![]() |
Puisi Mercusuar Peradaban bukan sekadar karya lomba, melainkan refleksi bahwa tugas kita bersama adalah menjaga agar pendidikan tetap menjadi cahaya penuntun bangsa |
[Pacarpeluk, Pak
Guru NINE] - Di
sebuah kelas XI-6, seorang murid tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang
terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan kedalaman makna. “Pak,
bagaimana ceritanya Bapak bisa menulis artikel, bisa jadi buku, dan ternyata
juga bisa mencipta serta membaca puisi?”
Saya tersenyum dan menjawab singkat,
“Itu berkah saya pernah jatuh cinta.”
Jawaban itu sontak membuat seluruh
kelas riuh. Ada yang bertepuk tangan, ada yang tertawa geli, ada pula yang
terdiam penuh penasaran. Murid-murid pun memaksa saya untuk menceritakan lebih
lengkap bagaimana cinta bisa berhubungan dengan dunia literasi. Maka, mulailah
saya membuka kisah yang selama ini tersimpan.
Dari Surat Cinta ke Puisi
Saya pun bercerita bahwa masa remaja
saya tidak berbeda jauh dengan mereka. Saya pun pernah jatuh cinta, merasakan
rindu, dan ingin menyampaikan perasaan. Bedanya, kala itu belum ada telepon
genggam, belum ada WhatsApp atau media sosial. Komunikasi jarak jauh hanya bisa
melalui surat yang dikirim lewat kantor pos.
Bayangkan betapa haru ketika menerima
amplop berisi surat lima lembar, lalu saya balas dengan sepuluh lembar. Kata
demi kata bukan sekadar curahan hati, tetapi juga gagasan, ide, bahkan
imajinasi. Dalam surat, saya belajar bagaimana memilih diksi yang tepat,
menyusun kalimat agar menyentuh, sekaligus menjaga tata bahasa agar tetap indah
dibaca.
Tak hanya itu, kerinduan yang tak
tertampung oleh surat pun akhirnya melahirkan puisi. Saya menuliskan bait-bait
sederhana, lalu membacakannya di panggung kecil dengan keberanian seadanya.
Saya tidak peduli apakah bagus atau tidak, yang penting perasaan bisa
terekspresikan secara halal dan bermakna. Dari situlah saya menyadari bahwa
literasi sesungguhnya lahir dari hati yang sedang belajar mencinta.
Cinta, Literasi, dan Cermin Kehidupan
Kini, setelah usia mencapai 46 tahun
dan berprofesi sebagai guru, saya menyadari bahwa pengalaman literasi berbasis
cinta itu ternyata menjadi bekal berharga. Ia melatih saya menulis, berbicara,
berlogika, sekaligus mengasah empati. Dalam dunia pendidikan, kemampuan itu
sangat bermanfaat—baik saat mengajar, berdakwah, maupun saat berinteraksi dalam
lingkaran seni dan kebudayaan.
Maka ketika Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Timur menyelenggarakan Gempita Awards 2025 dengan salah satu lomba
cipta baca puisi bertema “Jatim Gerbang Baru Nusantara”, saya
menyambutnya dengan gembira. Beberapa rekan guru di SMAN 2 Jombang mendorong
saya untuk ikut serta. Bagi saya, lomba ini bukan sekadar kompetisi, melainkan
ruang untuk menyampaikan gagasan.
Saya memilih subtema pendidikan, sebab
saya yakin di situlah inti peradaban dibangun. Dari renungan panjang itu
lahirlah sebuah puisi yang saya beri judul “Mercusuar Peradaban.”
Mercusuar Peradaban
Jawa
Timur berdiri di simpang jalan,
jembatan baja, menara industri, cahaya pasar.
Namun sejarah berbisik kebenaran:
peradaban tak lahir dari batu, baja, atau aspal semata,
melainkan dari jiwa yang tercerahkan,
oleh pendidikan yang menyalakan nurani,
membimbing generasi menapaki masa depan.
Apa
arti kota yang megah,
jika generasi rapuh imannya?
Apa arti teknologi tercanggih,
jika hati kehilangan empati dan kasih?
Kemajuan
sejati lahir dari keseimbangan,
antara pengetahuan yang tajam
dan kebijaksanaan yang meneduhkan.
Pendidikanlah
motor peradaban:
mengasah akal, membentuk watak,
menyemai kerja keras, kejujuran, dan tanggung jawab,
agar anak-anak tidak hanya pandai berhitung,
tetapi juga mampu merangkul sesama,
mencipta solusi, bukan sekadar kompetisi.
