![]() |
Pak Guru Nine menerima setoran bacaan al-Quran dari murid-muridnya di kelas XI IPS 1. |
[Jombang, Pak Guru NINE]
Salah satu kegiatan penting
dalam pembelajaran adalah penilaian. Sayangnya, dalam praktiknya proses
penilaian hasil pembelajaran masih belum banyak berubah daripada sebelumnya.
Penilaian hasil belajar masih menekankan pada aspek kognitif. Padahal, dalam Standar
Isi setiap matapelajaran pasti ada materi tertentu yang merepresentasikan ranah
afektif dan psikomotor. Dengan demikian, penekanan penilaian pada aspek
kognitif saja sama halnya dengan pengabaikan kompetensi dasar lain yang
dituntut.
Karena penilaian hasil belajar
ditekankan pada aspek kognitif, maka dapat dipastikan bahwa tes menjadi cara
penilaian yang dominan dilakukan oleh guru, padahal tidak semua Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) cocok dilakukan penilaian dengan teknik
berupa tes. Beragam strategi pembelajaran dan berbagai media yang digunakan
guru menjadi kurang bermakna, jika penilaian akhir untuk semua SK dan KD
dilakukan dengan menggunakan tes tulis sebagai satu-satunya alat penilaian.
Sebenarnya ada banyak ragam
tes, yakni tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja. Tes
tertulis adalah tes yang menuntut peserta tes memberi jawaban secara tertulis
berupa pilihan dan atau isian. Tes lisan adalah tes yang dilaksanakan melalui
komunikasi langsung (tatap muka) antara peserta didik dengan pendidik.
Pertanyaan dan jawaban diberikan secara lisan. Tes praktik (kinerja) adalah tes
yang meminta peserta didik melakukan perbuatan/mendemonstasikan/ menampilkan
keterampilan.
Tes tertulis sangat dominan
digunakan. Ulangan Ahir Semester, Ulangan Kenaikan Kelas, Ujian Sekolah dan
Ujian Nasional dilaksanakan dengan menggunakan tes tertulis. Mengapa demikian?
Jawabnya sangat simpel, yakni karena mudah dilaksanakan, mudah pengoreksian dan
cepat dalam pelaksanaan. Selain itu pelaksanaan tes tertulis memungkinkan
banyak pihak yang dapat menghasilkan keuntungan finansial, misal pembuatan
soal, penggandaan soal, pengawasan pelaksanaan tes tulis, pengoreksian,
penulisan nilai rapor atau ijazah dan lain-lain.
Penilaian hasil belajar
seharusnya mengakomodir aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara
proporsional dengan tetap mengacu pada kompetensi yang dituntut, sehingga tidak
ada satu pun kompetensi yang terlewatkan dalam proses penilaian. Oleh karena
itu, teknik penilaian yang dilakukan tidak boleh dipaksakan berupa tes tulis
untuk semua kompetensi yang dituntut. Nilai yang diperoleh dari hasil tulis
harus dilengkapi dengan nilai portofolio; bisa melalui observasi, penugasan,
inventori, jurnal, penilaian diri, atau penilaian antarteman yang disesuaikan
dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.
Dominasi tes tulis dalam
penilaian hasil belajar harus segera didekonstruksi agar tidak menjadi status
quo bagi setiap guru. Dominasi ini disebabkan oleh kesulitan,
keengganan atau bahkan ketidakmampuan guru melakukan penilaian dengan
selain tes, khususnya tes tulis. Guru terlalu nyaman dengan aspek kognitif
dalam pembelajaran dan penilaian, sehingga mengabaikan aspek afektif dan
psikomotorik.
Kesulitan terbesar berikutnya
yang dialami guru adalah penilaian aspek affektif baik pada instrumennya,
teknik pelaksanaannya maupun program tindaklanjutnya dan lain-lain. Akibatnya
tidak ada keseriusan guru dalam melakukan pembelajaran dan penilaian aspek affektif
baik secara administratif maupun obyektif. Subyektifitas guru menjadi sangat
dominan dalam melakukan penilaian ini. Pembelajarannya menjadi asal-asalan,
hingga akhirnya, penilaian dilakukan atas dasar perkiraan dan kepantasan serta
ingatan guru atas rekam jejak peserta didik.
Pemberlakuan Kurikulum 2013
seharusnya menjadi momentum bagi pemangku kepentingan pendidikan untuk melatih
para guru dalam mengembangkan kecakapan dalam pembelajaran dan penilaian aspek
affektif secara simultan. Jika hal ini tidak mendapat perhatian yang lebih dari
pemerintah, maka dominasi tes tulis tidak akan berubah. Apapun SD-KDnya, teknik
penilaiannya adalah tes. Jika demikian, tentu sangat ironi.
Selama ini tes telah
menjadi mindset guru ketika kata penilaian disebut. Oleh karena
itu pemerintah berkewajiban memfasilitasi perubahan mindset guru
dalam hal penilaian hasil belajar melalui berbagai workshop dan pelatihan,
sehingga kapabilitas dan obyektifitas guru dapat dipertanggungjawabkan saat
pemberian nilai aspek kognitif, affektif dan psikomotorik secara terpadu.
Hal ini sangat mungkin
dilakukan, karena setiap diberlakukannya kurikulum baru selalu ini sertai
anggaran dana yang sangat besar untuk proyek-proyek sosialisasi dalam berbagai
bentuk kegiatan kepada para guru. Terlepas adanya motif pragmatis penyerapan
anggaran, melalui kegiatan-kegiatan tersebut kecakapan guru dalam pembelajaran
dan penilaian selain aspek kognitif akan mengalami pembaharuan dan peningkatan;
sebagaimana telah banyak berubahnya teknik pembelajaran sekarang ini setelah
Pemerintah dengan gencar melakukan sosialisasi pembelajaran yang menyenangkan
dan pemanfaatan TIK.
Selain itu, guru juga perlu
dibekali kecakapan mengolah nilai hasil berbagai teknik penilaian sehingga
nilai yang diperoleh oleh peserta didik benar-benar merepresentasikan
kompetensi yang dituntut. Nilai hasil belajar peserta didik tidak lagi
semata-mata didasarkan pada tes tulis, namun dipadu dengan nilai-nilai hasil
teknik penilaian yang lain. Adanya banyak nilai ini menuntut adanya teknik memformulasikannya
dan menuliskannya; apakah dengan memunculkan satu nilai akumulasi dari aspek
kognitif, affektif dan psikomotorik; ataukah dengan memunculkan tiga nilai yang
terdiri dari ketiga aspek itu secara mandiri.
Jika upaya dekonstruksi
dominasi tes tulis ini dilakukan dengan serius, niscaya berbuah rekonstruksi
cara pandang guru terhadap penilaian hasil belajar. Guru akan memiliki banyak
teknik penilaian hasil belajar, sehingga nilai angka atau kriteria yang
terdapat dalam rapor atau yang menyertai ijazah peserta didik benar-benar
merepresentasikan kompetensi yang dikuasainya. Inilah nilai yang bermakna,
bukan sekadar tulisan. [pgn]
0 Komentar