![]() |
Sampul Depan |
Judul
Buku : Irsyaadud Daarisiin
Ilaa Ijmaa’il Mufassirin
Penulis
: Dr. Muhammad Afifuddin Dimyathi, MA
Penerbit
: Lisan Arabi
Alamat Penerbit :
Perum Bumi Mondoroko Raya GH. IV 28 Singosari, Malang
Cetakan Pertama : 2017
M / 1437
H
Jumlah Halaman :
136 halaman
[Pacarpeluk,
Pak Guru NINE]
Al-Quran adalah kitab
suci yang berbahasa Arab. Siapa saja yang ingin memahaminya maka harus
menguasai bahasa Arab. Meskipun demikian, ini adalah kompetensi dasar dan
minimal. Tidak semua lafadz-lafadz di dalam al-Quran bisa dipahami dengan
menggunakan kaidah dan makna umum bahasa Arab. Hal ini menjadi salah bukti
bahwa kemukjizatan al-Quran yang menegaskan bahwa ia bukanlah produk kreatif
nabi Muhammad SAW sebagai orang Arab yang berbahasa Arab. Ia adalah kalam Allah
SWT. Ia adalah wahyuNya.
Atas dasar itulah maka
para ulama yang memiliki otoritas dalam menggali makna dalam ayat-ayat al-Quran
merumuskan tafsir ayat-ayat tersebut. Mereka mengarang kitab-kitab tafsir
al-Quran dengan berberbagai pendekatan. Ada yang menggunakan pendekatan tafsir
bil ma’tsur, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ayat-ayat al-Quran dan
al-Hadits. Ada juga yang menggunakan pendekatan tafsir bir ra’yi, yakni
menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan pendapat-pendapat rasional berdasarkan
ilmu pengetahuan tertentu.
Para ulama juga
menulis kitab-kitab tafsir dengan model yang beragam. Ada yang menulis
kitab-kitab tafsir itu dengan mengikuti urutan turunnya al-Quran (tartiibun
nuzul). Ada juga yang menulis menulisnya secara tematik dengan mengumpulkan
ayat-ayat memiliki kesamaan atau kedekatan lafadz dan makna untuk disimpulkan
benang merahnya.
Karena al-Quran adalah
kalam Allah SWT yang hanya disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, maka untuk
bisa memahaminya maka mengikuti pemahaman ayat-ayat yang beliau sampaikan
kepada para sahabat adalah langkah yang paling aman dan tidak terlalu berisiko
salah. Dalam hal ini maka ayat-ayat yang langsung ditafsirkan oleh Rasulullah
dan dikembangkan dalam kitab-kitab tafsir oleh para sahabat yang mendapat
penjelasan langsung dari beliau tentu memiliki otoritas paling tinggi. Apalagi,
Nabi Muhammad SAW telah mengancam siapa saja yang memahami dan menafsirkan
al-Quran semata-mata karena hawa nafsunya, bagi tiapa tempat kembali yang paling
layak baginya kecuali neraka.
Agar kita tidak gagal
paham atas ayat-ayat atau lafadz-lafadz al-Quran atau merasa lebih tahu
daripada Allah SWT dan Rasulullah SAW dengan slogan kebebasan memproduksi
pemahaman atas teks dan konteks, maka perlu mengetahui penafsiran baku yang
telah menjadi kesepakatan. Hal ini menjadi rambu-rambu bagi siapa saja yang
ingin memahami kandungan dan maksud kitab suci al-Quran. Tanpa ini, maka
potensi liar dalam memahami dan menafsirkan al-Quran menurut kemauan sendiri
pasti tidak akan terbendung. Tentunya, hal ini harus dihindari, karena telah
menabrak ancaman Rasulullah SAW.
Salah satu cara cepat
dan mudah memahami ayat-ayat dan lafadz-lafadz al-Quran agar selamat dari
ancaman Rasulullah SAW adalah dengan mengetahui kesepakatan (ijma’) para
ulama ahli tafsir (mufassir) dalam menafsirkan ayat-ayat atau
lafadz-lafadz tertentu di dalam al-Quran. Ini adalah kebutuhan pokok dan
mendesak karena ada beberapa lafadz pokok yang tidak bisa dimaknai secara
harfiyah. Jika makna lafadz-lafadz tersebut dihentikan atau tidak digali (mauquf),
maka kebermaknaan ayat-ayat tersebut sebagai petunjuk manusia tentu menjadi
berkurang. Hal ini pasti tidak mungkin terjadi pada al-Quran yang berfungsi
sebagai petunjuk.
Untuk memudahkan para
pelajar pemula dalam memahami makna ayat-ayat dan lafadz-lafadz kunci yang
telah disepakati oleh para sahabat nabi dan para mufassir yang
otoritatif, Gus Awis, panggilan populer Dr. Muhammad Afifuddin Dimyathi, MA
menyusun buku berbahasa Arab dengan judul Irsyaadud Daarisiin Ilaa
Ijmaa’il Mufassirin (Petunjuk Bagi Pelajar Menuju Ijma’ Para Ahli
Tafsir). Materi buku ini dipaparkan secara obyektif dengan mencantumkan
referensinya pada setiap paparan tafsir ayat atau lafadz, sehingga pembaca bisa
merujuk langsung kepada kitab-kitab primer yang membahas tafsir tersebut.
Dalam karyanya ini
dosen UIN Sunan Ampel Surabaya ini menghimpun 121 ayat yang didalamnya terdapat
lafadz-lafadz yang maknanya telah disepakati (ijma’) oleh para mufaasir dalam
berbagai kitab tafsir mereka. Ayat pertama yang dihimpun adalah ayat ketujuh
surat al-Fatihah. Di dalamnya ada dua lafadz al-maghdhuub ‘alaihim yang
tidak bisa diterjemahkan secara bahasa sebagai ‘orang yang dimarahi’, dan adh-Dhaallin yang
juga tidak bisa diartikan sebagai ‘oran-orang yang tersesat’. Akan tetapi
para mufassir telah sepakat bahwa yang dimaksud lafadz pertama
adalah orang-orang Yahudi dan lafadz kedua adalah Nasrani.
Ayat terakhir yang
dihimpun oleh alumnus MAPK/MAKN Jember angkatan kedelapan dalam bukunya ini
adalah ayat kedua dan ketiga surat At-Tiin. Dia menuliskan bahwa para mufassir menyepakati
bahwa yang dimaksud dengan lafadz siiniin adalah sebuah gunung
yang ada di kota Syam yang menjadi saksi percakapan Nabi Musa as dengan Allah
SAW. Menurutnya, secara ijma’ maksud lafadz al-Balad dalam
ayat ketiga surat At-Tiin adalah kota Makkah. Oleh karena itu tidak sepatutnya
bagi pembaca al-Quran mengartikan lafadz tersebut sebagai ‘kota atau negeri’
secara umum.
Buku karya keenam pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Quran Rejoso Jombang yang ditulis berbahasa Arab ini sangat cocok dimiliki oleh para santri, mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam atau siapa saja yang ingin mempelajari kandungan al-Quran. Karya-karyanya menjadi simbol kebangkitan kembali tradisi literasi berbahasa Arab dari pesantren di Nusantara ini. Meskipun berbahasa Arab, namun tetap mudah dibaca dan dipahami oleh siapa saja yang telah menguasai dasar-dasar bahasa Arab. [pgn]
0 Komentar