![]() |
Demi pertimbangan kemaslahatan umum shalat berjamaah pun dilaksanakan dengan berjarak karena pandemi Covid-19. |
[Pacarpeluk, Pak Guru NINE]
Misi utama para Rasulullah adalah menyampaikan ajaran tauhid,
yaitu pengesaan Allah SWT dalam segala hal. Ajaran tauhid dapat dipahami
sebagai sarana mengembalikan segala sesuatu kepada asalnya yang semestinya.
Allah SWT adalah asal segala sesuatu. Hanya Dia lah Pencipta segala sesuatu (khâliq).
Semua makhluk sudah seharusnya menjadikanNya sebagai tujuan akhir hidupnya.
Semua orang pasti sadar bahwa mereka kehidupan dunia ini
tidak selamanya. Mereka pasti akan kembali kepada asal muasalnya. Hanya saja,
ada yang kembali dengan selamat, ada yang tidak selamat. Semua pasti berharap
dapat kembali dengan selamat. Untuk mencapai keselamatan, Allah SWT memberikan
manusia pedoman, yaitu Islam yang bersumber al-Qur’an dan al-Hadits.
Bagi orang yang bertauhid, Islam dengan segala ajarannya
diperlakukan sebagai sarana (washilah) yang harus digunakan
menuju tujuan akhirnya (ghayah) yaitu ridha Allah SWT. Ini adalah sarana
yang Allah SWT telah pilihkan untuk semua makhlukNya. Tiada sarana lain yang
dapat mengantarkan makhluk kembali kepada asalnya, selain melalui Islam. Innad
diina ‘indallaahil islam (QS. Ali Imran [3]:19).
Sayangnya, kita sering kali kita terkecoh oleh pemahaman
kita atas Islam. Islam dan bahkan pemahaman kita atas Islam, ditempatkan
sebagai tujuan. Kita merasa telah menjadi pejuang-pejuang Islam dengan berislam
sebagaimana pemahaman sempit kita. Kita menafikan pemahaman lain, yang tidak
sama dengan pemahaman kita. Kita menganggap inilah satu-satu pemahaman yang
paling benar. Padahal, kita tidak mengetahui secara pasti apakah memang seperti
itu yang Allah kehendaki.
Kita pasti sepakat bahwa beribadah adalah menyembah Allah
SWT. Kita menghamba kepadaNya. Tapi dengan pemahaman yang sempit dan eksklusif
dalam berislam seperti itu, maka perlu diwaspadai bahwa bisa-bisa kita terbawa
pada beribadah atau menyembah Islam atau pemahaman kita terhadap Islam. Allah
SWT tertutup oleh pemahaman picik kita terhadap Islam.
Saya punya analogi imajiner dalam hal ini. Maaf jika
tidak tepat!
Ibaratnya, kita akan menuju suatu tempat. Agar kita
sampai ke tempat tersebut, maka kita harus mengendarai kendaraan X. Jika kita
mengendarai selainnya, maka niscaya kita tidak sampai. Kendaraan dan kita sudah
ada, tapi sayang kita tidak segera mengendarainya dan segera bergerak menuju
tujuan.
Perhatian kita terkecoh pada kendaraan X itu. Kendaraan X
itu kita cuci dulu biar tampak bersih. Setelah itu kita menggosoknya dengan
pengkilat agar tampak kinclong. Setelah kinclong, kendaraan X kita hidupkan
mesinnya. Setelah mesinnya hidup, kita tarik gasnya perlahan-lahan. Dengan
sangat bangga dan puas kita bleyer-bleyer kendaran tersebut.
Sayangnya, kendaraan itu akhirnya hanya kita bleyer-bleyer,
tapi tidak kita kendarai. Apakah dengan membleyer-bleyernya saja kita bisa
sampai tujuan? Belum sempat kita menjawabnya, e ... ngak tahunya saat kita
membleyer-bleyer malaikat Izra’il keburu menjemput kita.
