Masa Belajar di Tambakberas

 

Wajah Pak Guru NINE saat kelas 3 MTsN Tambakberas Jombang


[Pacarpeluk, Pak Guru NINE]

Setelah lulus SD Negeri Pacarpeluk 2, saya dengan mantap memutuskan untuk mondok di Tambakberas. Semangat ini menyala karena tersulut oleh cak Yusuf Hidayat, putra Pakdhe H. Masbuchin yang telah lebih dulu mondok di Tambakberas dan neng Ririn yang juga mondok di Denanyar. Karena cak Yusuf Hidayat mondok di Al-Muhibbin yang diasuh oleh KH. Djamaluddin Achmad dalam naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, maka saya pun ikut mondok di sana.

Meskipun mondok adalah pilihan saya sendiri, namun tetap saja perasaan sedih saat ditinggal dan berjauhan dengan orang tua tetap saya rasakan. Pada masa-masa awal mondok, saya juga pernah menangis. Perasaan ingin pulang tetap saja menggelayuti pikiran saya saat itu.

Saat kangen dengan orang tua, saya sering nongkrong di depan pintu masuk MTsN Tambakberas yang masih di bangunan lama yakni di pinggir jalan raya KH. Abdul Wahhab Hasbullah. Saya menunggu Bapak yang tiap hari lewat jalan itu saat berangkat menuju tempat kerja di Bengkel Candra Buana Jombang. Saat saya bisa melihat Bapak dengan sekelebat, maka hal itu sudah sangat menyenangkan saya sebagai pelipur kangen.  

Selama masa mondok itu saya juga belajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Tambakberas. Lama mondok saya di Tambakberas adalah 3 (tiga) tahun, karena setelah lulus MTsN Tambakberas saya memutuskan untuk boyong dari pondok dan melanjutkan belajar tempat lain.

Meskipun saya hanya sebentar mondok di Tambakberas, namun hal ini telah mengukir dalam catatan sejarah kehidupan saya yang tidak dapat diabaikan atau bahkan dihilangkan. Masa mondok inilah saya mengalami akselerasi pembelajaran yang luar biasa. Pagi sampai siang, saya belajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Tambakberas mengikuti kurikulum Nasional dan Lokal kepesantrenan. Selesai itu saya pulang ke pondok dan dibimbing secara intensif oleh cak Yusuf Hidayat dalam belajar ilmu alat dan perangkat ilmu keislaman khas pesantren. Tiap hari saya ditugasi untuk menghafalkan bait-bait nadham al-‘Imrithy minimal 1 (satu) baris. Sore harinya saya setoran hafalan kepada cak Yusuf Hidayat. Beliau juga mengajarkan ilmu Nahwu kepada saya dengan memakai kitab al-Jurumiyyah untuk menguatkan kandungan makna bait-bait nadham al-‘Imrithy yang saya hafalkan.

Saya juga ditugasi cak Yusuf Hidayat untuk menghafalkan kitab al-amtsilah at-Tashrifiyah untuk memudahkan belajar ilmu Sharaf. Dalam sehari saya menghafalkan minimal 1 (satu) baris wazan tashrifiyyah itu. Walapun terkadang saya capek dan sulit dalam menghafalkannya, namun akhirnya sayanya bisa menghafalkan pokok kandungan isi kitab tipis itu.

Dengan belajar intensif itu saya mampu memahami gramatika bahasa Arab dengan lebih mudah, sehingga lebih cepat mampu membaca kitab kuning yang gundulan (tanpa harakat) itu.  Meskipun kemampuan itu belum maksimal, namun hal itu sudah sangat maju bagi santri yang masih baru mondok. Terus terang hal ini tidak bisa lepaskan dari jasa cak Yusuf Hidayat yang telah ngopeni saya selama belajar di kompleks Al-Muhibbin Pondok Pesanten Bahrul Ulum Tambakberas.

Dengan modal kemampuan yang pas-pasan itu, saya pernah menjuarai lomba baca kitab Fathul Qarib yang diselenggarakan oleh OSIS MTsN Tambakberas Jombang saat event Class Matching. Saya mengakui bahwa prestasi akademik, khususnya dalam ilmu-ilmu kepesantrenan, yang telah diraih selama masa modok ini tidak bisa dilepaskan dari peran cak Yusuf Hidayat yang telah membimbing dengan telaten.

Pergaulan dengan sesama santri selama mondok dulu memang sangat terbuka. Santri senior dicampur dengan santri baru. Akibatnya santri baru pun banyak meniru santri senior. Salah satunya adalah kebiasaan merokok. Dulu banyak sekali santri-santri yang masih kecil sudah merokok. Karena banyak yang merokok, maka kamar pondok menjadi sangat pengap dengan asap roko adalah hal yang sangat biasa. Meskipun tinggal bersama teman-teman santri yang banyak merokok, namun saya idak terpengaruh ikut-ikutan merokok.

Salah satu kenangan di pondok yang khas adalah memasak. Saya pernah gabung iuran dengan teman-teman yang masak. Kami masak bersama-sama dan makan bersama-sama di sebuah nampan (lengser). Setelah itu kami minum air kran yang diwadahi panci yang ada intep nasinya. Memang itu air mentah. Tapi sepertinya kok belum pernah ada santri yang sakit perut setelah minum air intep ini.

