![]() |
| Sumpah Pemuda mengajarkan kita satu hal mendasar: persatuan tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kesadaran akan tujuan bersama. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Baru saja saya mengikuti Upacara Peringatan Hari
Sumpah Pemuda di lapangan SMAN 2 Jombang. Bersama guru, karyawan, dan murid,
saya berdiri tegak menyanyikan “Indonesia Raya” dan “Satu
Nusa Satu Bangsa”. Namun,
setiap kali tanggal 28 Oktober tiba, saya selalu merasa terpanggil untuk
merenung lebih dalam: siapa sebenarnya para pemuda yang pada tahun 1928 itu
berhasil melahirkan Sumpah Pemuda—ikrar monumental yang menjadi fondasi
kebangsaan kita?
Rasa
penasaran itu membawa saya menelusuri jejak sejarah Kongres Pemuda II yang
diselenggarakan pada 27–28 Oktober 1928. Saya terperanjat ketika menyadari
bahwa mereka yang mengguncang sejarah itu memang pemuda-pemuda berusia sekitar
20–25 tahun. Ya, usia yang sama dengan banyak mahasiswa yang hari ini masih sibuk
dengan tugas kuliag,
skripsi, atau gawai di tangan.
Tokoh-tokoh
itu datang dari berbagai organisasi pemuda yang tumbuh di seluruh pelosok
Nusantara. Ada Soegondo Djojopoespito, pemuda 24 tahun
yang memimpin jalannya kongres dengan tenang dan bijak, membawa semangat persatuan
tanpa sekat kedaerahan. Ia berasal dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia
(PPPI), yang kala itu menjadi wadah para pelajar progresif dengan pandangan
nasional yang melampaui etnis dan bahasa.
Ada
pula Wage Rudolf Supratman, jurnalis sekaligus musisi yang
memperdengarkan lagu “Indonesia Raya” untuk pertama kalinya. Dalam alunan
biolanya, ia memadukan harapan dan keberanian, seolah menegaskan bahwa musik
bisa menjadi senjata perjuangan. Di sisi lain, Djoko Marsaid
dari Jong Java duduk sebagai wakil ketua, membawa semangat kejawaan yang
kemudian berkembang menjadi semangat keindonesiaan.
Saya
juga menemukan sosok Muhammad Yamin, pemuda Minangkabau yang
fasih berbicara dan lihai menulis. Ia baru berusia 25 tahun saat menggagas
konsep “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.” Di tengah-tengah dominasi
kolonial Belanda yang menanamkan benih perpecahan, Yamin berani menyuarakan ide
tentang kesatuan yang melampaui batas suku dan daerah.
Namun,
yang membuat saya semakin kagum adalah keberagaman mereka. Ada Amir
Sjarifuddin dan Johannes Leimena, dua pemuda Kristen
Protestan yang duduk sejajar dengan rekan-rekannya yang Muslim. Mereka datang
bukan untuk memperdebatkan agama, melainkan memperkuat persaudaraan kebangsaan.
Semangat mereka membuktikan bahwa perbedaan keyakinan bukan penghalang untuk
bersatu dalam cinta tanah air. Di sinilah Sumpah Pemuda menjadi cermin indah:
ia lahir dari sintesis nilai-nilai keagamaan yang berpadu dalam kesadaran
kebangsaan.
Selain
tokoh-tokoh itu, ada Sarmidi Mangunsarkoro yang memperjuangkan
hak pendidikan rakyat melalui Taman Siswa, serta Ki Hajar
Dewantara yang menjadi inspirator lewat pemikiran pendidikan
nasionalnya. Mereka adalah cendekiawan sekaligus pejuang yang memahami bahwa
kemerdekaan sejati harus berawal dari kebebasan berpikir.
Yang
lebih menarik lagi, sebagian besar para arsitek Sumpah Pemuda itu adalah
mahasiswa dan pelajar dari sekolah-sekolah bergengsi kolonial seperti STOVIA
(sekolah kedokteran), Rechtshoogeschool (sekolah hukum), dan AMS (setingkat
SMA). Pendidikan mereka memberi akses pada literatur Eropa yang membahas
ide-ide besar seperti nasionalisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Tetapi,
kehebatan mereka bukan karena meniru Barat, melainkan karena mampu
menyaringnya. Mereka tidak kehilangan akar budaya, justru mengawinkan semangat
modernisme global dengan nilai-nilai lokal.
Inilah
yang membuat mereka layak disebut sebagai generasi global thinker lokal—pemuda
yang berpikir mendunia namun berpijak pada bumi Indonesia. Mereka tidak alergi
terhadap ide-ide asing, tetapi bijak dalam mengolahnya menjadi gagasan yang
sesuai dengan realitas bangsa. Dari tangan mereka lahirlah ideologi
nasionalisme Indonesia yang inklusif, progresif, dan religius.
Ketika
saya memandang wajah-wajah murid yang berbaris di lapangan upacara, saya
bertanya dalam hati: di
mana Soegondo-Soegondo masa kini? Di mana Yamin-Yamin baru yang berani
berbicara lantang demi persatuan? Saya yakin, mereka sebenarnya
ada—tapi mungkin tertidur dalam kemanjaan zaman digital.
Pemuda
1928 tidak memiliki internet, tidak mengenal media sosial, bahkan harus
menempuh perjalanan berhari-hari untuk berkumpul di Batavia. Namun mereka mampu
menyatukan bangsa. Sementara itu, pemuda 2025 hidup dalam era serba terhubung,
di mana gagasan bisa menyebar secepat klik. Ironisnya, banyak di antara kita
justru terjebak dalam perpecahan digital: debat kusir di kolom komentar, hoaks
yang menebar benci, dan sikap apatis terhadap isu kebangsaan.
Padahal,
jika pemuda berusia dua puluhan pada 1928 mampu merumuskan arah bangsa, maka
pemuda 2025 dengan akses internet tak terbatas seharusnya mampu melakukan hal
yang lebih besar. Kita bisa menjadi penggerak inovasi sosial, pelopor pendidikan
digital, atau penjembatan antara globalisasi dan kearifan lokal.
Sumpah
Pemuda mengajarkan kita satu hal mendasar: persatuan tidak lahir dari
keseragaman, melainkan dari kesadaran akan tujuan bersama. Dulu
mereka bersumpah untuk satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Kini,
mungkin sudah saatnya kita menambah satu lagi: satu tekad untuk menjaga
Indonesia tetap waras di tengah derasnya arus globalisasi.
Saya
akhirnya melangkah
meninggalkan lapangan dengan dada penuh semangat. Suara “Indonesia Raya” masih
bergema di telinga, seolah menjadi panggilan zaman. Sumpah Pemuda bukan hanya
peristiwa masa lalu—ia adalah api yang harus terus saya nyalakan dalam diri,
dalam kelas, dan dalam kehidupan. Karena menjadi pemuda Indonesia berarti
berani berpikir besar, berbuat nyata, dan tetap setia pada cita-cita yang sama:
Indonesia
yang bersatu, berdaulat, dan bermartabat.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang
.jpg)
0 Komentar