Santri: Antara Kyai, Saudagar, dan Pendekar

Saya menyadari, tiga karakter santri—Kyai, Saudagar, Pendekar—bukan hanya warisan sejarah, melainkan kebutuhan zaman. Tidak semua santri bisa menjadi ketiganya sekaligus. Namun setidaknya, salah satu harus dimiliki agar keberadaan santri benar-benar memberi kontribusi nyata.

 

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Awal Oktober lalu, di depan SD Islam Roushon Fikr, saya kembali bertemu dengan Mas Inswiardi—sahabat lama sekaligus kawan diskusi kebudayaan yang akrab saya panggil Mas Iin. Kami berdua sama-sama sedang menunggu anak-anak pulang sekolah. Seperti biasa, pertemuan singkat itu tidak pernah berhenti pada basa-basi. Ada saja percakapan yang berkembang menjadi refleksi panjang.

Kali ini, Mas Iin membuka percakapan dengan kalimat yang sederhana namun sarat makna: “Bulan Oktober ini kan ada Hari Santri. Menurut njenengan, apa makna santri di zaman sekarang? Dan bagaimana kontribusi santri bagi bangsa ini?”

Pertanyaan itu langsung memantik pikiran saya. Sebab, bicara tentang santri bukan sekadar mengingat masa lalu atau tradisi pesantren, melainkan juga berbicara tentang masa depan bangsa. Saya pun menjawab spontan, bahwa ada tiga hal khas yang sejak dulu menjadi ciri utama santri: ada yang menjadi Kyai, ada yang menjadi Saudagar, dan ada yang menjadi Pendekar.

Santri yang Kyai

Saya jelaskan kepada Mas Iin, santri yang Kyai adalah mereka yang alim, ulul albab, dan kelak pantas menjadi penerus para guru dan ulama. Mereka ini menjaga kesinambungan ilmu, membimbing masyarakat, sekaligus memelihara tradisi intelektual Islam.

Di tengah derasnya arus informasi digital, peran santri yang Kyai menjadi semakin penting. Mereka bukan hanya membaca kitab kuning, tetapi juga harus memahami konteks zaman: isu teknologi, lingkungan, hingga persoalan sosial modern. Dengan begitu, santri tidak hanya hidup di menara gading, melainkan hadir sebagai penafsir zaman yang bijak.

Saya katakan kepada Mas Iin, “Kalau santri tidak lagi menjaga ilmu, siapa lagi yang akan menuntun masyarakat dengan hikmah?” Ia mengangguk, tanda setuju.

Santri yang Saudagar

Diskusi kami berlanjut. Saya menambahkan, bahwa santri juga bisa menjadi Saudagar: sosok yang kuat secara ekonomi, berjiwa pengusaha, dan mampu menggerakkan kesejahteraan umat.

Saya teringat bagaimana banyak pesantren dahulu bertahan bukan hanya dari sumbangan, melainkan dari kemandirian usaha para kiainya. Ada yang membuka toko, ada yang mengelola tanah, bahkan ada yang menjadi saudagar besar. Kekayaan itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menopang dakwah dan membangun masyarakat.

“Bayangkan kalau ribuan santri hari ini lulus lalu menjadi wirausahawan, Mas,” kata saya, “mereka bisa membuka lapangan kerja, membantu umat yang lemah, dan menjadikan ekonomi sebagai jalan dakwah. Itu akan jadi kekuatan luar biasa bagi bangsa.”

Mas Iin tersenyum, lalu menimpali, “Betul, santri tidak boleh hanya pandai berdoa, tapi juga harus berdaya secara ekonomi.”

Santri yang Pendekar

Pembicaraan kami semakin hangat. Saya kemudian menyinggung peran santri sebagai Pendekar. Pendekar bukan sekadar ahli bela diri dan ahli suwuk, tetapi sosok yang berani, tegas, dan kokoh secara spiritual.

Sejarah bangsa ini mencatat, banyak pejuang kemerdekaan adalah santri pendekar. Mereka turun ke medan perang, mengangkat bambu runcing, bahkan mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri.

Namun saya tekankan kepada Mas Iin, menjadi pendekar di era kini bisa dimaknai lebih luas. Pendekar adalah mereka yang berani melawan ketidakadilan, berani berkata benar di tengah tekanan, dan berani menjaga persatuan bangsa di tengah derasnya arus perpecahan.

“Pendekar itu bukan hanya otot, Mas,” kata saya, “tetapi juga hati yang teguh. Fisik kuat, jiwa kukuh, dan nyali besar untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Meskipun demikian, kemampuan kanuragan dan suwuk pun masih tetap relevan dan dibutuhkan.

Mas Iin menghela napas, lalu berkata lirih, “Itu memang tantangan terberat. Berani menjaga kebenaran meski sendirian.”

Refleksi Bersama

Percakapan kami di depan sekolah itu singkat, tapi sarat makna. Saya menyadari, tiga karakter santri—Kyai, Saudagar, Pendekar—bukan hanya warisan sejarah, melainkan kebutuhan zaman. Tidak semua santri bisa menjadi ketiganya sekaligus. Namun setidaknya, salah satu harus dimiliki agar keberadaan santri benar-benar memberi kontribusi nyata.

Santri yang Kyai menjaga ilmu.

Santri yang Saudagar menjaga kesejahteraan.

Santri yang Pendekar menjaga keberanian.

Tiga jalan ini, bila dijalani dengan ikhlas, akan menjadikan santri sebagai kekuatan yang utuh: penerang, penggerak, sekaligus penjaga bangsa.

Kini, Hari Santri yang akan kita peringati pada 22 Oktober 2025 seharusnya bukan sekadar seremoni, melainkan momentum untuk meneguhkan identitas. Identitas bahwa santri bukan hanya murid pesantren yang tekun mengaji, melainkan agen perubahan yang membawa cahaya, kesejahteraan, dan keberanian.

Percakapan saya dengan Mas Inswiardi sore itu menyisakan satu pesan: santri harus mampu menjawab tantangan zaman. Apakah ia memilih jalan sebagai Kyai, Saudagar, atau Pendekar, semua kembali pada takdir dan pilihan. Namun yang terpenting, santri tidak boleh berhenti pada romantisme masa lalu. Santri harus hadir di hari ini, untuk masa depan bangsa.[pgn]

Nine Adien Maulana, Santri Bumi Damai Al-Muhibbin 1992-1995 – Santri Kaliwates Angkatan 9 

Posting Komentar

0 Komentar