[Pacarpeluk, Pak
Guru NINE] - Sabtu
malam, 6 September 2025, suasana Kedai Rebung di Mojokrapak, Kecamatan
Tembelang, terasa berbeda. Puluhan
peserta dari berbagai kalangan berkumpul dalam sebuah talkshow bertajuk Merawat
Seni-Budaya Islam: Harmoni antara Iman, Moralitas, dan Keindahan. Acara
yang digagas oleh Komisi Seni Budaya Islam Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kabupaten Jombang ini bukan sekadar bincang-bincang santai,
melainkan sebuah ruang refleksi untuk memahami kembali bagaimana Islam
memandang kebudayaan dan bagaimana umat Islam bisa merawatnya tanpa kehilangan
identitas keagamaan.
Dalam pidato pembuka, Ketua Umum DP MUI
Kabupaten Jombang, Dr. KH. M. Afifuddin Dimyathi, Lc., M.A., memaparkan sebuah
kajian tafsir yang menarik tentang ayat-ayat kebudayaan dalam Al-Qur’an. Beliau
menegaskan bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja, apalagi
bawaan sejak manusia dilahirkan. Kebudayaan adalah hasil dari interaksi
manusia dengan lingkungannya, berkembang melalui proses sosial, pendidikan, dan
kreativitas sepanjang sejarah.
Menariknya, KH. Afifuddin menjelaskan
bahwa sikap Al-Qur’an terhadap kebudayaan dapat diringkas ke dalam tiga
ekspresi utama: melegitimasi kebudayaan, mengoreksi kebudayaan, dan melarang
kebudayaan. Tiga sikap ini menjadi panduan penting bagi umat Islam untuk
tidak menelan mentah-mentah setiap tradisi yang ada, tetapi juga tidak
serta-merta menolaknya tanpa alasan yang jelas.
1. Melegitimasi
Kebudayaan: Ketika Tradisi Selaras dengan Syariat
Ada banyak tradisi yang sejak lama
hidup di masyarakat dan kemudian diakomodasi oleh Islam. Al-Qur’an tidak hanya
membiarkannya, tetapi juga melegitimasinya selama tidak bertentangan dengan
nilai-nilai ketauhidan dan moralitas.
Contohnya adalah wukuf di Arafah—sebuah
tradisi yang sudah dikenal jauh sebelum Islam datang. Nabi Muhammad SAW tidak
menghapusnya, justru mengokohkannya sebagai salah satu rukun haji. Begitu pula
dengan tradisi pemberian mahar dalam pernikahan. Dalam QS. An-Nisa ayat
20, Al-Qur’an menegaskan bahwa jika seorang suami telah memberikan mahar yang
banyak (qinthar), maka tidak boleh mengambilnya kembali dengan cara yang
zalim. Ini menunjukkan bahwa Islam mengakui nilai budaya yang memberi penghormatan
kepada perempuan melalui mahar, sekaligus mengaturnya agar tidak melahirkan
kezaliman.
Dari sini kita belajar bahwa Islam
menghargai tradisi selama tradisi itu membawa kemaslahatan dan tidak
bertentangan dengan prinsip iman dan akhlak.
2. Mengoreksi
Kebudayaan: Saat Tradisi Perlu Diperbaiki
Namun, tidak semua tradisi bebas dari
kritik. Ada kalanya budaya yang hidup di tengah masyarakat mengandung
praktik-praktik yang tidak selaras dengan ajaran Islam. Di sinilah Al-Qur’an
hadir untuk mengoreksi dan menata ulang tradisi agar tetap berjalan di
jalur yang benar.
KH. Afifuddin mencontohkan budaya thawaf
telanjang yang dilakukan masyarakat Arab Jahiliah sebelum datangnya Islam.
Praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip kesopanan dan kehormatan manusia.
Islam kemudian mengoreksinya dengan menetapkan aturan berpakaian yang menutup
aurat saat beribadah di Baitullah.
Contoh lain adalah kebiasaan masyarakat
yang berlama-lama ngobrol setelah makan di rumah Nabi, sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al-Ahzab ayat 53. Allah menegur perilaku ini karena
mengganggu privasi Rasulullah. Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat
menghargai etika sosial dan mengajarkan tata krama dalam bertamu.
Koreksi semacam ini penting karena
tidak semua tradisi sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Budaya
boleh hidup, tetapi harus dibersihkan dari praktik-praktik yang merendahkan
martabat manusia.
3. Melarang
Kebudayaan: Ketika Tradisi Bertentangan dengan Akal dan Iman
Ekspresi ketiga adalah ketika Al-Qur’an
secara tegas melarang budaya tertentu karena mengandung kemusyrikan atau
bertentangan dengan akal sehat. Dalam QS. Al-Maidah ayat 103, misalnya, Allah
mengecam tradisi masyarakat Arab Jahiliah yang mengharamkan hewan-hewan
tertentu seperti bahirah, saibah, wasilah, dan ham
tanpa dasar yang benar. Mereka membuat aturan sendiri seolah-olah berasal dari
Tuhan, padahal hanyalah rekayasa manusia belaka.
Larangan ini memberi pesan penting
bahwa tidak semua tradisi layak dilestarikan, terutama jika merusak
akidah, akhlak, atau bahkan nalar manusia. Di sinilah Islam mengajarkan
keseimbangan antara melestarikan warisan budaya dan menjaga kemurnian ajaran
agama.
Merawat Kebudayaan dengan Iman dan
Moralitas
Talkshow malam itu akhirnya memberi
kesadaran baru bahwa melestarikan budaya bukan sekadar menjaga warisan
leluhur, tetapi juga menanamkan nilai iman dan moralitas di dalamnya.
Islam tidak anti budaya. Sebaliknya,
Islam memberi panduan agar budaya berjalan seiring dengan ajaran agama, tidak
bertentangan dengan akidah, etika, maupun akal sehat. Tugas umat Islam hari ini
adalah menghidupkan budaya yang selaras dengan nilai-nilai Qur’ani
sekaligus berani meninggalkan tradisi yang menyesatkan.
Dengan cara inilah harmoni antara iman, moralitas, dan keindahan dapat terwujud dalam kehidupan nyata—sebuah harmoni yang menjadikan kebudayaan bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga jalan menuju peradaban yang berkeadaban.[pgn]

0 Komentar