![]() |
| Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. |
[Jombang, Pak Guru NINE] – Siang ini, di grup keluarga, adik saya, Nia Erva Zuhriyah membagikan sebuah tautan TikTok. Saya klik sambil lalu,
tapi tak lama air mata justru menetes. Ternyata itu pidato mauidhoh hasanah KH.
Muhammad Afifuddin Dimyathi pada Haflah Akhirussanah 2024/2025 MIN 4 Jombang,
dalam lingkungan Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan. Untaian nasihat
beliau rasanya seperti mengetuk pintu dada yang selama ini rapat—sesak, tapi
sekaligus memunculkan cahaya: ada arah bagi orang tua yang sedang berjuang.
Beliau
mengingatkan, Al-Qur’an menyebut anak dalam tiga wajah: bisa menjadi musuh,
bisa menjadi fitnah (ujian), dan bisa menjadi pelipur lara. Bukan untuk
menakut-nakuti, tapi untuk menempatkan harapan pada rel yang benar. Allah tak
hanya menunjukkan risiko, tapi juga menyiapkan jalannya. Tugas kita bukan
memilih wajah anak mana yang “datang”, melainkan mengikuti petunjuk agar wajah
terbaiklah yang tumbuh di rumah kita.
Pertama,
anak sebagai “musuh” (QS. At-Taghābun: 14). Kata “musuh” bukan berarti kita
memerangi darah daging sendiri, melainkan mewaspadai kecenderungan yang bisa
menyeret kita—ego, tuntutan, atau kemanjaan—hingga menjauh dari ketaatan. Jalan
keluarnya? Beliau menekankan tiga: memaafkan, melapangkan dada, dan menutup aib
sambil memintakan ampun. Kisah Nabi Ya‘qub (QS. Yūsuf: 97–98) menjadi teladan:
beliau tak mengumbar kemarahan, melainkan menghadap Allah di malam hari.
Tahajud bukan sekadar ritus; ia adalah ruang aman bagi orang tua untuk
membersihkan luka, menambatkan harap, dan menitipkan masa depan anak.
Dari
istighfar Nabi Ya‘qub as., kita belajar bahwa memaafkan bukan berarti merelakan
kesalahan berulang; memaafkan adalah memilih “modus perbaikan”—mengganti reaksi
spontan (menghukum, memaki) dengan rencana pembinaan. Saat kita memintakan
ampunan untuk anak, kita sekaligus menundukkan diri: mengakui bahwa membesarkan
manusia tak bisa hanya mengandalkan strategi, perlu rahmat. Menariknya, hasil
dari jalan ini bukan sekadar damai di hati; Al-Qur’an mengisyaratkan lahirnya keturunan
saleh (al-asbāth)—sebuah simbol bahwa pengasuhan yang bertumpu pada ampunan
membuka pintu keberlanjutan kebaikan.
Kedua,
anak sebagai fitnah/ujian (QS. At-Taghābun: 15–16). Ujian bisa berupa ambisi
orang tua yang menyaru cinta: ingin anak seperti katalog impian kita. Atau
sebaliknya, rasa takut yang membuat kita menahan mereka dari kebaikan. Resepnya
jelas: bertakwa semampunya, mendengar seruan kebaikan lalu menaati, dan
berinfak. Taqwa menjaga arah, ketaatan menjaga disiplin, infak mengalirkan keberkahan.
Tiga pilar ini mengimbangi kecenderungan “memiliki”: kita tak lagi menjadikan
anak sebagai proyek gengsi, melainkan amanah yang diurus dengan tanggung jawab,
kejujuran, dan kelapangan.
Mengapa
infak disorot? Karena infak adalah latihan melepas. Banyak pertengkaran di
rumah lahir dari “kikir”—bukan hanya soal uang, tetapi juga kikir waktu,
perhatian, dan pengakuan. Ketika orang tua belajar memberi, anak belajar merasa
cukup. Kecukupan inilah yang menumbuhkan akhlak: anak yang merasa dicukupi
tidak mencari kompensasi berlebihan di luar rumah. Maka infak menjadi wasilah
kesalehan: ia membersihkan hati orang tua, sekaligus menyuburkan tanah tempat
karakter anak bertunas.
Ketiga,
anak sebagai pelipur lara (QS. Al-Furqān: 74–75). “Penyejuk mata” bukan hadiah
instan; ia buah dari doa yang tekun dan sabar yang panjang. KH. Afifuddin
menggarisbawahi doa ayah—tanpa mengecilkan doa ibu—sebagai kekuatan khusus
dalam membentuk arah anak. Ini bukan kompetisi peran, melainkan ajakan untuk
menyalakan obor doa di kedua tangan: ibu dan ayah. Bila ibu sering paling rajin
mendoakan, sudah saatnya ayah berdiri di shaf terdepan: menyebut nama anak satu
per satu, mengamini masa depan mereka dengan yakin.
Sabar
yang dimaksud bukan pasrah yang pasif. Sabar adalah seni mengulang yang benar:
mengulang menasihati tanpa merendahkan, mengulang memberi contoh meski tak
disorot, mengulang doa walau belum tampak hasilnya. Dalam pengasuhan, keajaiban
jarang meletup seperti kembang api; ia tumbuh seperti fajar—pelan, tapi pasti.
Kita butuh mata yang tahan menunggu cahaya.
Lalu,
apa yang bisa kita lakukan hari ini? Maafkan anak sebelum tidur, lalu sebutkan
nama mereka di sepertiga malam. Besok paginya, dengarkan nasihat yang baik—dari
guru, dari Al-Qur’an, dari pengalaman—lalu taati dengan tindakan: kurangi
bentakan, tambah pelukan. Sisihkan harta, waktu, dan perhatian sebagai “infak
keluarga”. Tuliskan doa singkat, tempel di pintu kulkas, dan bacakan bersama.
Kecil? Justru di sanalah kekuatan: kebaikan itu bertambah melalui kebiasaan.
Menutup
gawai usai menonton nasihat KH. Afifuddin, dada saya masih hangat. Saya
teringat bahwa orang tua bukan pemahat yang mengukir batu, melainkan tukang
kebun yang merawat kehidupan. Tugas kita menyediakan cahaya, air, dan pagar;
tumbuhnya tetap urusan Allah. Tiga wajah anak bisa datang berganti-ganti di
rumah kita, tetapi tiga jalan pulang selalu terbuka: memaafkan sambil
memintakan ampun, bertakwa—taat—berinfak, dan berdoa dengan sabar. Di sanalah,
pelipur lara pelan-pelan bersemi. [pgn]
Nine Adien Maulana, ayah yang selalu mengupayakan kebaikan bagi anak-anaknya (Caraka
Shankara, Taliya Kayana dan Wacana Bawana).

0 Komentar