![]() |
Pembacaan shalawat Mahalul Qiyam di Masjid Baitul Muslimin saat malam 25 Ramadhan. |
[Jombang, Pak Guru Nine]
Salah satu ajaran Islam yang menurut saya sangat populer
di kalangan masyarakat Jawa adalah membaca shalawat nabi. Setiap saya pamit
bebepergian jauh, orang tua saya senantiasa mengingatkan agar memperbanyak
membaca shalawat selama dalam perjalanan. Ternyata tidak hanya orang tua saya
saja yang berpesan hal itu. Saya juga sering menjumpai hal ini pada orang
lain.
Saya juga menemukan bentuk-bentuk ritual pembacaan
shalawat Nabi Muhammad SAW. Ada tradisi pembacaan kitab ad-Diba’iy,
al-Barzanji, Simthud Durar, Dalailul Khairat, dan lain-lain. Ada lagi bukti
lagi yaitu dibacanya shalawat Nabi pada acara aqiqah, potong rambut bayi dan
khitanan. Tidak hanya itu, pada saat mempertemukan pengantin laki-laki dengan
pengantin perempuan, bacaan shalawat Nabi ini jarang ditinggalkan. Biasanya
pembacaannya disertai dengan irama rebana yang dipukul bertalu-talu.
Ada lagi budaya unik membaca shalawat Nabi. Dalam setiap
acara hajatan, meskipun acara telah selesai, para tamu undangan tidak akan
beranjak meninggalkan tempat acara sebelum dibacakannya,allaahumma shaalli
‘alaa sayyidinaa muhammad. Setelah shalawat dibacakan dengan keras oleh sang
imam acara, maka secara serentak mereka pun beranjak meninggalkan tempat acara.
Dengan sedikit bergurau saya mengatakan kepada
teman-teman bahwa tenyata shalawat itu pada masyarakat Jawa memiliki dua makna,
yaitu makna ritual dan makna kultural. Sebagai makna ritual, shalawat dipahami
sebagai salah satu do’a untuk Rasulullah SAW yang juga meluberkan barokah
kepada pembacanya. Sebagai makna kultural shalawat dipahami sebagai penutup
acara dan pembubar jama’ah.
Ada kasus menarik di dusun saya. Dusun saya memang
menjadi pusat jama’ah salah satu ormas yang tidak suka dengan ritus dan kultur
shalawat semacam itu. Alasannya klasik, yakni dianggap mengada-adakan sesuatu
yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah SAW, alias bid’ah. Padahal, sebelum
adanya ormas tadi ritus dan kultur shalawat telah ada di sana.
Suatu waktu, warga dusun diundang dalam suatu acara yang
diselenggarakan oleh salah satu jama’ah ormas tersebut. Setelah seluruh
rangkaian acara selesai, dan MC sudah menutupnya dengan mengucap salam,
ternyata seluruh tamu tetap saja tidak beranjak dari tempat duduknya. Sang MC
pun tampak salah tingkah dan kebingungan. Akhirnya, dengan bahasa basa-basi MC
pun berkata, Karena acara telah selesai, maka kami persilahkan bila Bapak-bapak
jika menghendaki pulang atau tetap tetap berada di sini. Baru setelah itu,
semua tamu bubar.
Di lain kesempatan hal seperti itu pun terjadi
berulang-ulang, sehingga membuat tamu undangan tidak nyaman. Tanpa menunggu
basa-basi MC, salah seorang tamu undangan yang agak pemberani langsung membaca
allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa muhammad dengan keras. Serentak para tamu
menjawab allahhuma shalli ‘alaih … dan langsung beranjak meninggalkan tempat.
Dari kejadian-kejadian seperti ini, akhirnya mereka pun
menyesuaikan diri. Setiap kali mereka mengakhiri acara dan bermaksud
membubarkan jama’ah, maka mereka pun dengan percaya diri ikut membaca bacaan
shalawat sebagaimana pada umumnya
.Mengapa shalawat menjadi sangat populer di kalangan akar
rumput masyarakat Jawa? Tentunya hal ini tidak bisa dilepaskan jasa para
pendakwah terdahulu. Secara sederhana kita bisa menduga bahwa mereka adalah
termasuk orang-orang yang suka dengan ritus pembacaan shalawat dan mendakwahkannya
kepada masyarakat Jawa.
