[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] – Baru saja, sebuah pesan masuk ke WhatsApp saya.
Seorang alumnus SMAN 2 Jombang yang sekarang
kuliah di jurusan Akuntansi UPN Veteran Jawa Timur bercerita: ia
mendapat tugas kampus membuat poster kampanye nilai-nilai agama. Posternya
diunggah, dan segera ada komentar yang menusuk sekaligus membingungkan: “Kalau
orang sudah shalat, tapi di waktu lain ia berbohong, apakah shalatnya masih
sah?” Ia gelisah, takut salah jawab, lalu meminta pendapat saya.
Pertanyaan dari alumnus aktivis RMMA SMAN 2 Jombang ini tampak sederhana, tetapi menyentuh
dua ranah sekaligus: fikih dan akhlak. Dalam bahasa singkat,
Islam mewajibkan shalat lima waktu atas siapa pun yang telah bersyahadat.
Shalat adalah ritus dengan ketentuan lahiriah yang jelas—mula dengan takbiratul
ihram, berakhir dengan salam, dilakukan pada waktunya, disertai syarat dan rukun
tertentu. Selama syarat dan rukunnya terpenuhi—wudu, menutup aurat, menghadap
kiblat, niat, bacaan dan gerakan rukun—shalatnya sah. Sah di sini
artinya valid secara fikih.
Lalu bagaimana dengan kebohongan atau
kemaksiatan di luar shalat? Dosa tetap dosa. Bohong adalah salah.
Korupsi adalah salah. Zalim adalah salah. Namun kesalahan itu tidak otomatis
membatalkan sahnya shalat yang dikerjakan sesuai ketentuan. Jadi, jawaban
ringkas kepada warganet tadi: “Jika syarat dan rukun shalatnya terpenuhi,
shalatnya sah. Tetapi berdosa tetap berdosa, dan kebohongan itu harus
ditinggalkan.”
Mengapa demikian? Karena tuntutan
shalat tidak gugur hanya karena perilaku seseorang belum ideal. Seorang muslim
yang masih fasik tetap wajib shalat. Bahkan, meninggalkan shalat menambah
keburukan. Sebaliknya, dengan tetap shalat, peluang perbaikan diri terbuka
lebih luas. Rasulullah SAW memberi perumpamaan indah: lima waktu shalat
bagaikan mandi di sungai bening lima kali sehari—kotoran akan terus tersapu.
Ini bukan pembenaran untuk bersikap santai terhadap dosa, melainkan ajakan
untuk tidak memutus tali dengan Allah; justru lewat shalat itulah hati
dilunakkan, nurani diingatkan, dan langkah diarahkan kembali.
Al-Qur’an mengajari kita bahwa “shalat
mencegah perbuatan keji dan mungkar” (QS. Al-‘Ankabut: 45). Tentu, mencegah
bukan berarti seketika menyulap manusia menjadi sempurna. Ada orang yang baru
mulai belajar shalat; ada yang ritmenya masih naik-turun; ada yang hafalan dan
kekhusyukannya terbatas. Tetapi, minimal, pada saat ia berdiri menghadap Tuhan,
lisannya berdzikir, tubuhnya ruku’ sujud—nafsu yang liar diberi jeda.
Sedikit demi sedikit, kebiasaan baik menembus kebiasaan buruk.
Para ulama juga mengingatkan dimensi
batin shalat. Shalat paling bermanfaat bagi mereka yang menegakkannya dengan
ikhlas dan khusyuk; ia meninggalkan bekas dalam perilaku. Jika ada yang shalat
namun tetap tergelincir, jangan dihina shalatnya—perkuat shalatnya.
Naikkan kualitasnya: tepat waktu, berjamaah jika mampu, jaga wudu, pahami makna
bacaan, dan jembatani shalat dengan amal keseharian—mulai dari jujur dalam
kata, amanah dalam tugas, santun dalam sikap.
Di titik ini, ada kekeliruan narasi
yang sering beredar: “Buat apa shalat kalau masih berdusta?” Logika itu
terbalik. Seharusnya: “Karena aku masih sering khilaf, maka aku makin butuh
shalat.” Shalat adalah mesin pembersih yang terus berputar. Tanpa
mesin itu, noda mengering dan menebal. Dengan mesin itu, ada siklus pembersihan
yang, dengan izin Allah, meluruhkan titik-titik hitam di hati.
Bagaimana menjawab komentar warganet
dengan elegan dan persuasif? Saya sarankan tiga langkah:
- Luruskan
konsep “sah” vs “baik/diterima”. Katakan: “Secara fikih, shalat
sah jika syarat dan rukun dipenuhi. Namun kualitas dan dampaknya diukur
dari keikhlasan dan ketaatan setelahnya.” Ini membantu orang membedakan
ranah hukum lahiriah dan ranah penghayatan batin.
- Tekankan
kesinambungan perbaikan. Tulis: “Shalat bukan karpet merah
untuk menutupi dusta, tapi alarm yang membangunkan nurani agar berhenti
berdusta.” Dorong pembaca untuk menjadikan shalat sebagai energi
perubahan, bukan sekadar rutinitas.
- Berikan
langkah praktis sinkronisasi ibadah–akhlak.
Misalnya: jaga wudu lebih lama agar ingatan pada Allah melekat; biasakan
dzikir singkat sebelum mengetik pesan atau berbicara agar lidah terjaga;
buat “ikrar jujur” harian: satu kalimat komitmen setelah salam; evaluasi
malam—tandai momen berhasil jujur, akui jika tergelincir, lalu rencanakan
perbaikan esok.
Kepada sang alumnus, saya bilang:
jawaban yang ramah akan lebih didengar. Hindari nada menghakimi, gunakan bahasa
sederhana, sertakan dalil secukupnya, dan akhiri dengan ajakan penuh harap:
“Mari sama-sama memperbaiki diri.” Tujuannya bukan menang debat, melainkan menangkap
hati—sebab hati yang tersentuh lebih mudah bergerak menuju kebaikan.
Pada akhirnya, shalat adalah undangan
harian dari Tuhan kepada hamba-Nya. Siapa pun kita—yang sedang tegak maupun
tertatih—tetap dipanggil. Maka jangan pernah memadamkan lampu di mushalla hati
hanya karena ruangan lain di hidup kita masih berantakan. Nyalakan dulu
lampunya, rapikan sedikit demi sedikit, dan percayalah: shalat tetap sah,
dosa tetap salah, dan dari shalatlah kita menemukan jalan pulang.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2
Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang
0 Komentar