Menjadi Santri KH. Moch. Djamaluddin Achmad

 

Di masjid Al-Muhibbin ini dulu, saya mengaji kitab al-Hikam langsung kepada romo Moch. Djamaluddin Achmad.

[Pacarpeluk, Pak Guru NINE]

Mohon maaf romo kyai, jika saya terlalu percaya diri menyebut sebagai santri panjenengan. Bukan sekadar gaya-gayaan saat peringatan Hari Santri Nasional sekarang ini, 22 Oktober 2016. Tapi ini adalah pengakuan jujur saya yang pernah belajar di pesantren panjenengan, Bumi Damai Al-Muhibbin Tambakberas, Jombang, meskipun hanya dalam waktu yang relatif singkat, yakni 3 (tiga) tahun.

Saat nyantri di sana, saya masih sangat lugu. Saya baru lulus SD Negeri Pacarpeluk 2, kemudian nyantri di Tambakberas sambil belajar di MTsN Tambakberas. Saya pertama kali masuk pondok adalah bakda Ashar. Saya mengikuti shalat Maghrib, Isya’ dan Shubuh pertama kali di sana. Tempatnya adalah teras ndalem KH. Moch. Djamaluddin Achmad. Saya hanya bisa umik-umik tidak jelas saat mengikuti teman-teman santri senior melantunkan pujian sebelum shalat. Mereka melantunkan pujian syiir sifat-sifat keistimewaan Nabi Muhammad SAW, lam lahtalim qaththu thaha muthlaqan abadan dengan cepat, sedangkan saya sama sekali belum pernah mendengar dan tahu pujian itu. Akhirnya saya hanya menundukkan kepala sambil umik-umik mengikuti bacaan yang tidak jelas bagaimana bacaan semestinya. Saya mendengar, menerka-nerka dan mengikuti bacaan tanpa keyakinan apakah bacaan ikutan saya itu sudah tepat atau tidak.     

Saya benar-benar memasuki dunia baru dengan keluguan. Keluguan itu membuat saya sangat stres saat pertama kali ikut ngaji kepada KH. Moch. Djamaluddin Achmad bakda Shubuh. Hal ini dipicu oleh kebingungan saya saat melihat baris demi baris rangkaian huruf demi huruf kitab Ta’limut Ta’alim yang gundul dari harakat. Saya bingung bagaimana cara membacanya, apakah huruf ini dibaca a atau i atau u.

Kebingungan kedua adalah saat saya menyaksikan teman-teman santri senior menuliskan terjemah dengan tulisan pego. Tulisan mereka kecil-kecil. Ditulis aga miring di bawah lafadz yang diterjemahkan itu. Mereka menulis dengan cepat, sehingga mampu mengikuti kecepatan bacaan kyai. Waktu itu, saya belum mampu menulis pego secara terampil, apalagi dengan tempo yang cepat.

Saya bertanya-tanya terus kepada teman-teman santri lainnya bagaimana cara membaca kitab-kitab yang gundul itu. Waktu itu saya berfikiran, hanya ingin sementara bisa membunyikan lafadz-lafadz yang gundul itu lebih dulu, sedangkan terjemahnya nanti ngikut apa yang sudah disampaikan oleh kyai saja. Akan tetapi tidak ada satupun jawaban dari teman-teman santri yang memuaskan hati saya.

Mereka hanya mengatakan,”Din, kamu harus belajar Nahwu dan Sharaf supaya bisa membaca kitab-kitab gundul.” Jawaban ini sangat mengecewakan saya saat itu, karena tidak bisa memberikan solusi singkat atas kebingungan saya. Apalagi, saya belum kenal apa itu Nahwu dan Sharaf. Sebagai santri baru yang masih lugu karena baru beberapa hari mondok, saya hanya bisa diam menahan kekecewaan.

Pondok KH. Moch. Djamaluddin Achmad terletak di depan Madrasah Muallimin Muallimat. Ini adalah madrasah yang sangat khas kepesantrenan. Materi pembelajaran khas kepesantrenannya sangat dominan dibandingkan madrasah-madrasah yang lain.

Tiap hari saya mendengar alunan suara para murid madrasah ini yang menghafalkan nadham bait-bait Alfiyah Ibnu Malik dengan suara keras. Kitab ini sebenarnya adalah berisi gramatika bahasa Arab, namun karena menjadi materi wajib hafalan di madrasah ini, sehingga dipersepsi lebih sakral. Hal ini juga berlaku di pesantren-pesantren lain, yang mengajarkan kitab ini.