Gabung masak ini tidak berlangsung lama, karena setelah saya hitung-hitung, hal itu lebih boros dan menyita waktu. Oleh karena itu saya, akhirnya ngekos makan di warung belakang pondok. Ini lebih praktis dan efisien waktu.      

Tiga tahun mondok di Tambakberas lebih banyak diwarnai dengan proses belajar yang sangat intensif, sehingga saya kurang banyak bergaul dengan sesama santri atau teman di madrasah. Maklum saat itu saya masih sangat lugu, yang hanya berfikir belajar dan belajar. Akibatnya, memori saya tentang pergaulan antar teman selama belajar di Tambakberas kurang begitu membekas. Saya tidak banyak kenal dengan teman-teman, namun dikenal oleh banyak orang. Akhirnya, inilah yang membuat saya dianggap sebagai pribadi yang jaim dan rada sombong.

Mengapa banyak orang mengenal saya saat itu? Jawabnya adalah karena prestasi yang telah diraih. Selain itu, selama di pondok saya dikenal sebagai santri yang rajin dan kutu buku. Puncaknya, di akhir masa belajar di MTsN Tambakberas, saya terpilih sebagai ketua Panitia Muwadda’ah tahun 1995. Ini adalah kepanitiaan perpisahan dan pelepasan kelas III MTsN Tambakberas yang berskala besar karena banyak memobilisasi murid-murid baik yang putra maupun yang putri.

Belajar di MTsN Tambakberas memang dipisahkan antara murid laki-laki dan perempuan. Pagi sampai siang murid laki-laki masuk. Siang sampai sore ganti murid perempuan yang masuk. Mereka sangat jarang bertemu dalam satu forum, meskipun belajar di madrasah yang sama. Perkenalan diantara kami biasanya dilakukan dengan cara surat-suratan yang ditinggalkan di laci meja bangku belajar. Kebahagian kami saat itu adalah saat menerima dan membaca surat balasan yang dikirimkan oleh teman sebangku itu.

Proses persiapan acara Muwadda’ah 1995 bagi kami saat itu sangat menyenangkan, karena kami bisa lebih sering bertemu dengan teman lawan jenis. Apalagi ada dua kepanitiaan,  yaitu panitia putra dan putri. Inilah momentum saling melirik teman-teman yang cakep. Saat itu saya diamanahi sebagai ketua panitia putra, sedangkan ketua panitia putri dijabat oleh Rizky Amaliah yang berasal dari Sidoarjo.

Bagi saya, acara seremonial Muwadda’ah 1995 menjadi puncak kegiatan selama 3 (tiga) tahun belajar di  MTsN Tambakberas. Setelah itu saya melangkahkan kaki melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Banyak teman-teman saya yang masih tetap belajar madrasah-madrasah di lingkungan Pondok Pesatren Bahrul Ulum Tambakberas. Ada yang masuk Madrasah Aliyah Negeri, Madrasah I’dadiyah (Sekolah Persiapan), Madrasah Muallimin Muallimat Atas dan lain-lain.

Saya memilih melanjutkan studi di luar lingkungan Pondok Pesatren Bahrul Ulum Tambakberas. Dengan modal nilai akademik yang relatif bagus, saya akhirnya mendaftarkan diri di SMA Negeri 2 Jombang dan akhirnya diterima di sana. Namun, saya tidak jadi meneruskan belajar di sana, karena saya juga diterima di Madrasah Aliyah Program Khusus / Madrasah Aliyah Keagamaan di Jember.  Saya akhirnya memilih melanjutkan studi di kota Jember itu.

Orang yang menyeponsori saya mendaftar dan akhirnya diterima di Madrasah yang dulu dipercaya Menteri Agama Munawir Syadzili mengemban misi mencetak ulama yang intelek dan intelek yang ulama adalah KH. Achmad Hasan. Beliaulah yang mendaftarkan kami dan mengantarkan kami mengikuti tes di Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur yang ditempatkan Balai Ketintang Surabaya.

Ada 4 (empat) murid yang berminat melanjutkan studi disana, karena telah memenuhi syarat administratif yakni termasuk 10 (sepuluh) siswa lulusan terbaik. Mereka adalah saya sendiri, Muhammad Hibbi Farihin dari Kediri, Lilik Rosyidah dari Nganjuk dan Salmah Faatin dari Kediri. Akhirnya keempat murid ini lolos tes dan diterima masuk di madrasah bergengsi itu. Saya dan Muhammad Hibbi Farihin ditempatkan di Madrasah Aliyah Program Khusus / Madrasah Aliyah Keagamaan Jember. Lilik Rosyidah dan Salmah Faatin ditempatkan di Madrasah Aliyah Program Khusus / Madrasah Aliyah Keagamaan Malang.

Sowan pamit boyong kepada KH. Djamaluddin Achmad menjadi akhir kisah perjalanan pencarian ilmu. Sebenarnya saya sangat malu untuk mengutarakan maksud untuk boyong dari pondok, karena mondok hanya sebentar, hanya 3 (tiga) tahun. Tapi karena ini adalah pilihan hidup saya, maka dengan didampingi Bapak, saya memberanikan diri mengutarakan maksud kepada Sang Kyai. Akhirnya, beliau pun mengizinkan dan mengabulkan maksud kami. Dengan bismillah, saya pun melangkahkan kaki dengan mantap meninggalkan Tambakberas menuju Jember.{abc}

Posting Komentar

0 Komentar