![]() |
Pak Guru NINE membersamai kader muda NU Pacarpeluk. |
[Pacarpeluk, Pak Guru NINE]
Puasa sebenarnya melatih kita mampu
mengendalikan hawa nafsu dalam konteks yang lebih luas, tidak sekadar menahan
nafsu makan, minum dan berhubungan suami isteri. Inilah perjuangan yang berat.
Perang melawan hawa nafsu adalah peperangan ruhani, karena memerangi ego
kedirian kita sendiri yang tak terlihat.
Nafsu tersebut sangat cerdas, licik dan
licin. Dengan kemampuan tersebut ia dapat saja mengecohkan kita, dengan cara
memasuki aktifitas-aktifitas ibadah kita. Bila tidak waspada,bisa-bisa kita
akan kecele pada akhirnya. Kita menyangka telah banyak
beribadah, tetapi pada dasarnya kosong nilai menurut Allah SWT. Kita menyangka
ibadah kita lakukan secara ikhlas lillaahi ta’aalaa, padahal tanpa
kita sadari ternyata ibadah kita telah ditunggangi oleh nafsu kita demi
pemuasan nafsu itu sendiri.
Nafsu harus dikendalikan. Jika tidak, ia bisa
menunggangi ibadah kita, kapan pun dan dimana pun. Kalau anda tidak percaya,
mari kita cermati fenomena euforia di bulan Ramadan. Di hari-hari pertama
Ramadan hampir semua masjid yang penuh dengan jamaah shalat Tarawih. Sejak
adzan isya’ dikumandangkan jamaah berbondong-bondong ke masjid lebih awal.
Mereka takut tidak mendapat tempat shalat, padahal shalat Tarawih adalah shalat
sunnah yang tentu nilainya tidak lebih mulia daripada shalat fardlu lima waktu.
Shalat Tarawih dipenuhi oleh jama’ah, tetapi
shalat shubuh sebaliknya, sepi jamaah. Mereka lebih suka shalat di rumah
daripada di masjid. Ini kan terbalik. Yang sunnah disambut dengan antusias,
sedangkan yang wajib disambut dengan malas.
Mengapa shalat Tarawih itu tampak lebih
menyenangkan daripada shalat Shubuh? Saya menduga, karena nafsu kita ikut
nimbrung dalam ibadah shalat Tarawih. Mungkin karena ia hanya dilakukan setahun
sekali, sehingga nafsu kita mengajak kita menjadi kemaruk mengerjakannya;
setelah puas sesaat, kemudian pergi meninggalkannya.
Fenomena tadarus al-qur’an,
khususnya membaca al-quran, dengan pengeras suara juga tidak luput dari jebakan
nafsu. Masyarakat sangat antusias membaca al-Quran jika ada pengeras suara.
Dengan pengeras suara, membaca al-Quran bisa berlangsung sangat lama. Semalam
suntuk dilakukan, bahkan dilanjutkan lagi setelah shalat Shubuh. Sebaliknya,
jika tanpa pengeras suara, membaca al-Quran dilakukan hanya beberapa saat
saja.
Nafsu kita senang kalau ada orang lain yang
tahu kita sedang melakukan kebaikan. Tanpa disadari benih-benih sifat pamer (riya’)
kita semaikan saat kita melakukan kebaikan. Hal ini juga harus diwaspadai.
Jangan sampai kita terkecoh gejolak liar nafsu yang tak terkedali.
Apakah kita tidak boleh membaca al-Quran
dengan pengeras suara? Ya boleh saja, asal benar-benar menata niat dalam hati,
karena yang bisa menilai apakah kita pamer atau tidak juga hati kita sendiri.
Selain itu, kita harus tahu waktu. Kapan waktu yang tepat membaca al-Quran
dengan pengeras suara dan kapan tanpa pengeras suara. Jangan sampai kita
mengatasnamakan syiar, kemudian kita lupakan hak orang lain untuk beristirahat
akibat semalam suntuk terganggu bacaan al-Quran dengan pengeras suara.
Ada lagi yang lucu. Sepuluh hari terakhir
adalah saat-saat istimewa di bulan Ramadan. Rasulallah mengajarkan kita agar
serius dalam i’tikaf, qiyamul lail dan memperbanyak melakukan amal shalih. Di
malam-malam inilah Allah SWT memberikan lailatul qadar bagi
hamba-hamba-Nya yang mau.
Sayangnya hal ini direspon kurang antusias.
Yang terjadi adalah sebaliknya. Jama’ah shalat Isya’ dan Tarawih semakin surut.
