[Pacarpeluk, Pak Guru NINE] - Setiap tanggal 25 November,
bangsa ini kembali menengok cermin untuk melihat siapa sesungguhnya yang selama
ini menjaga cahaya masa depannya. Peringatan Hari Guru Nasional 2025 datang
membawa tema yang amat kuat: “Guru Hebat,
Indonesia Kuat.” Tema ini bukan sekadar slogan seremonial,
melainkan penegasan bahwa ketahanan sebuah bangsa tidak dibangun oleh baja,
beton, atau teknologi semata, tetapi terutama oleh kualitas manusia yang
dibentuk setiap hari oleh guru. Di tangan gurulah lahir generasi yang
berkarakter, cerdas, dan mampu bertahan dalam derasnya perubahan zaman.
Namun realitas tidak selalu seindah harapan. Di
tengah apresiasi simbolik dan pujian retoris kepada guru, masih banyak pendidik
yang berdiri dalam posisi rapuh, rentan, dan tidak sepenuhnya terlindungi oleh
sistem yang seharusnya menjaga mereka. Ironi besar itu tampak jelas pada
berbagai kasus hukum yang menjerat guru ketika mereka menjalankan tugas atau
mengambil inisiatif demi keberlangsungan pembelajaran. Kita merayakan “guru
hebat”, tetapi sering lupa memastikan apakah negara benar-benar melindungi
mereka saat menghadapi risiko pekerjaan.
Tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat” sejatinya memuat
dua hal sekaligus: harapan besar sekaligus tuntutan serius. Guru hebat adalah
mereka yang terus belajar, berintegritas, inovatif, dan mampu menggerakkan
perubahan. Di era kecerdasan buatan seperti tahun 2025 ini, guru hebat mampu
bekerja berdampingan dengan teknologi—menggunakan AI sebagai alat bantu
pembelajaran, tetapi tetap menjadi penjaga nilai-nilai manusiawi yang tidak
bisa digantikan mesin. Guru hebat membentuk generasi yang bukan hanya menguasai
pengetahuan, tetapi juga memiliki karakter, empati, disiplin, dan komitmen kebangsaan.
Namun bagaimana mungkin kita berharap guru menjadi
hebat jika perlindungan profesi mereka masih lemah? Apakah pantas sebuah bangsa
berharap guru menjadi benteng peradaban, sementara mereka sendiri berdiri tanpa
tameng yang cukup?
Kasus Rasnal dan Abdul Muis Muharram dari SMAN 1
Luwu Utara menjadi contoh nyata yang mencolok. Demi menutupi kekurangan guru
honorer, mereka mengelola iuran Rp20.000 per siswa—sebuah praktik yang selama
bertahun-tahun lazim terjadi di banyak sekolah tanpa tujuan buruk, semata-mata
agar kegiatan belajar tidak terganggu. Pengadilan Tipikor Makassar awalnya
menyatakan perbuatan mereka bukan tindak pidana. Namun Mahkamah Agung kemudian
memvonis keduanya satu tahun penjara dan denda Rp50 juta. Bila tidak ada
Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2025 yang memberikan rehabilitasi, nama baik
mereka bisa terkubur dan karier mereka tamat.
Di titik inilah ironi mencuat: guru menjalankan
tugas untuk menyelamatkan proses belajar, tetapi sistem justru menganggap
mereka bersalah. Bukankah ini sinyal bahwa perlindungan profesi guru harus
diperbaiki secara serius?
Padahal regulasi yang mengatur perlindungan guru
di Indonesia sebenarnya sangat lengkap. UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, PP
tentang Guru, hingga Permendikbud No. 10 Tahun 2017 semuanya menegaskan bahwa
guru berhak memperoleh perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan
dari intimidasi, kekerasan, ancaman, serta pendampingan ketika menghadapi
masalah terkait tugasnya. Aturan-aturan itu mengamanatkan bahwa guru tidak
boleh dibiarkan berjalan sendirian ketika menghadapi persoalan hukum.
Pemerintah, sekolah, masyarakat, dan organisasi profesi sejatinya wajib hadir
memberi bantuan.
Namun mengapa dalam praktiknya tidak demikian?
Mengapa perlindungan itu sering terasa hanya sebagai teks di atas kertas?
Mengapa pendidik seperti Rasnal dan Abdul Muis harus melewati proses panjang,
melelahkan, dan merusak reputasi sebelum akhirnya mendapat rehabilitasi di
penghujung kisah? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya relevan, tetapi
mendesak untuk dijawab.
Jika bangsa ini sungguh ingin mewujudkan Indonesia
yang kuat melalui guru yang hebat, maka perlindungan terhadap guru harus
bersifat nyata, bukan hanya normatif. Guru memerlukan pendampingan hukum sejak
muncul gejala masalah, bukan setelah mereka menjadi terdakwa. Organisasi
profesi harus menjadi benteng advokasi yang kukuh, bukan sekadar wadah
administratif. Sistem manajemen keuangan sekolah harus memberikan jalur legal
yang jelas agar inisiatif pendidik tidak tergelincir menjadi persoalan hukum.
Guru juga membutuhkan literasi hukum dasar agar tidak terjebak dalam risiko
administratif yang belum mereka pahami.
Tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat” harus
diterjemahkan menjadi langkah-langkah konkret yang memastikan guru merasa aman
dan dihargai dalam menjalankan tugasnya. Guru tidak boleh lagi disalahkan
ketika menegakkan tata tertib, ketika mengatur kelas, ketika menjaga
keselamatan siswa, atau ketika mengambil keputusan untuk menjamin
keberlangsungan pembelajaran. Tanpa perlindungan yang kokoh, guru akan selalu
berada dalam posisi serba takut, serba salah, dan serba was-was. Dan guru yang
takut bukanlah guru yang hebat.
Hari Guru Nasional 2025 merupakan saat yang tepat
bagi seluruh komponen bangsa untuk melakukan refleksi dan koreksi. Apresiasi
kepada guru semestinya tidak berhenti pada ucapan terima kasih, tetapi
diwujudkan melalui kebijakan, perlindungan, dan dukungan nyata. Guru adalah
pilar yang menopang peradaban. Ketika pilar itu retak, seluruh bangunan bangsa
ikut goyah.
Kita perlu memastikan bahwa guru benar-benar
dihormati, diperlakukan adil, dan dilindungi dari kriminalisasi yang tidak
perlu. Hanya dengan itu kita dapat berharap lahirnya guru-guru hebat yang mampu
membangun anak-anak bangsa menjadi generasi kuat.
Pada
akhirnya, sebuah bangsa hanya akan sekuat pendidiknya. Indonesia hanya akan
benar-benar kuat ketika gurunya berdiri tegak—bukan karena keberanian mereka
semata, tetapi karena negara, masyarakat, dan sistem berdiri bersama mereka.
Karena sesungguhnya, di tangan
gurulah masa depan Indonesia dipertaruhkan.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Wakil Sekretaris DPW AGPAII Jawa Timur

0 Komentar