Apa jadinya? Idealnya jawabnya adalah innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uuna. Sayangnya tidak demikian. Kita milik
dan dari Allah, namun tidak kembali kepadaNya, karena kita tidak pernah
berangkat menujuNya. Kita hanya sampai di kendaraan kita. Sungguh ini adalah
akhir yang amat tragis.
Saya membayangkan bahwa kita yang keburu mati dalam
keadaan seperti itu sebenarnya tidak sadar bahwa kita tidak sampai pada tujuan
yang hendak kita tuju. Tapi kita merasa sudah paling hebat, karena telah ngopeni kendaraan
yang harus digunakan untuk mencapai tujuan. Kita merasa sudah banyak berbuat
untukNya. Oleh karenanya kita merasa layak untuk mendapatkan balasan yang
terbaik disisiNya.
Tibalah saat perhitungan amal di makhsyar. Dengan penuh
percaya diri, kita menantikan saat-saat penempatan di tempat yang indah dan
penuh kenikmatan. Namun, betapa terperanjatnya kita; apa yang kita bayangkan
ternyata tidak sesuai dengan harapan.
Kita pun protes, “Ya Allah mengapa Engkau acuhkan kami,
mengapa Engkau abaikan kami, mengapa Engkau cuekin kami. Padahal dulu kami
adalah adalah orang-orang yang sangat ngopeni agamaMu?”.
Allah kemudian menjawab, “Wahai manusia, memang Engkau
dulu sangat ngopeni agamaku. Engkau sangat gigih
memperjuangkannya. Tapi sayang, Engkau terkecoh. Yang kau tuju bukan Aku tapi
agamaKu. Yang kau maksud bukan Aku, tapi makhlukKu. Yang kau rindu bukan Aku,
tapi surgaku. Yang kau takuti bukan Aku, tapi nerakaKu. Bahkan, dalam hatimu
terbetik, Yang Kau sembah bukan Aku tapi IslamKu.”
Ia menambahkan lebih dahsyat lagi, “Kalau demikian, kau
duakan Aku dengan agamaKu. Kau duakan aku dengan makhlukKu. Kau sekutukan aku
dengan ideologimu. Kamu sekutukan Aku dengan organisasimu. Bahkan, Kau
sekutukan aku dengan surga dan nerakaKu. Engkau tidak ikhlas menjadi hambaKu”
Mendengar jawaban itu, kita pun menjadi lunglai tak
bertenaga, karena kita kecele yang luar biasa. Kita menganggap
dan merasa diri adalah pembelaNya, e...nggak tahunya Ia tidak merasa dibela.
Kita menganggap diri paling layak akan surgaNya, e...nggak tahunya kita tidak
ikhlas, bahkan terjatuh dalam kesyirikan yang tidak kita sadari.
Saya pun tersadar dari renungan imajiner yang penuh
pengandaian itu. Saya tak kuasa untuk melanjutkannya kembali, karena khawatir
jangan-jangan saya pula termasuk orang-orang yang kecele dan
tidak ikhlas itu.
Secara kasat mata sulit membedakan orang yang menjadikan
Allah ataukah Islam sebagai tujuan (ghayah). Bisa jadi tampilan luarnya
sama, namun tiap manusia memiliki nurani untuk bertanya reflektif dalam
perenungan. Di ujung perenungan, tiada yang dapat kita upayakan selain selalu
memohon pertolonganNya dalam do’a.
“Ya Allah inilah kami apa adanya. Kami sadar bahwa kami harus mengendarai kendaraan yang telah engkau sediakan untuk menujuMu. Namun, ternyata banyak godaan yang setiap saat dapat mengalihkan perhatian kami kepadaMu. Oleh karena itu, bantulah kami. Tanpa bantuanMu, mustahil kami mampu mengendarainya. Sinarilah perjalanan kami. Tanpa petunjuk dan CahayaMu, mustahil kami mampu menuju jalan lurusMu untuk menuju kepadaMu.”{abc}
0 Komentar