Tarawih tidak lagi menggairahkan sebagaimana hari-hari pertama. Yang ramai
malah pusat-pusat perbelanjaan. Antusiasnya bukan memperbanyak ibadah dan amal
shalih, tetapi menyiapkan tetek bengek menyambut Idul Fitri.
Meningkatkan ibadah di sepuluh hari terakhir
terasa tidak enak. Yang enak kemudian adalah belanja dan mudik. Lagi-lagi
nafsu kita telah merasuki aktifitas-aktifitas yang dianggap sebagai ibadah.
Belanja dan mudik menjadi enak, karena lebih nafsu telah nimbrung,
sehingga seolah-olah menjadi ibadah yang wajib dilakukan.
Nafsu ternyata juga masuk dalam ibadah shalat
Idul Fitri. Shalat sunnah tahunan ini disambut sukacita. Shalat sunnat ini
terasa sangat enak dan menyenangkan daripada shalat fardlu. Meskipun jarang
menjalankan shalat lima waktu, tetapi jika sesorang tidak bisa ikut shalat idul
fitri, niscaya dia akan merasa sangat rugi dan menyesal. Tidak cukup itu
perasaan menyesalnya dikabar-kabarkan kepada siapa saja yang ditemuinya.
Nafsu kita telah menghalangi kita bisa ikhlas
beribadah kepada Allah SWT semata. Bentuk-bentuk ibadah tersebut hanya
dijadikan tameng bagi nafsu untuk memuaskan diri. Oleh karena itu, gejolak liar
nafsu kita harus dideteksi sejak dini. Segeralah mengendalikannya. Tanpa itu,
bisa jadi apa yang kita sangka sebagai ibadah, pada hakikatnya, hanyalah buih.
Cara yang paling mudah untuk mendeteksi dan
mengendalikan nafsu adalah dengan meminta fatwa kepada hati nurani kita (istafti
qalbaka). Hati nurani kita memancarkan cahaya ilahi yang selalu menerangi
jalan yang benar. Oleh karena itu mau tidak mau kita harus melakukan refleksi
dengan diri sendiri. Kita berdialog dengan diri sendiri. Kita bertanya kepada
diri sendiri motivasi terdalam kita dalam melakukan ibadah-ibadah tersebut.
Jika ibadah wajib terasa tidak menyenangkan,
sedangkan yang sunnah menyenangkan atau dua-duanya terasa tidak menyenangkan
maka kita harus memilih dan mendahulukan yang wajib. Ibadah wajib lebih utama
dikerjakan daripada yang sunnah. Bila antara berangkat ke masjid untuk shalat
Tarawih dan shalat Shubuh terasa berat, maka kita harus mendahulukan shalat
Shubuh karena wajib. Bila antara keduanya kok menyenangkan, maka kita harus
kembali bertanya kepada hati nurani akan keikhlasan kita mengerjakannya. Jangan
sampai kita beri ruang dan kesempatan bagi nafsu untuk menyusup dalam ibadah-ibadah
kita.
Kita harus terus bertanya lagi kepada hati
nurani bila kita dihadapkan pada dua ibadah sunnah yang sama-sama menyenangkan
atau sama-sama tidak menyenangkan. Bila kita dihadapkan pada kondisi
seperti ini biasanya nafsu kita cenderung mengajak kita melakukan yang paling
menyenangkan. Oleh karena itu, kita harus memilih sebaliknya, yaitu memilih
yang terasa paling tidak menyenangkan dikerjakan. Contohnya, kita
tergopoh-gopoh menuju masjid atau lapangan karena kurang lima menit shalat Idul Fitri
didirikan, padahal jarak kita masih cukup jauh. Tiba-tiba di tengah jalan kita
bertemu dengan orang buta yang akan menyeberang di jalan raya yang ramai lalu
lintas, maka yang harus kita pilih adalah menolong orang buta itu. Dalam
kondisi seperti itu tentu menolong si buta itu akan terasa sangat berat
dibandingkan meneruskan perjalanan menuju tempat shalat Idul Fitri.
Kita harus terus mewaspadai nafsu kita. Jika kita lengah, tentu dengan mudah nafsu akan memperbudak kita. Kecerdikan nafsu harus dilawan dengan kecerdikan pula. Puasa sebenarnya adalah langkah cerdik untuk mengendalikan nafsu. Sayangnya hal itu sering tidak dihayati, sehingga nafsu memperalat puasa kita untuk kepuasannya. Waspadalah! {abc}
0 Komentar