Belajar dengan CINTA: Mendalam, Membekas, Menggerakkan

 

Inilah irisan paling manis antara Pembelajaran Mendalam dan alur belajar CINTA (Cermati Fenomena, Integrasi dengan Ilmu, Nalar Islami, Tindak Nyata, Apresiasi & Refleksi).

[Jombang, Pak Guru NINE] – Saya dihubungi Bu Halimatus Saadah, guru PAIBP di SMKN 2 Jombang sekaligus rekan seangkatan saya dalam Guru Penggerak angkatan 9 tahun 2024—sosok yang saya kenal kreatif dan inovatif. Beliau mengundang saya menjadi narasumber In House Training tentang implementasi Pembelajaran Mendalam yang dijadwalkan Jumat, 10 Oktober 2025 di sekolahnya. Awalnya saya menyatakan kesediaan, meski saya belum memiliki sertifikat TOT dari lembaga pemerintah—hanya dari lembaga swasta.

Dalam percakapan lanjutan yang lebih intens bersama Bu Halimatus Saadah dan didampingi Bu Kejora, saya akhirnya memutuskan untuk tidak memenuhi undangan tersebut. Bukan karena ingin terlihat “eksklusif” atau menjaga gengsi, melainkan karena pertimbangan kemaslahatan yang lebih luas agar pelaksanaan kegiatan tetap berjalan sesuai koridor yang diharapkan. Keputusan itu akhirnya dapat dipahami oleh beliau berdua.

Sebagai bentuk komitmen sekaligus tanggung jawab moral saya terhadap pengembangan ilmu dan praktik baik keguruan, saya menuliskan materi yang semestinya saya paparkan. Esai ini saya persembahkan sebagai kontribusi nyata agar gagasan Pembelajaran Mendalam tetap mengalir, membekas, dan menggerakkan praktik di kelas. Berikut esai lengkap saya:

Belajar dengan CINTA: Mendalam, Membekas, Menggerakkan

Bayangkan kelas agama yang tak lagi sekadar menyalin dalil dan menghafal definisi, tetapi mengajak siswa mengalami ajaran: melihat realitas, menimbang dengan nalar syar’i, lalu bergerak dalam aksi nyata—dan semua itu dilakukan dengan CINTA. Inilah irisan paling manis antara Pembelajaran Mendalam dan alur belajar CINTA (Cermati Fenomena, Integrasi dengan Ilmu, Nalar Islami, Tindak Nyata, Apresiasi & Refleksi). Dua pendekatan ini saling menguatkan: Pembelajaran Mendalam memberi kerangka filosofis dan rambu pelaksanaan, sementara CINTA menjadi alur yang konkret, hangat, dan dekat dengan jiwa PAI.

Berkesadaran: mulai dari peka, bukan hanya paham.

Tahap Cermati Fenomena mengajak siswa membuka mata: menatap kebersihan masjid di lingkungan, etika pergaulan di kantin, atau budaya gotong royong di RT. Inilah momen berkesadaran—belajar hadir utuh dengan hati, pikiran, dan kepekaan sosial. Pada titik ini, guru berperan sebagai pengarah fokus: memantik rasa ingin tahu, menyiapkan instrumen observasi sederhana, dan memastikan semua suara siswa terdengar. Kita menumbuhkan empati dan adab berpikir sebelum masuk ke wilayah konsep.

Bermakna: sambungkan realitas dengan wahyu dan ilmu.

Tahap Integrasi dengan Ilmu membuat siswa menemukan bahwa ayat dan hadis bukan teks yang menggantung di dinding, melainkan peta moral yang menuntun langkah. Saat fenomena kekurangan disiplin antri di kantin dihubungkan dengan perintah adil dan larangan zalim, siswa menangkap makna: agama memberi mengapa, bukan sekadar apa. Di sinilah Pembelajaran Mendalam menegaskan pentingnya lintas-olah: olah pikir (menafsir), olah hati (menghayati), olah rasa (empati pada sesama), dan olah raga (kesiapan bertindak). Guru dapat memperkaya dengan sumber belajar digital, infografik, dan kisah teladan agar pengalaman bermakna hadir bagi berbagai gaya belajar.

Logis-argumentatif: nalar yang tunduk pada dalil.

Tahap Nalar Islami memeriksa akar masalah, dampak, dan solusi sesuai syariat. Diskusi kelompok, mind map, atau tabel analisis “Masalah–Dalil–Nalar–Solusi” melatih siswa berpikir kritis sekaligus tertib metodologis. Mereka belajar menyusun argumen yang lurus: dalil dulu, data dan akal menegaskan, adab berdiskusi menjaga marwah. Inilah deep learning dalam wujud paling nyata—pemahaman yang bukan hanya tahu “benar” tetapi juga mengapa ia benar dan bagaimana mengamalkannya secara bijak.

