Filantainment: Menyulap Dokumentasi Filantropi Jadi Inspirasi

 

Dokumentasi filantropi harus memancarkan harapan, bukan penderitaan. Kamera harus menangkap interaksi humanis, aktivitas nyata, dan detail yang bermakna.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Filantainment adalah istilah baru yang saya gagas. Memang belum tercatat di Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahkan mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Tidak heran jika ketika istilah ini saya kemukakan, banyak yang bertanya-tanya: apa maksudnya, untuk apa, dan bagaimana bentuk nyatanya. Sebagai pencetus istilah ini, saya merasa bertanggung jawab untuk menjelaskannya agar tidak berhenti pada wacana kosong. Gagasan ini saya tawarkan khususnya kepada para penggerak zakat, infak, dan sedekah, agar kegiatan filantropi tampil lebih segar, humanis, dan bermakna.

Salah satu penerapan sederhana dari Filantainment adalah pendokumentasian kegiatan filantropi melalui foto atau video. Jangan dianggap sepele, sebab dokumentasi bukan sekadar arsip, tetapi wajah yang ditampilkan kepada publik. Melalui dokumentasi, citra lembaga terbentuk. Sayangnya, masih banyak aktivis filantropi yang kurang memahami hal ini. Akibatnya, dokumentasi mereka terkesan seadanya, bahkan kontraproduktif. Tidak jarang, publik melontarkan kritik karena mustahik ditampilkan sebagai objek penderitaan. Padahal niatnya baik, tetapi jika kemasan salah, pesan kebaikan bisa tereduksi.

Inilah yang ingin dibenahi melalui Filantainment. Prinsip utamanya sederhana: dokumentasi harus menghadirkan nilai emosional yang inspiratif tanpa mengeksploitasi penderitaan. Caranya adalah dengan cermat memilih sudut pandang, angle, serta momen yang ditangkap kamera. Mari kita lihat beberapa contoh praktisnya.

 

Baca juga!

Filantainment: Meramu Kedermawanan secara Kreatif

 

Bayangkan saat menyalurkan santunan kepada mustahik yang sakit. Dokumentasi yang kurang tepat adalah ketika kamera membidik momen petugas menyerahkan amplop di atas tempat tidur pasien. Pesannya bisa salah ditangkap, seolah penderitaan dijadikan tontonan. Cara yang lebih tepat adalah mengambil angle ketika petugas mendoakan mustahik, sementara penerima bantuan tersenyum haru. Bahkan detail sederhana seperti tangan yang saling menggenggam dapat menjadi simbol empati yang kuat.

Begitu pula ketika memberi santunan kepada fakir miskin. Foto close-up wajah murung penerima bantuan jelas kurang layak. Lebih baik potret suasana akrab, saat petugas duduk lesehan dan ngobrol santai. Barang santunan bisa tampak di sekitar mereka tanpa menjadi fokus utama. Dengan begitu, dokumentasi menyampaikan pesan kehangatan dan persaudaraan, bukan belas kasihan.

Pada program bantuan ekonomi produktif, sering kita lihat dokumentasi yang hanya menampilkan mustahik memegang uang atau modal. Cara ini terkesan pasif. Padahal, yang lebih menarik adalah merekam aktivitas produktifnya. Misalnya, pedagang yang sedang melayani pembeli di warung baru hasil bantuan zakat. Kamera bisa menyorot etalase yang penuh dagangan atau alat produksi yang sedang digunakan. Dengan begitu, mustahik tampil sebagai sosok yang aktif dan berdaya.

Contoh lain ada pada penyaluran beasiswa pendidikan. Foto anak memegang map dengan wajah tegang jelas membosankan. Akan lebih inspiratif jika yang ditampilkan adalah anak itu sedang membaca buku dengan serius, atau memperlihatkan rapor dengan bangga. Dokumentasi seperti ini mengisyaratkan bahwa bantuan pendidikan bukan sekadar angka, tetapi jalan menuju masa depan yang cerah.

Demikian pula dengan program renovasi rumah dhuafa. Menampilkan rumah reyot dengan ekspresi murung keluarga penerima justru mengesankan penderitaan. Sebaliknya, dokumentasikan momen gotong royong warga mengecat rumah, anak-anak tersenyum di depan rumah yang baru diperbaiki, atau keluarga masuk rumah dengan wajah bahagia. Fokuslah pada perubahan positif, bukan kondisi buruk sebelumnya.

Dalam program kesehatan gratis, dokumentasi sering menampilkan antrean panjang orang-orang yang tampak lelah. Padahal lebih baik menangkap ekspresi dokter atau relawan yang melayani dengan senyum, atau momen edukasi kesehatan yang disambut antusias oleh anak-anak. Pesan yang tersampaikan adalah kepedulian dan pelayanan, bukan keputusasaan.

Hal yang sama berlaku pada distribusi sembako di desa tertinggal. Daripada menyorot mustahik dengan kepala tertunduk saat menerima bantuan, lebih baik menampilkan suasana riang warga yang berkumpul, anak-anak ikut membantu mengangkat barang, dan sembako ditata rapi sebagai simbol keberkahan. Visual seperti ini menghadirkan suasana kebersamaan yang hangat.

Bahkan pada program tanggap bencana, dokumentasi harus cermat. Jangan hanya memotret korban dengan wajah sedih sambil memegang sisa harta. Lebih baik bidik momen relawan membantu mendirikan tenda, warga berbagi makanan hangat, atau anak-anak bermain di pengungsian. Pesan yang lahir bukan trauma, tetapi semangat untuk bangkit.

Pada program pemberdayaan perempuan, foto penerima manfaat yang hanya memegang bantuan tentu kurang bermakna. Akan lebih kuat jika yang ditampilkan adalah ibu-ibu sedang membuat kerajinan, menjahit, atau mengelola usaha kuliner. Hasil karya mereka bisa menjadi simbol kemandirian. Begitu juga dengan program literasi, dokumentasi sebaiknya fokus pada wajah ceria anak-anak saat membaca buku atau mendengarkan cerita, bukan sekadar menyorot mobil perpustakaan keliling yang diparkir.

Dari contoh-contoh ini kita bisa menarik benang merah: dokumentasi filantropi harus memancarkan harapan, bukan penderitaan. Kamera harus menangkap interaksi humanis, aktivitas nyata, dan detail yang bermakna. Martabat mustahik adalah hal utama yang harus dijaga. Mereka bukan objek belas kasihan, tetapi subjek yang dihargai.

Filantainment pada dasarnya mengajarkan bahwa dokumentasi adalah bagian dari dakwah. Foto atau video bukan hanya bukti kegiatan, tetapi sarana menginspirasi publik agar ikut tergerak. Jika dokumentasi dikemas dengan baik, ia akan menjadi media edukasi yang lembut namun efektif. Sebaliknya, jika asal-asalan, ia bisa merusak citra filantropi itu sendiri.

Karena itu, saya mengajak para aktivis zakat, infak, dan sedekah untuk serius mengelola dokumentasi. Tidak perlu alat yang mahal, yang penting adalah niat untuk menghadirkan kebaikan dengan cara yang pantas, kreatif, dan bermakna. Filantainment adalah jalan untuk memastikan bahwa kebaikan tidak hanya sampai kepada penerima manfaat, tetapi juga menyebar kepada publik sebagai inspirasi. Dengan begitu, semangat berbagi bisa terus hidup, menyentuh hati, dan menyenangkan jiwa.[pgn]

Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institute – Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang

Posting Komentar

0 Komentar