editan.
- Menggunakan akal
sehat dan nurani,
apakah wajar seorang tokoh publik merendahkan profesi yang justru sedang
dipuji?
Dengan cara itu, publik tidak mudah
terprovokasi.
Pada akhirnya, kasus ini mengingatkan
kita kembali pada pesan inti pidato Menag: guru adalah profesi mulia. Amal
jariyah guru mengalir terus menerus bahkan setelah wafat. Guru adalah lentera
yang menyalakan hati murid-muridnya.
Daripada memperdebatkan potongan
kalimat yang dipelintir, lebih baik kita mengambil semangatnya: menjaga
integritas, meningkatkan kompetensi, dan meneguhkan kebanggaan sebagai guru.
Ucapan bisa dimaknai keliru bila
dipahami tanpa konteks. Hermeneutika memberi kita jalan untuk membaca teks
secara lebih adil, dalam, dan bermakna. Dari pidato Menag Nasaruddin Umar, kita
belajar dua hal sekaligus: pentingnya memuliakan guru dan pentingnya literasi
digital.
Sebagai bangsa yang besar, kita tidak
boleh terjebak pada tafsir yang sempit. Justru kita perlu terus melatih diri
menjadi pembaca yang kritis sekaligus bijak. Dengan begitu, bukan hanya guru
yang dimuliakan, tetapi juga martabat publik digital kita ikut terjaga.[pgn]
Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institute - Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
1 Komentar
(y)
BalasHapus