Menggembirakan: ilmu yang berbuah aksi.

Tahap Tindak Nyata menjembatani kelas dan kehidupan. Proyek kecil—kampanye “Masjid Bersih, Hati Jernih”, gerakan antre tertib, sedekah Jumat, atau konten edukasi Islami—membuat pengetahuan berdenyut menjadi kebermanfaatan. Pengalaman ini merangkul kegembiraan: ada kreativitas, kolaborasi, dan rasa memiliki. Guru menghadirkan kemitraan: orang tua, takmir masjid, komunitas bank sampah, UMKM sekitar. Lingkungan belajar meluas dari ruang kelas ke ruang publik; siswa merasakan bahwa kebaikan itu menular.

Mendalam dan membekas: refleksi yang menumbuhkan.

Tahap Apresiasi & Refleksi menutup siklus dengan hangat. Kelas menjadi ruang saling menguatkan: tepuk tangan untuk upaya, masukan yang jujur, doa yang tulus. Refleksi membuat belajar menembus hati—siswa menulis apa yang mereka rasakan, makna yang mereka tangkap, dan langkah kecil berikutnya. Di titik ini, Pembelajaran Mendalam menandaskan pentingnya keseimbangan assessment: ada “as learning” (refleksi diri), “for learning” (umpan balik proses), dan “of learning” (penilaian hasil). Nilai bukan hanya angka, melainkan cerita pertumbuhan.

Pemetaan CINTA ke kerangka Pembelajaran Mendalam.

  • Cermati Fenomena Memahami (Berkesadaran). Siswa memulai dengan pengalaman langsung dan literasi konteks.
  • Integrasi dengan Ilmu Memahami (Bermakna). Realitas disinari dalil; konsep tumbuh dari kebutuhan, bukan dipaksakan.
  • Nalar Islami Pendalaman & Regulasi Diri. Analisis logis membangun kemandirian berpikir dan tanggung jawab argumentasi.
  • Tindak Nyata Mengaplikasi (Menggembirakan). Pengetahuan berubah menjadi karya; kolaborasi dengan ekosistem sosial.
  • Apresiasi & Refleksi Merefleksi (Berkesadaran & Bermakna). Pelajaran diikat menjadi komitmen karakter.

Mengapa CINTA efektif untuk PAI?

Pertama, CINTA selaras dengan hakikat pendidikan Islam: ilmu yang menghadirkan iman dan amal. Kedua, CINTA menyentuh seluruh diri siswa—kognitif, afektif, dan psikomotor—sehingga pembelajaran tidak dangkal. Ketiga, CINTA membangun budaya kelas yang sehat: saling percaya, menghargai proses, dan berani berbuat baik. Keempat, CINTA memberi struktur yang mudah diingat; guru dan siswa punya kompas yang sama dari awal sampai akhir. Kelima, CINTA adaptif: bisa dipadu dengan proyek, inkuiri, diskusi kasus, bahkan pembelajaran berbasis teknologi.

Contoh mini-skenario:

Topik “Kejujuran dalam Transaksi”. Siswa mencermati praktik jual-beli di kantin; mengintegrasikan temuan dengan QS. Al-Muthaffifin dan hadis tentang larangan menipu; menalar dampak kecurangan bagi kepercayaan sosial; bertindak dengan “Gerakan Timbang Jujur”—mengedukasi, menempel poster, dan membuat video singkat; lalu merefleksi apa yang berubah dalam diri dan lingkungan. Sederhana, kontekstual, tetapi kuat menanamkan akhlak.

Pada akhirnya, CINTA mengingatkan kita bahwa mendidik adalah menyalakan harapan. Pembelajaran Mendalam memberi jalan setapak yang kokoh; alur CINTA menabur bunga di sepanjang jalan itu—membuat setiap langkah terasa bermakna. Di sanalah ilmu tumbuh menjadi cahaya: menuntun siswa mencintai Allah dan Rasul-Nya, memuliakan ilmu, dan melayani sesama. Jika kita konsisten, kelas agama bukan lagi ruang diam—melainkan taman yang menggerakkan: mendalam, membekas, dan mengubah laku hidup.[pgn]

Nine Adien Maulana, Direktur PGN Institute – GPAI SMAN 2 Jombang

Posting Komentar

0 Komentar