Lebih hebat lagi, mereka mampu memasukkan ajaran Islam
dalam budaya masyarakat, sehingga ajaran Islam itu dapat diterima tanpa penuh
kecurigaan. Bahkan, keduanya tampak berinteraksi secara mutual. Masyarakat
menerimanya tanpa terjadi keterkejutan budaya (cultural shock). Ini adalah
prestasi yang patut kita apresiasi dan teladani.
Shalawat dalam bentuk budaya memang telah marak di tanah
Jawa, lalu bagaimanakah sebenarnya shalawat itu jika ditinjau dari ajarannya?
Dalam QS. Al-Ahzab [33]: 56 Allah SWT berfirman yang artinya: Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.
Shalawat Allah SWT kepada Muhammad, berarti Allah SWT
memberi berkah, penghargaan, dan menempatkan Rasulullah SAW yang mulia
disisi-Nya. Shalawat Malaikat kepada Nabi Muhammad SAW adalah memberi salam
penghormatan atas diangkatnya kemuliaan dan kerasulan Muhammad SAW, sebagaimana
penghormatan malaikat kepada Nabi Adam AS.
Dikarenakan Allah SWT selalu memberikan shalawat
(keberkatan, kemuliaan, kebesaran), maka umat Muhammad sudah selayaknya
mengharapkan agar shalawat Allah itu tetap langgeng untuk beliau dan
keluarganya. Kalau kita jujur, sebenarnya shalawat kita itu tidak ngefek bagi
Nabi Muhammad SAW, karena beliau telah mendapatkan curahan rahmat dan
keberkatan itu langsung dari Allah SWT selamanya.
Kalau demikian adanya mengapa kita bershalawat kepadanya?
Bagi orang yang berkenan menerima konsep Nur Muhammad dalam paham kosmologinya,
maka Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai sentral semesta fisik dan metafisik.
Seluruh elemen lahir dan batin makhluk ini merupakan refleksi dari cahayanya
yang agung.
Dengan bershalawat, kita bersyukur terhadap segala
jasanya yang menuntun kita pada jalan kebenaran seperti yang termuat dalam QS.
al-Ahzab [33]: 43 Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan
kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang
yang beriman.
Selain itu bershalawat juga mendidik kita agar selalu
bersikap rendah diri dan tidak mengandalkan amal perbuatan untuk meraih surga
karena masuknya hamba ke dalam surga dikarenakan rahmat-Nya, bukan akibat
perbuatannya.
Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Umar ibn Khattab
bahwa nabi Adam ketika bertaubat setelah melanggar perintah Allah, taubatnya
tidak langsung diterima. Namun, setelah ber-tawassul dengan nama Muhammad, doa
dan taubatnya dikabulkan oleh Allah SWT. Allah SWT kemudian berfirman: “Kalau
saja tidak karena Muhammad, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu.”
Dengan demikian, bershalawat dan bersalam merupakan
bentuk lain dari proses menuju jati diri kehambaan yang hakiki di hadapan Allah
SWT. Karena Nabi Muhammad SAW adalah manusia paripurna, maka segala doa dan
upaya untuk mencintainya, pada hakikatnya kembali kepada orang yang mendoakan.
Bershalawat dan bersalam kepada beliau, juga ibarat menuangkan air ke dalam gelas yang sudah penuh air. Pasti air tersebut akan tumpah. Tumpahan itulah kembali pada diri kita, yakni tumpahan Rahmat dan Anugerah-Nya melalui ‘gelas emas’ Kekasih-Nya, Muhammad SAW. Inilah diantara alasan mengapa shalawat menjadi sangat populer bagi umat Islam khususnya di bumi Nusantara ini. {abc}
0 Komentar