Selain itu, saya juga tiap hari para murid madrasah ini membaca syiir-syiir tertentu dengan suara keras dan bersama-sama. Suasana ini terekam jelas dalam memori saya, sehingga saya pernah berkeinginan melanjutkan belajar ke madrasah tersebut selepas lulus MTsN Tambakberas. Sayangnya, keinginan itu tidak tercapai. Saya malah boyong dan melanjutkan belajar ke MAN 1 Jember.

Selama tinggal di pondok, saya sangat aktif mengikuti pengajian kitab yang diasuh oleh KH. Moch. Djamaluddin Achmad. Selain karena adanya kewajiban mengikutinya, saya merasa nyaman ngaji kepada beliau. Cara baca beliau terhadap kitab kuning sangat jelas dan pelan-pelan. Penjelasan beliau juga sangat nyes di hati saya. Apalagi didukung sound system yang bagus suaranya.

Komplek Al-Muhibbin memang memiliki operator dan perlengkapan sound system yang handal yang dikelolah oleh cak Toha. Ini menjadi salah satu usaha pondok yang disewakan kepada umum. Oleh karena itulah, menurut saya, Al-Muhibbin adalah satu-satunya kompleks yang paling bagus sound systemnya. Pengajian kitab menjadi sangat nyaman dengan dukungan perangkat pengeras suara yang bagus ini.

Ada beberapa kitab yang dibacakan oleh KH. Moch. Djamaluddin Achmad dan saya mengikutinya. Diantaranya adalah Irsyadul Ibad, Ta’limul Muta’allim, Kimyaus Sa’adah, Dalailul Khairat, Ta’birur Ru’yah dan lain-lain. Hampir tiap Ramadhan beliau mengajikan kitab Dalailul Khairat dan mengijazahkan pengamalannya kepada siapa saja yang menghendakinya. Saya termasuk santri yang mendapatkan ijazah itu dan mengamalkannya.

Seingat saya sejak satu atau dua tahun terakhir di pondok, saya mengamalkan pembacaan kitab Dalailul Khairat ini tiap hari. Amalan harian ini berlangsung sampai saya kelas 2 MAN 1 Jember.

Tiga tahun mondok di Al-Muhibbin telah memberikan kesan yang sangat mendalam kepada saya, khususnya dalam khazanah tasawuf. KH. Moch. Djamaluddin Achmad sangat akrab dengan khazah ilmu dan pengamalan kehidupan tasawuf. Beliau juga banyak mengajikan kitab-kitab tasawuf. Di antaranya adalah Ihya Ulumiddiin karya Imam Al-Ghazali dan Al-Hikam karya Ibnu Athaillah Assakandary.

Beliau juga termasuk pengamal dan imam thariqah Asy Syadziliyyah. Tiap Senin bakda Maghrib, masjid pondok Al-Muhibbin digunakan sebagai tempat dzikir khususiyah thariqah Asy Syadziliyyah. Salah satu hal yang sangat teringat di memori saya adalah bacaan tahlil laa ilaaha illaallah dengan irama nada yang sangat khas.          

Pengalaman hidup di pondok inilah yang akhirnya banyak mempengaruhi cara berfikir dan berperilaku serta beragama saya hingga sekarang. Semoga semua pengalaman hidup menjadi ilmu yang bermanfaat dan barokah. Amiin.

Entah karena keluguan atau apa, dulu saya paling takut dan tidak percaya diri saat bertemu langsung dengan KH. Moch. Djamaluddin Achmad. Ternyata tidak hanya saya yang merasakan hal ini. Banyak santri yang merasakan hal yang sama. Saat Sang Kyai lewat, kami bergegas menghampiri dan berjabat tangan dengan beliau seraya mencium tangan beliau. Terus terang kami merasa gemetar setiap melakukan hal itu.

Kami takut bertemu langsung, tapi selalu rindu dengan wejangan beliau. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut beliau selalu menyejukkan hati. Saat itulah kami tidak mampu mengucapkan satu kata pun untuk protes atau menolaknya.    

Inilah hebatnya kyai dibandingkan dengan guru-guru, seperti saya zaman sekarang. Mereka banyak bicara dan banyak gaya ngajar, namun muridnya tetap berani protes. Mereka tidak memiliki kharisma sebagaimana yang dimiliki kyai. Akibatnya pengaruh perubahan yang dialami murid tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.

Meskipun saya bukan seorang kyai, namun saya tetap bercita-cita menjadi pendidik kreatif dengan kharisma kyai. Guru yang Kyai dan Kyai yang Guru, mungkin itulah istilahnya.{abc}

Posting Komentar

0 Komentar