Maka
marilah bergandeng tangan—
pemerintah, guru, orang tua, dunia usaha,
komunitas seni, tokoh agama, komunitas kreatif,
semua bersatu menenun kurikulum kehidupan,
di mana ilmu berpadu dengan kearifan,
lokalitas bertemu globalisasi,
teknologi berjalan bersama kemanusiaan.
Dengan
gotong royong kita tegakkan mercusuar,
memancarkan cahaya peradaban,
dari Jawa Timur untuk Nusantara,
dari Nusantara untuk dunia,
dari dunia kembali ke hati manusia.
Kandungan Makna Puisi
Puisi ini lahir dari kesadaran bahwa
sejatinya kemajuan tidak hanya diukur dari jalan tol, gedung pencakar langit,
atau teknologi digital. Semua itu hanyalah infrastruktur lahiriah. Sedangkan
pondasi batiniah—iman, moral, empati, kebijaksanaan—hanya bisa tumbuh melalui
pendidikan yang bermakna.
Pendidikan bukan sekadar ruang kelas
dan kurikulum, tetapi sebuah ekosistem yang menumbuhkan karakter. Seorang anak
yang terampil berhitung tetapi tak peduli pada sesamanya akan mudah tersesat
dalam persaingan. Sebaliknya, anak yang cerdas sekaligus penuh kasih akan
menjadi solusi bagi persoalan bangsa. Inilah hakikat pendidikan sebagai mercusuar—cahaya
yang menuntun arah, bukan sekadar alat untuk mengejar prestasi.
Dalam puisi itu, saya juga menegaskan
pentingnya kolaborasi. Pendidikan tidak bisa hanya dibebankan kepada guru dan
sekolah. Pemerintah, orang tua, dunia usaha, komunitas seni, tokoh agama,
hingga masyarakat kreatif harus turut serta. Hanya dengan gotong royong kita
bisa menenun “kurikulum kehidupan” yang menyatukan ilmu pengetahuan dengan
kearifan lokal, teknologi dengan kemanusiaan.
Bayangkan jika setiap elemen bangsa
berkontribusi: orang tua mendidik dengan kasih, guru mengajar dengan dedikasi,
pemerintah menata kebijakan dengan visi, dunia usaha mendukung dengan
investasi, seniman memberi jiwa dengan karya, dan tokoh agama menuntun dengan
akhlak. Maka akan berdirilah sebuah mercusuar peradaban yang sinarnya menembus
batas ruang dan waktu.
Jawa Timur dalam puisi ini bisa jadi
hanyalah simbol. Ia bisa berarti daerah mana pun di Nusantara. Intinya, dari
tanah ini kita ingin memancarkan cahaya bagi bangsa dan dunia. Indonesia yang
kaya budaya dan sejarah seharusnya tampil bukan hanya sebagai konsumen
teknologi, melainkan juga sebagai penawar nilai-nilai kemanusiaan.
Melalui pendidikan, kita bisa
melahirkan generasi yang tidak sekadar cerdas, tetapi juga berkarakter.
Generasi yang berani bermimpi besar, tetapi tetap membumi dalam nilai gotong
royong. Generasi yang mampu bersaing secara global, tetapi tidak kehilangan
identitas lokal. Generasi yang kelak akan menjaga mercusuar itu tetap menyala.
Akhirnya, ketika murid-murid saya mendengarkan
kisah ini, mereka terdiam sejenak lalu kembali bertepuk tangan. Bukan karena
kisah cinta remaja saya yang sederhana, melainkan karena mereka menangkap pesan
bahwa cinta bisa menjadi pintu literasi, dan literasi bisa menjadi jalan
peradaban.
Puisi Mercusuar Peradaban bukan
sekadar karya lomba, melainkan refleksi bahwa tugas kita bersama adalah menjaga
agar pendidikan tetap menjadi cahaya penuntun bangsa. Dari ruang kelas yang
kecil, dari coretan pena di atas kertas, dari bait-bait puisi yang dibacakan
dengan hati—di sanalah peradaban dibangun.
Dan semoga, cahaya mercusuar itu terus
memancar: dari Jawa Timur untuk Nusantara, dari Nusantara untuk dunia, dan dari
dunia kembali ke hati setiap manusia.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang – Direktur PGN Institute
0 Komentar